Bab I
Indahnya,
Masa Kecilku.
Saya
tinggal di sebuah kampung yang terletak di kaki Gunung Burangrang, sebelah
utara kota Bandung dan Cimahi, serta sebelah barat kota Lembang. Kampung itu berada di ketinggian sekitar
seribuan meter di atas permukaan laut.
Pemandangan
di kampung saya cukup indah dan udaranya terasa segar. Di sebelah utara bediri
gagah gunung Burangrang. Di sampingnya, bertengger gunung yang terkenal dengan
cerita legenda Sangkuriang, gunung Tangkuban Perahu.
Bila
malam hari, dari puncak bukit yang berada di sebelah selatan kampung, terlihat
kerlap-kerlip lampu serta gemerlapnya kota Cimahi dan kota Bandung. Keindahan
kota saat suasana malam itu, memanjang jauh dari ujung paling barat sampai
ujung paling timur.
Kampung
itu bernama Barukai. Tepatnya berada di Desa Jambudipa Kecamatan Cisarua
Kabupaten Bandung (sekarang Kabupaten Bandung Barat).
Tidak
jauh dari rumah orang tua saya, dua buah sekolah dasar sejak lama berdiri. Yang
pertama bernama SDN 01 Jambudipa dan yang satu lagi SDN Barukai. Saya sendiri
‘sekolah’ di SDN 01 Jambudipa. Ibu, semua paman dan bibi saya, semuanya alumni
dari SD ini. Sekolah ini termasuk salah satu SD tertua di kecamatan Cisarua.
Sebuah
pasar Inpres berdekatan dengan sekolah itu. Di sampingnya, sebuah lapangan
hijau berukuran standar internasional. Di lapangan itulah setiap sore, mulai anak-anak sampai orang dewasa ramai
bermain bola.
Di
lapangan itu, sering diadakan turnamen sepak bola antar klub se-Kecamatan
Cicarua. Selain untuk sarana olah raga, lapangan ini juga berfungsi sebagai
tempat hiburan dan upacara hari-hari besar nasional tingkat kecamatan.
Saat
itu, saya dan keluarga sering menonton layar tancap. Yang mengadakan biasanya
perusahaan-perusahaan tertentu untuk promosi dan jualan.
Tepat
di seberang lapangan, dibangun Sekolah Polisi Negara/SPN Cisarua milik Polda
JABAR. Tempat itu, sebelumnya merupakan asrama Brimob yang bangunannya, masih
peninggalan bangunan Belanda, mengingat dahulunya bekas tempat tinggal
para’Tuan’ (penduduk di sana memanggil penjajah Belanda dengan sebutan Tuan).
Gunung Burangrang Keluyuran.com
Para
penghuni asrama, terdiri dari anggota Brimob yang masih aktif dan sebagian yang
sudah lama pensiun. Setelah dibangun SPN, bangunannya dirombak total. Anggota
Brimob yang masih aktif dipindahkan asramanya ke Cikole Lembang, sementara yang
sudah pensiun, diminta untuk mengosongkan asrama itu.
Rumah
Sakit Jiwa Cimahi milik Pemda Jawa Barat, berdampingan langsung dengan bangunan
SPN. Kedua bangunan itu hanya terhalang oleh sebuah aliran sungai kecil.
Posisi
rumah orang tua saya hanya beberapa puluh meter dari jalan raya. Sementara
posisi jalan raya jauh lebih tinggi dari rumah orang tua.
Di
samping jalan raya, sebuah aliran sungai melintasi samping rumah orang tua
saya. Aliran sungai itu berasal dari gunung Buranggrang. Sebelum melewati
samping rumah orang tua saya, aliran sungai itu melewati batas antara bangunan
SPN dan Rumah Saki Jiwa.
Dulu,
sungai itu cukup dalam dan jernih airnya. Tentu saja cukup dingin karena airnya
berasal dari gunung. Sewaktu saya masih kecil, ayah sering mengajak mandi di
sungai itu waktu subuh. Kata ayah saya: “kalau kita mandi di pagi hari, apalagi
subuh dengan air dingin, maka setelahnya badan menjadi hangat. Memang iya,
mungkin karena dingin dilawan dingin.
Saya
dan teman-teman pun sering bermain di sungai ini. Saya sering bermain
menghanyutkan badan menggunakan ban dalam mobil, melewati jembatan-jembatan
kecil dari bambu, yang dibuat secara gotong royong oleh para penduduk.
Karena
datarannya tinggi, di kampung saya, sulit membuat sumur. Selain itu, belum ada aliran PAM atau PDAM. Maka, hampir
semua penduduk menggunakan air sungai ini untuk kebutuhan mandi dan mencuci.
Air
sungai itu dialirkan ke jamban-jamban umum atau dialirkan langsung ke rumah
menggunakan selang. Untuk air munum, biasanya penduduk mengambil dari mata air
yang ada di dua lembah bernama ‘Muril’ dan ‘Ranca.’atau dari asrama Brimob.
Setelah
adanya SPN, sungai ini biasa dijadikan tempat merendam para siswa kepolisian.
Tengah malam atau menjelang subuh, para siswa itu direndam berjam-jam di tengah
dinginnya air pegunungan. Mereka tidak memakai baju.
Para
pelatih berdiri di atas jembatan-jembatan
bambu itu sambil sesekali berteriak dan memukul kepala para siswa yang
kepalanya muncul terlalu tinggi. Saya dan penduduk di situ sering menonton
pertunjukkan itu. Kadang, saking tak kuat menahan dingin, di atara siswa itu
ada yang kram, bahkan ada yang pingsan.
