Bab IV
Liku-Liku Meraih Gelar Sarjana.
Oleh: Ahmad Khoibar
Sebuah
hadiah terindah saya persembahkan untuk ayah tercinta yang sedang terbaring,
dirawat di rumah sakit Yudistira Cimahi – Jawa Barat. Hadiah itu berupa sebuah
koran yang memuat nama saya, diantara
deretan ratusan nama calon mahasiswa baru yang lulus tes dan diterima di kampus
IAIN Sunan Gunung Djati Bandung (Sekarang UIN).
Ketika
saya perlihatkan koran itu, ayah yang sudah tiga hari terbaring di rumah sakit,
tampak tersenyum bahagia. Saya berharap kabar baik itu dapat meringankan sakit
dan sedikit menghibur ayah.
1991,
saya diterima di Fakultas Tarbiyah, jurusan Bahasa dan Sastra Arab IAIN Sunan
Gunung Djati Bandung . Sebenarya, jurusan ini dibawah Fakultas Adab. Saat itu SK
Fakultas belum turun, 3 tahun kemudian SK baru diterbitkan.
Selama
menjadi mahasiswa saya memilih tinggal di tempat kos dekat kampus. Alasannya,
Jarak dari rumah saya ke kampus lumayan jauh dan selalu macet di perjalanan.
Rumah saya berlokasi di daerah Bandung Barat
bagian utara, sementara kampus berada di ujung timur kota Bandung. Karena
sehari-hari kemacetan kota sangat parah, butuh waktu 2 sampai 2,5 jam
perjalanan dari rumah saya ke kampus.
Itu dalam satu kali perjalanan. Kalau pulang
pergi, berarti sedikitnya memakan waktu 4 jam. Jika 25 hari (hari efektif),
berarti 100 jam hanya terbuang di jalan. Waktu sebanyak itu tentu saja lebih
bermanfaat bila digunakan untuk membaca buku atau mengerjakan tugas-tugas
kuliah.
Beberapa orang teman saya ada yang tinggal di
masjid-masjid menjadi marbot atau garim. Banyak keuntungan yang didapat jika
mahasiswa tinggal di masjid. Pertama, bisa mengamalkan ilmu dengan mengajar
ngaji anak-anak, Kedua, ibadah sehari-hari selalu terjaga, ketiga, selalu dapat
makan gratis dan keempat, tidak usah bayar kos.
Bagi
teman-teman yang tinggal di dalam kota, mereka pulang pergi dari rumah. Kalaupun
sedang banyak tugas kuliah dan harus bermalam, biasanya mereka menginap di tempat
kos teman.
Tidak
sedikit mahasiswa yang berasal dari keluarga sederhana atau biasa-biasa secara
ekonomi, seperti saya. Banyak cara dan upaya yang dilakukan agar mereka tetap
bisa kuliah.
Contoh,
salah seorang teman saya, punya kemampuan membuat box speaker. Jadi, di kamar
kosnya banyak tumpukan lapisan papan dan peralatan lainnya sebagai bahan box
speaker. Para konsumen pertamanya, tentu saja teman-teman yang ia kenal
terlebih dulu, lalu meluas ke yang lain.
Ada
lagi teman yang punya keahlian reparasi TV. Kebetulan satu asrama dengan saya.
Jadi, setiap ada TV yang baru selesai diperbaiki, saya bersama teman-teman yang
lain, menikmati dulu TV tersebut sebagai uji coba sebelum diambil pemiliknya.
Jadi, kami selalu berganti-ganti TV.
Tidak kalah dengan pembuat box speaker dan
ahli reparasi TV, teman yang satu ini punya keahlian menjahit pakaian. Ia dari
rumahnya membawa mesin jahit. Lagi-lagi, konsumen pertamanya teman-teman
terdekat atau yang dikenal dulu, lalu merembet ke yang lain, karena satu sama lainnya
saling memberi informasi.
Sejak
tahun pertama masuk kampus, saya bersama teman-teman satu jurusan, bahkan
dengan lintas jurusan, sering berkumpul-kumpul di rumah kosan. Selain senda
gurau dan canda tawa, tak jarang ketika berkumpul, kami berdiskusi mulai dari
hal-hal yang remeh temeh sampai urusan yang bertema berat, seperti tentang
idiologi negara, soal pemerintahan dan masalah-masalah sosial yang terjadi di
masyarakat saat itu.
Tapi,
kalau saya perhatikan tidak sedikit juga mahasiswa yang kerjaannya jalan-jalan,
shoping dan nonton di bioskop. Waktu itu belum musim internet.
Begitulah
gaya hidup kami sebagai kaum, yang kebanyakan orang menyebut kaum intelektual. Tema-tema ringan seperti
masalah gaya atau selera, bisa menjadi
panjang kali lebar jika kami diskusikan.
Mahasiswa
UIN, rata-rata berasal dari sekolah keagamaan seperti Madrasah Aliyah dan Pesantren,
Walaupun ada juga yang lulusan sekolah umum seperti SMA dan sejenisnya. Namun
tidak banyak. Latar belakang pemahaman ilmu fikih (tata cara ibadah) pun tentu
berbeda-beda.
Inilah
mungkin yang membedakan, ketika mahasiswa berkumpul dalam perbedaan dengan
masyarakat awam. Saya dan teman satu kelas atau teman satu kos sering memiliki
perbedaan dalam masalah fikih. Perbedaan ini tentu saja dilatarbelakangi oleh
tempat pendidikan sebelumnya dan lingkungan keluarga.
Di
dalam shalat misalnya, saya tidak
melafalkan niat, sementara teman saya melafalkannnya. Di dalam shalat subuh,
saya tidak membaca doa qunut, sementara teman saya melakukanya, dan banyak lagi
perbedaan-perbedaan tata cara ibadah seperti yang selama ini terjadi di tengah
masyarakat.
Jika di tengah masyarakat, perbedaan-perbedaan seperti di atas bisa menjadi pemicu terjadinya perselisihan paham, bahkan sampai ke bentrokan fisik. Sementara, di lingkungan kami (mahasiswa), malah menjadi perekat dan media untuk mengasah wawasan dan logika. Bahkan, sesekali menjadi bahan candaan.
Misalnya,
kawan yang biasa menggerak-gerakkan telunjuk ketika tasyahud dalam shalat,
bertanya kepada kawan yang biasa mengusap muka setelah salam terakhir, “kenapa
kamu selalu mengusap muka setiap selesai salam, bukankah akhir shalat itu
membaca salam sambil menolehkan muka ke kanan dan ke kiri? Yang biasa m
Celotehan
di atas merupakan salah satu contoh dari sekian banyak candaan yang terjadi.
Tentu saja tujuannya untuk mencairkan suasana supaya tidak terjadi ketegangan.
Intinya,
dalam masalah perbedaan fikih atau biasa disebut khilafiyah, di antara kami
saling mengerti dan memahami. Selama itu bukan dalam perbedaan masalah yang pundamental
atau prinsif, hal itu sah-sah saja, asalkan ada dalil atau dasar hukumnya.
Selain
berdiskusi, kami pun tak ketinggalan ikut demontrasi mahasiswa yang biasanya
diadakan serempak lintas kampus. Tentu saja, tema yang diusung mengkritik
kebijakan-kebijakan pemerintah yang dinilai merugikan dan membodohkan
masyarakat, seperti menolak perjudian massal. Waktu itu terkenal program judi
yang dilegalkan pemerintah, yang dikenal dengan SDSB (sumbangan dana sosial
berhadiah).
Saya
sendiri, selain sibuk ikut diskusi-diskusi dan demontrasi, masih punya kegiatan
tambahan. Karena orang tua saya bukan dari kalangan ‘berada’, untuk menutupi
keperluan kuliah, saya harus mencari tambahan pemasukan.
Banyak
yang saya lakukan, mulai dari mengajar privat baca qur’an, menjual majalah
dengan cara jual “paksa” pada teman-teman sekelas, menerima pesanan snack buat
acara kegiatan mahasiswa, sampai menjual poto copy jadwal pertandingan bola
Persib Bandung di Bundaran Cibiru, tak jauh dari kampus.