Kini,
semuanya tinggal cerita dan kenangan. Saat ini sudah tidak ada lagi tempat
berenang dan bermain hanyut-hanyutan untuk anak-anak, tidak ada lagi
pemandangan sungai yang jernih airnya. Juga, tidak ada lagi pertunjukkan para
siswa kepolisian direndam berjam-jam.
Semuanya
telah berubah drastis. Sungai itu menjadi sangat dangkal dan menyempit. Selain
itu, ia berubah fungsi menjadi tempat pembuangan sampah. Bantaran sungai yang dulu bisa
digunakan penduduk untuk sekedar menikmati aliran sungai yang jernih, kini
sudah menjadi bangunan-bangunan permanen. Kini kampung saya sudah menjadi
kawasan padat. Suasananya tampak kumuh, tak jauh dengan kekumuhan yang ada di
ibu kota. Pemandangan kumuh itu, lebih
tampak lagi bila di musim kemarau.
Beberapa
tahun terakhir ini, jika hujan turun agak lebat dan lama, banjir pun tidak bisa
dihindari mengingat sungai yang dangkal, menyempit dan penuh dengan sampah.
Air
sungai melimpah ke jalan raya. Jadi, saat banjir, tidak bisa lagi dibedakan
mana sungai, mana jalan raya, karena semuanya tertutupi oleh air.
Sebelum
tanggul-tanggul ke arah rumah orang tua saya ditinggikan, biasanya rumah orang
tua saya dan tetangga sekitarnya, bertahun-tahun menjadi langganan kebanjiran
air sungai itu.
Hal
itu terjadi karena posisi rumah orang tua lebih rendah dari sungai itu. Jadi,
untuk mengantisipasinya, di depan pintu rumah rumah orang tua dan para tetangga,
dipasang tanggul penghalang setinggi 30 cm sampai 1 meter. Ada yang sementara
menggunakan seng, ada juga yang ditembok secara permanen.
Sungai di kampung Barukai. BandungKita.id
Kampung Barukai saat banjir. Pikiran Rakyat.com
Kondisi
seperti ini sudah berlangsung lama. Semakin parah lagi, setelah adanya jembatan-jembatan
permanen dari beton milik pribadi.
Seingat
saya, dari dulu dilarang membuat jembatan permanen di atas sungai secara
pribadi. Yang dibolehkan hanya terbuat dari bambu. Kemudian, bantaran sungai
itu tanah milik pemerintah, dalam hal ini Dinas PU. Yang saya tidak mengerti,
kenapa semuanya jadi dilanggar? Ada permainan apa sebenarnya?
Masalah
sampah, tentu berkaitan dengan masalah para pendatang. Walaupun kampung halaman
saya hanya sebuah Desa, namun dari dulu sudah banyak pendatang. Kebanyakan
mereka para pedagang.
Saya
tidak sepenuhnya menyalahkan para pendatang yang kebanyakan tinggal di
rumah-rumah kontrakan dan berjualan di pinggir jalan sepanjang sungai itu. Mungkin mereka tidak tahu harus
membuang sampah ke mana. Tapi, seandainya penduduk pribumi, termasuk RT dan RW
tegas, punya program yang jelas serta didukung oleh pemerintah mulai tingkai
Desa, saya yakin semuanya akan teratasi.
Karena
Pasar, Sekolah, SPN dan Rumah Sakit Jiwa berdekatan, meskipun di kampung, tapi
bisa dikatakan ramai suasananya. Apalagi, kampung saya menjadi jalan
alternatif bagi orang-orang Jakarta yang
hendak menghabiskan weekend di kota Lembang. Mereka tidak perlu masuk
kawasan pusat kota Bandung yang sangat macet.
Mayoritas
pendukuk di kampung saya bekerja sebagai petani dan peternak sapi. Kalau pun
ada yang menjadi pegawai negeri sipil atau buruh swasta, hanya beberapa
gelintir saja. Karena terletak di kaki gunung, aneka sayuaran seperti wortel,
kol, brokoli, tomat, kentang, kacang buncis, sawi, bawang daun dan sayuran
lainnya, tumbuh cukup subur.
Kompasiana.com
Kompas.com
Selain menanam sayuran, banyak juga
penduduk di sana yang memenuhi kebunnya dengan pohon cengkeh. Tepat di depan
rumah nenek saya, yang juga tidak jauh dari rumah orang tua saya, berjejer
puluhan pohon cengkeh yang batangnya cukup tinggi. Pemiliknya salah seorang
penduduk di sana.
Setiap
tahun cengkeh ini berbuah lebat. Saya dan nenek setiap pagi dan sore selalu
mengutip cengkeh-cengkeh yang jatuh tertiup angin. Banyak juga tetangga nenek
saya yang turut mengutip.
Jika
di pagi hari, saya dan nenek berusaha cepat-cepat ke kebun cengkeh itu agar
tidak terdahului orang lain. Bahkan, saya dan nenek sering berada di sana
setelah shalat subuh. karena, jika datang lebih awal, hasilnya pun akan dapat
banyak.
Kalau hari masih gelap, saya membawa lampu
tempel. Untungnya, pemilik kebun cengkeh
tidak melarang, kalau hanya sekedar mengutip cengkeh yang jatuh.
Alhamdulillah,
dari setiap hari mengutip cengkeh itu, setelah dikumpul-kumpul dapat lumayan
banyak. Setelah dijemur berhari-hari sampai kering, bisa mencapai dua sampai
tiga kilogram. Uang hasil penjualan, selain untuk jajan, saya simpan dalam
celengan dari bekas kaleng susu atau celengan bambu.
Di
bagian puncak sebuah bukit dekat rumah orang tua saya, sebatang pohon beringin
tua, berdiri menjulang tinggi dan daunnya sangat rindang. Para penduduk biasa
menyebutnya ‘punclut.’ Tempat itu dijadikan untuk pekuburan umum.
Seingat saya, di bukit itu, dari dulu sudah ada dua stasiun pemancar. Yang satu pemancar TVRI dan satu lagi pemancar RRI.
Namun
seiring berjalannya waktu dan sejak dimudahkan perizinan stasiun televisi,
belasan tahun kemudian di tempat itu berdirilah beberapa stasiun pemancar TV
swasta dan perusahan telekomunikasi.
Jadi,
akhirnya bukit itu seperti ladang yang ditumbuhi pohon-pohon besi. Jika di malam
hari, warna-warni lampu yang menerangi pemancar itu cukup indah dipandang.
Di
sekitar bukit itu, banyak kebun milik penduduk yang ditanami cengkeh. Setelah
dibangunnya pemancar-pemancar itu, pohon-pohon cengkeh di sekitarnya, tidak
lagi berbuah lebat dan tidak rutin mengeluarkan buahnya setiap tahun. Padahal
sebelumnya, pohon-pohon cengkeh itu lebat buahnya dan setiap tahun berbuah.
Saya
tidak tahu alasan ilmiahnya, tapi kenyataannya seperti itu. Bahkan tidak hanya
pohon cengkeh yang terkena dampaknya,
pohon lain pun ikut terkena dampaknya, seperti pohon jeruk.
Yang
lebih parah lagi, malah ada beberapa pohon cengkeh yang mati. Pohon-pohon
tersebut, semacam terkena radiasi dari pemancar-pemancar itu.
Seandainya
dugaan itu benar, jika di negara maju yang masyarakatnya rata-rata
berpendidikan memadai, mereka bisa mengajukan class action, yaitu
tuntutan ganti rugi kepada perusahaan-perusahaan atau pemerintah, atas kerugian
masyarakat yang disebabkan pengaruh adanya pemancar-pemancar itu.
Karena
berada di ketinggian, udaranya di kampung saya sangat dingin. Penduduk kampung
rata-rata seharian mengenakan jaket. Bila musim hujan tiba, udaranya terasa
lebih dingin lagi dan sering dalam seharian, langit tampak gelap dipenuhi
kabut.
Untuk
mengurangi rasa dingin, saya sering sengaja mendatangai rumah nenek saya, yang
tidak jauh dari rumah orang tua. Di rumah nenek, ada tungku perapian yang bahan
bakarnya ranting dan kayu. Di pagi hari, sambil menghangatkan badan di depan
tungku itu, kadang saya selingi dengan membakar ubi atau pisang.
Bila
musim hujan, terkadang kayu bakarnya belum sepenunya kering. Jadi, agak
kesulitan untuk disentuh api. Terpaksa saya harus berulang-ulang meniup tungku
perapian, menggunakan ‘songsong’, sebuah
peniup mirip suling yang terbuat dari bambu. Tak pelak lagi, karena belum ahli
cara meniupnya, abu dari tungku itu berterbangan ke arah muka saya.
Di
kampung itulah, 05 Maret 1972 saya dilahirkan dari kedua orang tua bernama
Muhammad Yusuf dan Neni Sutarsih. Di keluarga, saya anak pertama dari enam
bersaudara. Namun, adik saya nomor dua meninggal saat masih berumur dua minggu.
Seperti
pada umumnya anak-anak yang lain di
kampung saya, ketika masih duduk di
bangku SD, setiap hari sepulang sekolah dan shalat dzuhur, saya habiskan waktu
untuk bermain dengan teman-teman sebaya saya.
Karena
saya tinggal di kampung, hampir seluruh alat dan jenis permainan saat itu
bersifat tradisional. Mulai dari bermain layang-layang, main petak umpet, main
kelereng, ketapel, main tembak-tembakan dan mobil-mobilan yang terbuat dari
bambu, sampai bermain cerita wayang golek yang terbuat dari tangkai pohon
singkong.
Selain
itu, sering juga saya bermain sepeda, barenang di sungai dan bermain sepak bola
di sore hari.
Yang
membedakan saya degan kebanyakan teman-teman lainnya, sejak duduk di bangku
kelas 4 SD, saya mulai suka mencari uang. Alasannya sederhana waktu itu, agar
saya bisa menabung dan punya cukup uang untuk jajan sehari-hari.
Memang,
setiap hari saya dapat jatah uang jajan, tetapi tidak banyak. Jatah uang jajan
saya dari orang tua setiap hari sekitar 2 ratus rupiah. Jika dibandingkan
dengan nilai mata uang rupiah sekarang, sebanding dengan 2 ribu rupiah. Uang 2
ratus rupiah saat itu, kalau dijajankan makanan, hanya dapat dua buah bakwan
atau gorengan. Jadi, tentu saja sangat
terbatas.