Saya
tawarkan lembaran foto copy itu kepada para penumpang angkot (angkutan kota).
Alhamdulillah, untuk sekedar makan dan beli diktat kuliah bisa dipenuhi dari
situ.
Pernah
pada suatu hari, perbekalan benar-benar
habis. Saya dan dua teman saya mengamen berkeliling perumahan yang agak jauh dari
kampus. Saya bermain gitar sambil bernyanyi, teman saya, Aris, meniup harmonika
dan satu lagi, Unas, sebagai tim hore dan pengumpul uang.
Sampailah
kami bertiga pada sebuah warung, disitu banyak pemuda yang sedang duduk-duduk. Saya pun minta izin mengamen di
warung itu. Dari kerumunan pemuda itu, ada salah seorang laki-laki yang sudah
berumur. Di Tangannya tampak gambar tato. Laki-laki itu memegang sebuah parang.
Namun, kepalanya ikut mengangguk-angguk mengikuti irama lagu yang saya
nyanyikan. Selama bernyanyi saya merasa agak was-was dan hati terasa ciut.
Selepas
satu lagu, laki-laki itu malah minta tambah lagu lain. Hati saya sedikit lebih
tenang pada saat menyanyikan lagu yang kedua. Setelah selesai bernyanyi,
laki-laki seram itu memberi kami uang sambil berkata: “Nah, ini baru ngamen.
Kalau yang sudah-sudah, pengamen yang datang ke sini suka sambil mencuri dek”
Begitulah
hari-hari yang saya jalani di kampus bersama kawan-kawan seperjuangan. Tiada
hari tanpa diskusi, tanpa bersenda gurau.
Menjelang
selesai kuliah, di tahun-tahun terakhir, diskusi kami semakin intens.
Saat itu tema yang diangkat lebih sering soal masa depan. Kami membahas
bagaimana mempersiapkan diri setelah selesai kuliah nanti.
Sudah
bukan rahasia lagi, saat itu jumlah pengangguran cukup tinggi, termasuk para
sarjana. Saya dan kawan-kawan, tidak ingin terperosok ke lubang yang sama,
seperti yang dialami para pendahulu kami, yaitu masuk ke dalam kubangan
pengangguran intelek.
Berangkat
dari hipotesa dan dasar pemikiran di atas, secara serius kami berdiskusi.
Mungkin lebih tepatnya, kami bermusyawarah, saling memberi masukan untuk
menyiapkan program usaha bersama.
Saat
itu, kami berkomitmen untuk merintis sebuah usaha sejak kami menjelang selesai
kuliah. Tujuannya, agar selepas kuliah nanti, kami sudah punya kegiatan usaha
alias tidak menganggur.
********
Semester
demi semester saya lalui dengan lancar dan satuan kredit semester/ SKS pun
sudah hampir selesai. Saya dan teman-teman pun mulai sibuk mengajukan proposal
judul penelitian untuk skripsi.
Berkali-kali
proposal saya ditolak. Demikian juga, dengan beberapa orang teman saya. Bagi
teman yang sudah disetujui proposalnya, mereka langsung tancap gas menyusun bab
1.
Syarat
untuk meraih gelar sarjana harus menempuh dua kali sidang. Pertama sidang
komprehensif, semacam tes wawasan dan tertulis untuk semua mata kuliah. Kedua,
sidang munaqasah atau sidang skripsi. Untuk syarat mengikuti sidang
komprehensif harus sudah menuntaskan semua mata kuliah.
Saat
itu ada satu mata kuliah yang mengganjal saya untuk ikut sidang kemprehensif.
Ada satu tugas yang dianggap belum lengkap, sehingga nilainya belum keluar.
Ketika saya menghubungi dosen bersangkutan di rumahnya yang tidak jauh dari
kampus, rupanya, selama beberapa hari beliau berada di luar kota, sedang ada
urusan pengawasan di sebuah Pesantren. Tepatnya di daerah Tasikmalaya.
Saya
pun segera meluncur ke sana dengan bekal secarik kertas bertuliskan alamat
tempat ia sedang bertugas. Kebetulan saya belum mencatat nomor telepon rumah
beliau.