Ayah
saya seorang guru PNS, kalau sekarang ASN. Gaji guru PNS waktu itu masih sangat
memprihatinkan, apalagi untuk golongan II seperti ayah saya. Sangat jauh
berbeda jika dibandingkan dengan guru-guru sekarang. Sejak zaman pemerintahan
SBY, mereka sudah banyak menerima
tunjangan yang dikucurkan oleh pemerintah, baik untuk guru swasta terlebih untuk
guru PNS.
Selain
gaji kecil, fisik ayah saya lemah sejak muda. Beliau sering sakit-sakitan. Jadi
waktunya sering dihabiskan terbaring di kamar, bahkan sering dirawat di rumah
sakit.
Sebenarnya,
ayah saya punya keterampilan menjahit pakaian. Kalau lagi sehat sering menerima
jasa menjahit. Namun, karena lebih sering sakitnya dari pada sehat, keterampilan
ayah saya tidak dapat membantu banyak.
Namun,
meskipun keadaanya demikian, yang membuat saya bangga dengan ayah, beliau
selalu hati-hati dalam memberi nafkah keluarga. Demikian juga dengan ibu saya.
Jika
sewaktu-waktu ayah memberi uang yang tidak biasanya diterima, ibu selalu
bertanya dari mana uang itu. Ayah pun tidak merasa tersinggung. Ayah tidak mau
sedikit pun ada barang haram yang dikonsumsi anak istrinya, sehingga mengalir
menjadi darah dan tumbuh menjadi daging. Ayah saya sering bilang, biarlah kita
hidup sederhana, yang penting berkah dan hati tenang.
Sementara
ibu saya, hanya lulusan SMP. Namun beliau pun punya keterampilan menjahit
pakaian, hasil kursus ketika masih gadis. Selain itu, beliau pandai membuat
kue. Untuk membantu kebutuhan hidup keluarga, selain menerima jasa menjahit pakaian,
ibu saya sering membuat kue untuk dititip di warung-warung.
Setiap
pagi, sebelum berangkat sekolah, saya bertugas membawa kue-kue buatan ibu ke
beberapa warung untuk dititip. Sore harinya, kembali saya berkeliling untuk
mengambil uang hasil penjualan dan sisa kue-kue itu. Ketika saya sudah masuk
pesantren, tradisi menitip kue-kue di warung ini terus berlangsung saat
adik-adik saya mulai beranjak besar.
Dari
uang penjualan kue itulah, ibu saya bisa membekali saya dan keempat adik saya
uang jajan. Saya anak pertama di keluarga. Ketika saya duduk di kelas 4 SD,
Adik perempuan yang berdekatan dengan saya baru kelas 2, sementara dua adik
laki-laki dibawahnya belum sekolah. Sedangkan adik perempuan paling bungsu,
masih bayi.
Ibu
saya memang super sabar. Selain harus merawat ayah yang sering sakit, menemani
saat di rawat di rumah sakit, juga harus mengurusi seluruh keperluaan
anak-anaknya sang masih kecil-kecil.
Setiapa
orang tua di mana pun pasti rela berkorban untuk anak-anaknya. Mereka rela
mengobankan waktu, tenaga, pikiran, perasaan, harta bahkan jiwa sekalipun, tak
terkecuali dengan ibu saya.
Seingat
saya, gaji ayah tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari selama
sebulan. Jika uang sudah habis, ibu saya harus menyimpan dalam-dalam perasaan
malunya, karena ia harus bulak-balik ke warung tetangga untuk mengambil dulu
alias berhutang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Saat
gajian tiba, ibu membayar hutang-hutang tersebut ke warung, lalu kembali
berhutang untuk dibayar bulan berikutnya. Istilah populernya, gali lobang tutup
lobang. Keadaan itu terus berlanjut dalam waktu lama.
Saya
sendiri tidak pernah menuntut banyak kepada orang tua, karena sejak saya duduk
di kelas 4 SD, saya sudah mulai belajar mencari uang sendiri. Saya belajar
mencari uang, ada yang bersifat musiman, harian dan mingguan. Yang bersifat
musiman misalnya jualan di bulan Ramadhan atau ketika hari-hari besar nasional.
Setiap
bulan Ramadhan, saya biasa keliling kampung berjualan kembang api dan
sejenisnya. Semua yang dijual tidak berbahaya, karena ayah melarang saya
berjualan petasan.
Selain
kembang api, terkadang di pagi hari saya berjualan kelapa tua. Kelapa itu milik
adik dari nenek saya. Ia mempunyai warisan kebun kelapa peninggalan suaminya di daerah Ciamis Jawa Barat. Jika
datang bulan puasa, kelapa-kelapa itu dikirim ke adik nenek saya itu. Jadi,
saya dapat upah dari menjualkan kelapa-kelapa itu.
Setiap
kali memperingati hari-hari besar nasional tingkat Kecamatan, lapangan bola
dekat rumah orang tua saya biasanya dijadikan tempat upacara dan berbagai
kegiatan. Yang paling meriah jika memperingati Hari Kemerdekaan RI setiap 17
Agustus.
Setiap tahun, setiap kali memperingati HUT RI,
tidak hanya sekedar diadakan upacara dari seluruh instansi dan sekolah yang ada
di kecamatan Cisarua, tetapi melibatkan kegiatan semua warga masyarakat.