Setelah
memakan waktu kira-kira tiga jam lebih perjalanan, sampailah saya di daerah
Tasikmalaya. Saya bergerak menuju alamat, sesuai yang tertera pada secarik
kertas itu. Namun, setiap orang yang
saya tanya, semuanya menggelengkan kepala. Mereka tidak tahu tepatnya lokasi
alamat itu.
Sudah
hampir 4 jam saya berkeliling mencari alamat itu, tapi belum ada hasilnya.
Kalau zaman sekarang, mungkin tinggal SMS, WA atau share location,
mungkin sangat mudah menemukan alamat tersebut. Tapi, saat itu belum musim HP.
Ada telepon rumah saja sudah lumayan. Itu pun baru orang-orang tertentu saja.
Karena
sudah masuk waktu ashar dan badan terasa lelah, saya singgah di sebuah mushalla
kecil di situ. Lalu, ikut shalat berjamaah bersama beberapa orang jamaah di
situ.
Seusai
shalat, di saat para jamaah lain sudah pada pulang, ada satu jamaah yang masih
tinggal dan ia menghampiri saya. Mungkin bapak yang satu ini melihat saya
seperti orang kebingungan, sehingga ia menanyakan tujuan saya.
Ketika
saya sampaikan nama dosen dan alamat sesuai yang tertulis di kertas itu,
laki-laki setengah baya itu memberitahukan bahwa mushalla dan rumah di
sebelahnya, rumah orang tua dari dosen yang saya cari. Masya Allah, Dia
menunjukkan kekuasaan-Nya. Padahal bukan alamat ini yang saya cari.
Masih
kata jamaah tadi, alamat yang saya cari jaraknya jauh dari tempat itu dan
berlainan arah. Akhirnya, saya menjumpai orang tua dosen saya. Lalu, orang tua
itu menyuruh saya mengunggu. Katanya, selama beberapa hari bertugas di daerah
itu, anaknya, yang juga dosen saya, setiap hari pulang dan tidur di situ.
Sekitar
pukul 05.30 sore, akhirnya dosen saya tiba di rumah orang tuanya. Beliau kaget
melihat saya ada di situ. “ Kok bisa, kamu kan mencari alamat Pesantren ini
Mad?” Tanyanya penasaran. “ saya juga bingung pak, sudah berjam-jam keliling nggak
ketemu-ketemu alamat bapak bertugas. Eh malah nyasar ke tempat ini.” Jawab
saya. Ternyata, banyak cara Tuhan dalam
mempertemukan setiap orang, bahkan
terkadang cara-cara itu sulit kita pahami.
Singkat
cerita, saya dikasih amplop berisi data perbaikan nilai, berikut beberapa tugas
tambahan. Nilai itu disetorkan kepada bagian administrasi untuk direkap.
Akhirnya,
setelah nilai seluruh mata kuliah masuk, saya dizinkan mengikuti ujian
komprehensif dan alhamdulillah mendapat nilai memuaskan. Langkah berikutnya
untuk meraih gelar sarjana, yaitu menyusun skripsi dengan diawali pengajuan
proposal judul skripsi. Tahap ini merupakan tahap terberat yang harus dilewati
oleh setiap mahasiswa.
Dokumen pribadi. Mahasiswa
Sastra Arab angkatan 91 (Tahun pertama).
Karena
sudah tidak ada perkuliahan, saya putuskan untuk tinggal bersama orang tua di
kampung. Kalaupun jauh ke kampus, saya tidak merasa berat lagi karena perginya
hanya sesekali saja. Di kampung, saya sudah mulai merintis masa depan, dengan
menjadi guru honorer di salah satu SMP Negeri, tidak jauh dari tempat tinggal
saya.
Hampir
enam bulan saya tidak pernah ke kampus. Semakin lama tidak ke kampus, semakin
malas dan berat langkah untuk menyelesaikan studi. Orang tua pun mulai
bertanya-tanya kapan selesainya. Bahkan saya dengar ada beberapa kawan yang
sudah lulus sidang munaqasah atau sidang skripsi.
Suatu
hari di saat jam kosong mengajar, saya sempatkan datang ke kampus. Memang sudah
sulit bertemu dengan teman sekelas atau yang seangkatan. Mereka rata-rata
sedang menyusun skripsi dan sudah banyak yang tidak tinggal di tempat kos lagi.
Lalu,
secara tak sengaja saya bertemu dengan dua orang teman sekelas saya yang sedang
menyusun skripsi, bahkan sudah bab 4. Karena berjumpa teman-teman sekelas
itulah, hati saya tergerak untuk kembali menyelesaikan studi.
Saya
tidak bisa membayangkan betapa kecewanya orang tua jika saya tak dapat
menyelesaikan studi. Mereka sudah berjuang, bersusah payah membiayai saya. Mereka berharap betul saya menjadi sarjana.
Alasannya, pertama, saya anak nomor satu dalam keluarga. Kedua, mungkin hanya
sayalah yang sanggup mereka kuliahkan.
Selanjutnya,
mereka berharap saya bisa membantu adik-adik saya. Dan memang, pada
kenyataannya, hanya saya yang melanjutkan kuliah S1, sementara keempat adik
saya, semuanya hanya tamatan SMA.
********
Sesampainya
di rumah, saya cari-cari lagi berkas proposal yang pernah ditolak dosen
penguji. Lalu, dengan judul yang sama, saya perbaiki dan rapikan proposal itu
dan tiga hari kemudian, saya kembali ke kampus untuk mengajukan proposal
tersebut.
Alhamdulillah,
angin takdir baik menyapa saya. Tanpa banyak koreksi, proposal judul skripsi
saya disetujui. Salah seorang petugas tata usaha jurusan, yang bertugas
menentukan dosen pembimbing skripsi bertanya kepada saya: “Ahmad, kamu mau
pilih yang mana, dosen pembimbing yang alamatnya dekat, tetapi sulit proses dan
persetujuannya, atau dosen pembimbing yang alamatnya jauh, tapi mudah proses
dan persetujunnya?” Sejenak saya berpikir, lalu saya jawab: “ Saya pilih yang
kedua pak.”
Waktu
itu, saya pikir, biarlah berat di ongkos yang penting proses penyusunan skripsi
cepat dan lancar. Karena, waktu itu saya sudah masuk tahun kelima atau semester
10. Akhirnya, petugas TU memberi saya dosen pemimbimg 1, seorang dosen senior,
sekaligus seorang kiayi Haji lulusan Al Azhar Kairo yang tinggal di daerah
Singaparna Tasikmalaya Jawa Barat. Sedangkan, dosen pembimbing 2, seorang
ibu-ibu yang sedang melanjutkan studi program S2 di IAIN Syarif Hidayatullah
Jakarta (sekarang UIN).
Tanpa
membuang-buang waktu, kurang lebih dua bulan saya susun skripsi. Saat itu belum
musim laptop. Komputer sudah mulai ada, tapi belum terlalu booming.
Rata-rata mahasiswa yang masih menggunakan mesin tik.
Karena
skripsi saya berbahasa Arab, saya mengunakan tulisan tangan. Demikian juga
semua teman di jurusan Sastra Arab, hampir semua masih mengunakan tulisan
tangan. Program tulisan Arab di komputer masih jarang. Karena tulisan Arab saya
termasuk kurang bagus, saya meminta tolong teman saya dan seorang adik tingkat
untuk menuliskannya.
Setelah
dianggap selesai dan rapi. Langsung saya meluncur ke Tasikmalaya, menuju tempat
tinggal dosen pembimbing 1. Lagi-lagi saya belum mencatat nomor telepon rumahnya.
Menjelang
waktu isya saya sampai di rumah beliau. Waktu itu beliau mau keluar bersama
keluarganya. Tentu saja, beliau terganggu dengan kedatangan saya karena tidak
ada janji sebelumnya. Saya pun menyadari akan hal itu. Akhirnya, saya disuruh
kembali besok malamnya.
Kebetulan
kelaurga dari istri paman saya tinggal di daerah situ. Dengan susah payah saya
mencari alamatnya. Alhamdulllah ketemu dan malam itu saya numpang menginap di
rumah itu.