Setiap
Desa yang ada di kecamatan Cisarua, berlomba membuat ‘Jampana’, semacam rumah-rumahan
yang dibuat dari bambu, lalu dihias dengan kertas warna-warni. Yang paling
dominan, tentu warna merah putih. Kemudian di sekeliling jampana itu, dipenuhi
dengan hasil bumi berupa aneka sayuran dan buah-buahan.
Di dalam jampana itu disusun aneka makanan
khas buatan para ibu. Setelah upacara selesai, aneka sayuran, buah-buahan dan
makanan khas yang ada dalam jampana itu jadi rebutan warga.
Selain jampana, warga juga membuat anekan
kreasi dari berbagai bahan. Kreasi-kreasi itu ada yang berupa pesawat, tank baja, mobil dan lain-lain.
Jampana dan hasil kreasi itu diarak warga beramai-ramai sambil diiringi
kesenian tradisional yang ada di Desa itu menuju lapangan upacara.
Jadi,
selain peserta upacara, di lapangan itu turut diramaikan juga oleh warga masyarakat,
para pedagang dan ibu-ibu yang mengadakan bazar.
Anak-anak
sekolah, termasuk saya harus mengikuti upacara. Setelah upacara selesai
biasanya langsung pulang. Jadi, posisi saya berada di dalam barisan sekolah
masing-masing.
Ketika
warga masyarakat mulai ramai berdatangan, saya diam-diam menyelinap keluar dari
barisan. Lalu, saya pulang ke rumah untuk mengganti pakaian. Setelah itu saya
datangai orang ‘kaya’ di kampung itu untuk menjual es lilin.
Waktu
itu, di kampung saya hanya beberapa orang saja yang punya kulkas dan membuat
es. Biasanya, saya membawa dua termos es lilin. Satu termos es bisa berisi 50
buah es lilin. Satu buah es lilin harganya 100 rupih. Dari yang punya es
harganya 80 rupiah. Jadi saya dapat untung 20 rupiah dari setiap satu es yang
terjual.
Dalam
suasana upacara yang lumayan panas, jualan es lilin lumayan laku. Yang beli
rata-rata anak-anak sekolah. Jika salah seorang guru di sekolah saya kebetulan
melihat saya sedang berjualan, mereka pun tak melarang saya waktu itu. Kalau es lilin yang saya jual habis, saya dapat
upah 2 ribu rupiah. Uang yang cukup banyak bagi saya saat itu, karena sama
dengan jatah 10 hari uang jajan saya dari orang tua.
Jika
lagi mujur, es lilin itu cepat habisnya, sementara acara belum selesai dan
orang-orang masih ramai. Saya pun cepat-cepat mengambil lagi es lilin itu ke
rumah yang punya.
Itu
cara saya mendapatkan uang secara musiman. Untuk yang harian, kebetulan di
dekat rumah orang tua saya ada tempat cuci mobil.
Saat
itu masih jarang tempat cuci mobil yang menggunakan hidrolic dan mesin
kompressor seperti sekarang. Tempat cuci mobil itu, hanya berupa kolam besar
dengan ketinggian air sekitar 30 cm. Lalu, dibuat beberapa tembok tinggi
berbentuk segi tiga, yang lebarnya disesuaikan dengan ukuran mobil. Jadi, semua
‘kolong’ atau bawah mobil dapat dicucui dengan mudah.
Setiap
sore hari, sehabis shalat ashar saya bersama beberapa teman sudah stand by di
gerbang masuk tempai cuci mobil itu. Kebanyakan pelanggan tempat cuci itu,
mobil-mobil angkutan pedesaan trayek Cisarua- Cimahi.
Mobil-mobil
itu, banyak yang sudah pulang sore-sore karena sudah dapat uang setoran.
Sebagian ada juga mobil-mobil bak terbuka yang biasa menarik sayuran.
Ketika
ada mobil masuk tempai cuci, saya dan teman-teman berlari mengikuti mobil itu,
lalu berebut mendekati sopirnya dan berusaha membujuk sopir itu agar terpilih
atau ditunjuk untuk mencucikan mobilnya.
Setiap
satu mobil, saat itu saya diupah 500 rupiah. Untuk ukuran seorang anak SD di
kampung, uang sebesar itu cukup lumayan. Jika sehari dapat 2 mobil saja,
berarti sudah 1000 rupiah. Dan, itu berarti sama dengan 5 hari jatah uang jajan
saya. Saya dan teman-teman pencuci mobil
yang lainnya, masing-masing punya pelanggan. Jika yang datang pelanggan, saya
tidak usah repot-repot berlari mengejar mobil itu, karena sudah pasti sopir
akan memilih saya. Bahkan, jika saya belum kelihatan, sopir itu yang akan
mencari saya. Demikian juga dengan kawan-kawan yang lain.
Salah seorang tetangga saya yang cukup berada,
memiliki beberapa buah mobil angkutan umum. Salah satunya selalu dibawa oleh
anaknya yang paling tua. Namanya Asep Langgau.
Kalau
sore hari pulang ‘narik’, istilah untuk membawa penumpang waktu itu, dia selalu
menyuruh saya mencucikan mobilnya dan tempat mencucinya di halaman rumah orang
tuanya sendiri. Selain luas halamannya, di sana ada kolam besar untuk mengambil
airnya.
Jika
pulangnya lebih cepat, dia sering datang ke rumah orang tua saya mencari-cari
saya. Bahkan, ketika saya sedang tidur pun, ia membangunkan saya. Katanya,
kalau saya yang mencuci mobilnya, selalu bersih dan tidak pernah ada barang
yang hilang.