Keesokan
harinya, karena sudah ada janji, saya disambut hangat oleh dosen pembimbing
saya. Meskipun banyak yang harus diperbaiki, namun semuanya diperiksa hari itu
juga.
Setelah
memperbaiki dan merapikan materi skripsi sesuai yang diminta oleh dosen
pembimbing 1, saya bertolak ke Jakarta untuk menemui dosen pembimbing 2. Sampai
di Jakarta sekitar jam 9 malam.
Cukup
lama juga mencari alamat beliau, apalagi di Jakarta, tidak semua orang, ramah
untuk ditanya-tanya alamat. Terkadang, ada orang ketika ditanya alamat, tanpa
berpikir dulu tahu atau tidaknya, langsung menggelengkan kepala menjawab tidak
tahu.
Hari
sudah malam, hujan mengguyur ibu kota malam itu. Alhamdulillah, walaupun agak
susah, akhirnya ketemu juga alamat dosen pembimbing 2.
Ketika
menatap saya tampak lusuh, cape, kehujanan, malam-malam, dan datang dari jauh,
naluri keibuan dosen pembimbing saya muncul.
Sebelum
menanyakan skripsi saya, beliau menghidangkan dulu minuman hangat dan makanan
ringan. Setelah itu baru ia memeriksa dan memperbaiki susunan daftar isi, tata
bahasa, cara menulis daftar pustaka, cara menukil pendapat sumber dan semua
yang berkaitan dengan tekhnik penyusunan skripsi.
Beberapa
hari kemudian, setelah saya perbaiki dan rapikan hasil koreksian dan catatan dari kedua dosen
pembimbing, saya masukan surat persetujuan / acc kedua pembimbng ke
bagia TU. Lalu, kami menunggu satu bulan kemudian untuk menghadapi sidang
skripsi.
Sebulan
kemudian tibalah hari yang menegangkan itu. Semua wajah mahasiswa yang sedang
mengikuti sidang munaqasah atau sidang skripsi pagi itu tampak tegang. Pasalnya,
ketua tim penguji merupakan dekan Fakultas, sekaligus dosen senior yang
terkenal cukup ‘killer’ selama ini.
Siapapun
yang diuji oleh beliau, hampir semuanya tidak lulus satu kali. Tapi, harus mengulang sidang dua kali, bahkan
sampai tiga kali, baru dinyatakan lulus. Sementara jadwal dari satu sidang
skripsi ke sidang berikutnya biasanya 4 bulan.
Sampailah
giliran saya untuk menghadapi saat-saat menegangkan itu. Setelah nama saya
dipanggil untuk masuk ke dalam ruangan sidang, beberapa saat, saya berusaha
menenangkan diri, dengan menarik nafas panjang tiga kali sambil dalam hati
mengucap “laa haulaa walaa quwwata illa billaah” sebanyak-banyaknya saya bisa.
Ketika
saya dipersilahkan duduk di kursi yang terletak di hadapan para penguji, saya
layaknya seorang pesakitan atau seorang tersangka kasus hukum yang akan
menjalani persidangan. Di depan saya berjejer beberapa orang penguji dan tepat
berhadapan dengan saya, penguji ‘killer’ yang ditakuti oleh para
mahasiswa.
Saya
terus berjuang mengendalikan diri agar tenang dan tidak panik serta grogi.
Dosen penguji itu pertama-tama melihat dan mengamati skripsi saya. Dibukanya
sesaat, lalu ditutup lagi. kemudian, sesekali memandang wajah saya. Saya tetap
berusaha tenang.
Sambil
membuka kembali skripsi saya, beliau mulai memaki-maki saya dengan suara agak
tinggi. Beliau katakan: “Skripsi macam apa ini, kok calon sarjana buat karya
ilmiah asal-asalan.” Dan, banyak lagi kata-kata beliau yang bisa membuat down
siapapun.
Tapi,
alhamdulilah, selama kurang lebih dua menit beliau berkata-kata, saya diberi
ketegaran dan cukup tenang. Saya menanggapi semuanya dengan sedikit senyum dan
mengiyakan apa yang beliau katakan.
Akhirnya,
beliau sedikit tersenyum sambil berujar: “ Ini baru pemanasan belum mulai.
Sekarang silahkan presentasikan penelitian kamu!” Perintah ini mulai
menggunakan bahasa Arab. Saya merasa lega mendengar itu. Rupanya di awal tadi
beliau hanya menguji dan menggertak mental saya.
Saya
pun langsung mempresentasikan isi skripsi saya. Tentu saja menggunakan bahasa
Arab, karena menjadi syarat utama. Belum sampai sepuluh menit saya menjelaskan
inti dan kesimpulan skripsi saya, tiba-tiba beliau memotong dan mengatakan:
“khallaas, tafaddhal ukhruj!”( Sudah, silahkan keluar!)
Tentu
saja saya kaget tiba-tiba disuruh keluar. Saya tidak mengerti makna kalimat
itu, apakah dinyatakan lulus, atau malah tidak lulus dan harus mengulang lagi 4
bulan kemudian.
Lalu,
saya coba menyakinkan, “ a Haadza shahiih?”(Apakah ini serius?) Tanya saya.
Kemudian beliau pun menjawab kembali: “Na’am tafaddhal ukhruj!” (Ya, silahkan
anda keluar!)
Saya
pun segera meninggalkan ruangan sidang dengan penuh tanda tanya dalam hati.
Peserta sidang yang sedang menunggu giliran di luar, sedikit bertanya-tanya,
mengapa proses sidang saya begitu cepat. Saya menanggapi pertanyaan teman-teman
hanya dengan menggelengkan kepala, sambil meninggkalkan kampus menuju tempat
kos teman saya.
Selama
beberapa hari saya menginap di tempat kos adik kelas saya untuk menunggu hasil
keputusan sidang. Tiga hari kemudian, saya berjumpa dengan salah seorang adik
kelas satu jurusan. Dia spontan bilang: “Kang, selamat ya, akang lulus
memuaskan, nilai sidang A.”
Mendengar
itu saya hanya tersenyum dan menanggapi kata-kata adik kelas itu: “wah, kamu
jangan bercanda, kalaupun saya ditakdirkan sekali lulus dengan bapak itu, dapat
nilai B saja sudah luar biasa.” Namun, adik kelas itu berkali-kali meyakinkan
saya, bahwa info itu benar dan dia bilang melihat sendiri pengumumannya sudah
ditempel di papan informasi depan kantor jurusan.
Lama kelamaan, saya jadi penasaran. Lalu saya
meluncur menuju ruang jurusan dan ternyata apa yang disampaikan adik kelas saya
itu benar. Seolah tak percaya dengan apa yang saya lihat, saya baca
berulang-ulang pengumuan kelulusan itu.
Setelah
benar-benar yakin saya lulus, apalagi memuaskan, saya langsung sujud syukur di
tempat. Setelah itu saya bergegas menuju tempat telepon umum yang terletak di
sudut gerbang kampus.
Karena
di rumah orang tua saya tidak ada telepon, saya kabari orang tua melalui nomor
telepon rumah bibi saya. Kebetulan rumah bibi tak jauh dari rumah orang tua.
Saya minta tolong bibi, agar menyampaikan berita gembira ini kepada orang tua
saya.
Rupanya, bibi saya mengabari, ayah saya sedang
sakit, tapi di rumah, tidak dirawat di rumah sakit. Memang, kondisi ayah saya
sejak lama lemah dan sering sakit-sakitan.
Kembali
saya berharap, semoga berita baik ini bisa menghibur ayah yang sedang sakit.
Enam tahun yang lalu, ketika saya lulus tes, ayah sedang terbaring di rumah
sakit. Ketika saya lulus, ayah sedang terbaring sakit juga.
Tiga
bulan kemudian acara wisuda dilaksanakan. Sebenarnya saya sendiri tidak terlalu
antusias ikut acara wisuda. Alasannya, pertama, menurut saya itu hanya acara
ceremonial saja dan kedua, agar tidak mengeluarkan biaya lagi. Bagi saya, lulus
sidang skripsi adalah puncak segalanya. Ia akhir dari proses perjuangan selama
menjadi mahasiswa.