Jadi,
budaya cuci mobil ini rupanya seperti budaya pangkas rambut. Istilahnya
‘cocok-cocokkan.’ Bila sopir sudah merasa cocok dengan orang tertentu, maka ia
terus memakai orang tersebut. Kadang saya sering diberi uang tips atau uang
lebih dari kang Asep ini,
Untuk
pendapatan mingguan, setiap minggu pagi, sekitar pukul 05.30 saya sudah berdiri
di ‘Stamplat’, sebutan orang-orang kampung saya waktu itu, untuk sebuah
terminal lintasan kecil. Lokasinya, tepat di depan gerbang SPN.
Saya
berdiri di situ menunggu mobil angkutan umum trayek Cimahi-Cisarua yang tidak
ada kondekturnya atau orang-orang di kampung halaman saya menyebutnya’kenek.
Setelah
saya menawarkan diri dan sopirnya setuju, lalu, saya bertugas menjadi kondektur
dari pagi sampai sore. Tugasnya, berteriak-teriak mencari penumpang dan menagih
ongkos.
Setiap
selesai satu trip perjalanan, saya setorkan uangnya kepada sopir. Selain itu,
tugas terakhir sebelum masuk garasi, saya harus mencuci mobil itu.
Sedangkan
haknya, saya mendapat gaji dan mendapat sekali makan siang di rumah makan.
Kalau penumpang lagi ramai dan sopirnya nggak pelit, kadang dapat tambahan
bonus jajan. Adapun gaji yang diterima, antara 1500-2000 rupiah per hari.
Zaman
itu, memang masa jayanya para juragan angkot (angkutan kota dan sejenisnya).
Alasannya, karena saat itu belum musim kredit kendaraan. Jadi, hampir semua orang
menggunakan angkutan umum.
Orang-orang
yang menggunakan kendaraan pribadi baik motor, apalagi mobil masih jarang.
Kalau pun ada berarti mereka orang-orang yang memang ‘berduit’, karena belinya pakai uang cash.
Saat
itu, menjadi sopir angkutan umum masih cukup menjanjikan, apalagi kalau hari
Sabtu dan Minggu. Pada akhir pekan, biasanya penumpang ‘membludak, karena,
orang yang bepergian lebih banyak lagi. Makanya, para sopir angkot mampu
menggaji seorang kondektur. Jadi, saat itu semua angkutan umum pasti didampingi
seorang kondektur.
Beberapa
puluh tahun kemudian, sejak kredit motor merajalela, murah dan mudah prosesnya,
keberlangsungan angkot mulai goyah. Setelah banyak orang yang kredit motor,
penumpang semakin berkurang.
Para
sopir tidak lagi menggunakan jasa kondektur. Bahkan, ada beberapa angkot yang
sudah tidak jalan lagi, karena susah cari sopir. Yang di rumahnya ada angkot 3
buah, yang jalan hanya 2 buah saja.
Mengapa
susah mencari sopir? Karena, banyak yang berhenti mengemudi. Alasannya, mereka
sudah tidak sanggup lagi mengejar setoran untuk majikannya. Bahkan, mereka
sering ‘tekor’ atau harus menombok uang setoran. Hal ini dialami sendiri oleh
paman dan saudara-saudara saya yang sudah puluhan tahun menjadi sopir angkutan
umum.
Kondisi
angkutan umum semakin parah lagi, ketika beberapa tahun terakhir ini, aplikasi
Grab dan Gojek menjadi trend dan menjadi pilihan transportasi favorit
masyarakat.
Waktu
kecil, saya merasa semua bisa dijadikan uang. Kalau saya menang adu gambar
dengan teman-teman saya, maka gambar itu saya jual kembali kepada
teman-teman. Demikian juga dengan karet
gelang dan kelereng.
Uang
hasil dari berbagai usaha itu, setelah saya pakai jajan, saya simpan dalam
celengan. Alhamdulillah, setiap ada keinginan pribadi seperti, membeli bola,
sepatu bola, kaos bola atau yang lainnya, saya jarang minta sama orang tua.
Sebenarnya,
orang tua saya tidak pernah menyuruh saya mencari uang. Pun, mereka tidak
pernah melarang saya. Hanya saja ayah selalu berpesan, agar saya tidak meniggalkan
shalat dan yang penting kemana-mana harus minta izin dulu.
Masalah
minta izin ini, saya pernah kena batunya. Memang kalau untuk menjadi kondektur
(kenek), saya tidak perna minta izin, karena dugaan saya, mereka tidak akan
mengizinkan saya, karena masih terlalu kecil untuk seorang kondektur dan
terlalu beresiko. Kalaupun bilang sama orang tua, paling nanti setelah
pulangnya.
Suatu
hari,di Minggu pagi, setelah shalat subuh, saya diam-diam pergi ke terminal,
lalu saya menunggu mobil tanpa kondektur. Tidak lama saya menunggu, akhirnya
saya dapat mobil dan deal dengan sopirnya.
Trayek
mobilnya jurusan Cisarua-Cimahi pulang pergi. Dari arah Cimahi menuju Cisarua
jalannya menajak panjang. Di jalan ini sudah tak terhitung terjadi tabrakan
beruntun dan merenggut sejumlah nyawa.
Mobil
angkutan umum ke Desa-Desa, waktu itu pintu keluarnya dari belakang. Tidak
seperti angkutan umum sekarang yang
semua pintunya dari samping. Jika
penumpangnya penuh, kondektur harus berdiri sambil bergelantungan di belakang.