Namun,
tentunya berbeda dengan orang tua. Bagi orang tua wisuda adalah simbol
kebanggaan, apalagi waktu itu dikeluarga saya, belum ada yang kuliah S1. Jadi,
atas dasar itu saya ikut wisuda.
Alhamdulillah,
pada hari wisuda, kondisi ayah sudah lebih baik. Jadi beliau bisa ikut
menghadiri acara wisuda. Pancaran kebanggaan ayah tak dapat disembunyikan
ketika melihat saya memakai baju toga.
Begitu juga dengan ibu dan adikku yang saat itu turut mengantar.
Jelas,
orang tua saya merasa bangga, terutama ayah, karena perjuangan mereka tidak
mudah dan tidak ringan membiayai saya. Ditambah lagi keempat adik saya yang
semuanya masih sekolah.
Ayah
saya seorang guru PNS. Tapi, selama hidupnya sering sakit-sakitan. Jadi tidak
bisa berbuat banyak untuk menutupi segala kebutuhan hidup keluarga. Untugnya,
saya punya ibu yang super sabar.
Sambil
merawat ayah yang sering sakit, setiap hari ibu membuat kue-kue untuk dititip
ke warung-warung. Saya dan kelima adik saya ketika masih SD membantu ibu
menitip kue di warung-warung.
Selain
itu, di rumah ibu membuka warung kecil-kecilan. Dari situlah sedikit uang
berputar untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Tambahannya, kalau ayah lagi
sedikit sehat, sesekali menerima jasa menjahi pakaian. Begitu juga dengan ibu
saya. Kebetualan keduanya pandai menjahit pakaian.
Hanya
baru itulah yang dapat kepersembahkan buat ayah. Memberi rasa kebanggaan. Lulus
mendapat gelar sarjana. September 1997 saya diwisuda, ayah pergi untuk
selama-lamanya November 1999.
Jadi,
secara finasial, saya belum banyak berbuat untuk ayah. Ketika ayah meninggal,
saya baru jadi guru tenaga honorer, tentu saja belum berpenghasilan layak.
Waktu
ayah masih ada, setahun menjelang saya selesai kuliah, ayah pernah bilang: “
Bapak tidak menuntut kamu yang muluk-muluk, bapak ingin kamu selesai kuliah dan
melihat kamu diwisuda, kemudian kamu bisa mengamalkan ilmu agar bermanfaat
untuk orang banyak serta bisa membimbing adik-adikmu.” Itulah keinginan dan
pesan beliau yang masih terngiang-ngiang di telinga saya.
Saya
sendiri memang bangga meraih gelar ini, karena tidak mudah bagi saya mendapatkannya.
Perlu pengorbanan dan perjuangan untuk sampai di titik finish.
Saya tidak tahu, bagaimana rasanya orang-orang yang mendapat gelar sarjana dengan cara ‘mudah’. Terlebih, kalau membaca berita atau menonton TV, saya pernah beberapa kali menyaksikan orang-orang ‘terhormat’ yang terjun di dunia politik terlibat kasus ijazah palsu. Demi sebuah ambisi, dengan mudah orang mendapatkan gelar sarjana, magister dan lain sebagainya. Semoga kita terhindar dari semua itu. Amin.
(Memoar adalah sepenggal
perjalanan hidup seseorang/tokoh. Demikian juga tulisan ini merupakan sepenggal
atau satu episode perjalanan hidup penulis. Harapan penulis, semoga memoar
sederhana ini dapat bermanfaat dan memberi inspirasi buat sahabat "KItabisa")
Nantikan Memoar: Tangisan itu Berujung Senyuman Part 5 dengan judul :
Manisnya Mangga Indramayu (Edisi Kuliah Kerja Nyata/KKN)
Kontak
Penulis/Blogger : 0822 8379 0651
Mohon maaf para pembaca setia blog " Kitabisa" yang pertama tadi tayang salah tulis judul: Manisnya Manga Indramayu. Judul yang benar : Liku-Liku Meraih Gelar Sarjana
BalasHapusUntuk Manisnya Mangga Indramayu, Insya Allah setelah ini.