Posisi berdiri sambil bergelantungan di belakang dalam posisi jalan menanjak,
perlu kehati-hatian ekstra dan tenaga yang cukup kuat, karena beban barat badan
semuanya tertumpu pada kedua tangan. Selama perjalanan, tangan kadang terasa
pegal.
Salah satu tradisi para kondektur waktu itu,
kalau ada penumpang yang mau turun, sebelum mobil berhenti, ketika jalannya
sudah agak pelan, kondektur sudah melompat turun duluan. Caranya, sambil
melompat, menurunkan kaki kiri duluan. Saya
pun waktu itu sudah mahir melakukannya. Ketika meloncat, kaki kiri yang harus
terlebih dulu menapak ke muka jalan, lalu, kaki kanan menjadi penyeimbangnya.
Jika dibalik, dijamin akan terjatuh.
Pagi
itu, baru mau satu trip perjalanan dari arah Cimahi ke Cisarua. Penumpangnya,
dua orang pedagang es keliling yang menggunakan roda dan satu orang lagi,
penumpang biasa.
Jadi,
selain ada 3 orang, di dalam mobil itu juga ada dua roda milik penjual es.
Jadi, kondisi mobil agak sempit. Posisi saya pun berdiri bergelantungan di
belakang. Ketika penumpang biasa tadi
mau turun, saya teriak ‘kiri...’(di Bandung dan sekitarnya, kebiasaan penumpang
kalau mau turun mengucapkan kata ‘kiri’).
Entah
mobil masih terlau cepat lajunya atau keseimbangan saya kurang tepat, ketika
saya meloncat, spontan saya terjatuh, lalu terdorong beberapa centimeter ke
depan. Kening, kedua telapak tangan, sikut dan kedua lutut berdarah-darah.
Celana bagian lutut robek. Saya tak berdaya dan tak kuasa untuk bangun.
Akhirnya,
saya diangkat oleh dua orang penjual es itu, dan saya dibaringkan di pangkuan
dia. Jadinya, posisi terbalik, saat itu penumpang yang menyelamatkan kondektur.
Setelah
sampai di Barukai, kampung saya, sang sopir memberi saya uang 2000 rupiah, lalu
ia menyuruh saya pulang. Saya pun memaksakan diri berjalan pulang, walau badan
masih terasa pada sakit. Ya, mungkin dalam pikiran sopir itu, saya masih anak
kecil waktu itu. Jadi, ia tidak mau repot-repot membawa saya ke puskesmas.
Sesampainya
di rumah, tentu ibu dan ayah saya kaget. Sambil mengobati luka-luka saya di
beberapa bagian tubuh, dengan alkohol dan obat merah, ayah saya mengingatkan: “
makanya, sudah ayah bilang, ibu juga sering mengingatkan, kalau mau pergi
kemana-mana harus minta izin dulu. Ini akibatnya kalau ‘ujang’ pergi tanpa
izin. Mungkin gusti Allah gak meridhai.” (di Jawa Barat, ‘ujang’ merupakan
panggilan kesayangan orang tua kepada anaknya yang laki-laki).
Sambil
merasakan perih pada bagian yang luka serta pegal-pegal di sekujur badan, saya
menundukkan kepala, mendengarkan nasehat mereka dengan perasaan bersalah.
Pengalaman
saya yang satu ini masih tentang menjadi kondektur, tapi yang ini berbeda
dengan yang di atas. Mungkin agak sedikit menggelitik dan lucu.
Lagi-lagi
saya pergi tanpa izin untuk menjadi kondektur sebuah angkutan umum. Sebenarnya semasa kecil, bisa dikatakan, saya anak penurut dan hampir tidak pernah
membuat masalah.
Semua
kewajiban saya kerjakan dengan baik. Mulai dari shalat lima waktu, mengaji,
mengambil air bersih dua hari sekali di asrama Brimob, membuang sampah, mencuci
sepatu setiap hari sabtu, mengantar kue ke warung dan mengambilnya kembali sore
harinya. Sikap ini pun sering ibu saya ceritakan kepada adik-adik saya, saat
saya sudah dewasa,
Tapi,
untuk menjadi kondektur ini memang saya agak ‘bandel’. Walau pun sudah terjatuh
agak parah, saya tetap mengulanginya lagi.
Suatu
hari, ketika sekolah libur karena tanggal merah, kembali saya menjadi kondektur.
Ketika mobil sedang melaju dari arah Cimahi menuju Cisarua, tidak
disangka-sangka, ayah saya yang menghentikan mobil itu. Rupanya, walaupun
sedang libur, ayah ada urusan ke sekolah.
Mengetahui
saya kondekturnya, ayah hanya sesekali melirik ke arah saya. Untungnya,
penumpang lain tidak ada yang kenal. Saya pun saat itu merasa agak salah
tingkah.
Ketika
mobil sudah sampai di tujuan akhir, di terminal Cisarua yang tak jauh dari
sekolah tempat ayah mengajar, ayah menyodorkan ongkos. Saat itu ongkos dari
kampung saya ke tempat ayah mengajar hanya 200 rupiah, karena jaraknya hanya
sekitar 4 KM.
Ketika
ayah menyodorkan uang ongkos, saya pun menerimanya. Alasannya, mungkin saat itu
saya masih polos, baru kelas 5 SD. Alasan lainnya, saya takut pada sopir saya.
Jika saya tidak mengambil ongkos dari ayah, sopir tahu berapa jumlah penumpang
yang ada.
Jadi,
kalau uang dari ayah tidak saya diambil, tentu uang yang disetorkan ke sopir
akan berkurang dan saya takut dianggap tidak jujur. Saya pun waktu itu segan
untuk bilang sama sopir, kalau salah satu dari penumpang itu ayah saya.
Ketika
sore hari saya pulang, ayah menceritakan kejadian itu kepada ibu saya. Saya pun
menjelaskan alasannya kepada mereka. Untungnya, saat itu ayah dan ibu saya
tidak marah. Mereka hanya senyum-senyum saja dan mengingatkan saya agar lebih
berhati-hati.
Kalau
berbicara soal cita-cita, waktu kecil saya punya dua cita-cita. Pertama, ingin
jadi tentara dan kedua, ingin jadi guru atau ustadz.
Alasan
ingin jadi tentara, karena saya melihat ‘uwa’ saya, kakak tertua dari ibu saya,
sering datang mengunjungi nenek saya. Ia seorang tentara. Tinggalnya di daerah
Bogor. Kalau datang ke kampung, ia selalu memakai seragam tentara. Waktu itu,
saya melihat uwa gagah sekali.
Selain
itu, saya sering melihat rombongan tentara dari Cimahi atau Batujajar
berseragam tempur lengkap. Mereka melewati kampung saya, menuju gunung
Burangrang untuk latihan.
Sedangkan
alasan saya ingin jadi guru atau ustadz, tentu saja karena saya sering melihat
sosok ayah. Beliau, selain menjadi guru, orang-orang di kampung sering
memanggilnya pak ustadz.
Seingat
saya sejak kecil, di rumah orang tua saya, selalu ramai oleh anak-anak tetangga
yang mengaji. Dan, cita-cita yang kedua inilah yang terwujud. Sudah 24 tahun
saya menjadi seorang guru.
Namun,
untuk menjadi ustadz rasanya saya belum merasa, walaupun di tempat saya
merantau di Riau, banyak memanggil saya pak ustadz. Alhamdulillah, setiap bulan
Ramadhan, hampir setiap malam saya keliling masjid dan mushalla untuk
menyampaikan siraman rohani.
Selain
itu, sesekali saya mengisi pengajian ibu-ibu, mengisi acara hari besar Islam
dan pernah sekali mengisi khutbah Idul Fitri. Tapi, rasanya berat dipanggil pak
ustadz, karena saya merasa ilmu saya belum seberapa dan masih harus banyak
belajar.
Ketika
saya duduk di kelas 6 SD, cita-cita ingin menjadi guru atau ustadz ini semakin menggebu-gebu.
Hal ini terpicu setelah saya melihat saudara-saudara sepupu saya dari ayah,
yang sudah lebih dulu masuk pesantren.
Saya
pun bertekad setelah tamat SD, mau melanjutkan pendidikan di Pondok Pesantren.
Keputusan itu, memang bisa dibilang aneh dan langka saat itu, karena di kampung
saya, kata pesantren belum begitu familiar dan belum ada satupun, orang tua
yang memasukan anaknya ke Pesantren.
Namun,
alhamdulillah, orang tua saya sangat
mendukung. Akhirnya setelah tamat SD, saya pun berangkat menuntut ilmu di
Pondok Pesantren, menyusul saudara-saudara sepupu saya.
Masa
kecil saya tidak jauh berbeda dengan anak-anak yang lain. Penuh dengan suasana
ceria dan gembira. Sebagian besar waktu saya dihabiskan untuk bermain dengan
teman-teman, juga disibukkan dengan mencari uang.
Setelah
dewasa, sesekali saya merenung, kenapa di masa kecil saya, sepertinya begitu
mudah menghasilkan uang. Sementara setelah dewasa dan berumah tangga, saya
sempat bertahun-tahun mengalami kesulitan keuangan, sesulit-sulitnya.
Lalu,
timbul pertanyaan dalam hati, apakah karena waktu kecil saya masih suci dan
minim dari dosa-dosa, sehingga semua keinginan begitu mudah terwujud, meskipun
orang tua saya bukan termasuk orang yang ‘berada’?
Berbeda
setelah saya dewasa yang berlumur dengan dosa-dosa. Saya pernah merasa
segalanya serba salah dan selalu gagal. Saya pun sempat bertanya-tanya mengapa
seolah-olah Allah Swt tidak menghiraukan do’a-do’a saya?
Mungkinkah
dosa-dosa yang saya perbuat, baik yang sengaja atau tidak, yang menghalangi
dikabulkannya doa? Ketika saya pernah merasa hidup ini sampai di titik
terendah, saya hanya mampu memperbanyak istghfar dan mencoba mengevaluasi diri.
Akhirnya, seiring berjalannya waktu, Allah swt membuka pintu-pintu kemudahan.
Wallahu A’lam
( Memoar adalah penggalan/potongan episode perjalanan hidup seseorang berdasarkan kisah nyata. Jadi, penggalan kisah yang saya tulis ini juga merupakan kisah nyata perjalanan hidup saya. semoga berguna dan menginspirasi para sahabat "KitaBisa". Untuk masukan, saran, kritik dan apresiaisi, silahkan sampaikan di kolom komen. Nantikan, episode berikutnya/part 2 berjudul: Pabelan, Oh Pondokku......)