Kamis, 25 November 2021

Memoar: Tangisan itu Berujung Senyuman Part 1 Oleh : Ahmad Khoibar, S.Ag.

                                                             Bab I

 

                                                Indahnya, Masa Kecilku.

            Saya tinggal di sebuah kampung yang terletak di kaki Gunung Burangrang, sebelah utara kota Bandung dan Cimahi, serta sebelah barat kota Lembang.  Kampung itu berada di ketinggian sekitar seribuan meter di atas permukaan laut.

            Pemandangan di kampung saya cukup indah dan udaranya terasa segar. Di sebelah utara bediri gagah gunung Burangrang. Di sampingnya, bertengger gunung yang terkenal dengan cerita legenda Sangkuriang, gunung Tangkuban Perahu.

            Bila malam hari, dari puncak bukit yang berada di sebelah selatan kampung, terlihat kerlap-kerlip lampu serta gemerlapnya kota Cimahi dan kota Bandung. Keindahan kota saat suasana malam itu, memanjang jauh dari ujung paling barat sampai ujung paling timur.

            Kampung itu bernama Barukai. Tepatnya berada di Desa Jambudipa Kecamatan Cisarua Kabupaten Bandung (sekarang Kabupaten Bandung Barat).

            Tidak jauh dari rumah orang tua saya, dua buah sekolah dasar sejak lama berdiri. Yang pertama bernama SDN 01 Jambudipa dan yang satu lagi SDN Barukai. Saya sendiri ‘sekolah’ di SDN 01 Jambudipa. Ibu, semua paman dan bibi saya, semuanya alumni dari SD ini. Sekolah ini termasuk salah satu SD tertua di kecamatan Cisarua.

            Sebuah pasar Inpres berdekatan dengan sekolah itu. Di sampingnya, sebuah lapangan hijau berukuran standar internasional. Di lapangan itulah setiap sore,  mulai anak-anak sampai orang dewasa ramai bermain bola.

            Di lapangan itu, sering diadakan turnamen sepak bola antar klub se-Kecamatan Cicarua. Selain untuk sarana olah raga, lapangan ini juga berfungsi sebagai tempat hiburan dan upacara hari-hari besar nasional tingkat kecamatan.

            Saat itu, saya dan keluarga sering menonton layar tancap. Yang mengadakan biasanya perusahaan-perusahaan tertentu untuk promosi dan jualan.

            Tepat di seberang lapangan, dibangun Sekolah Polisi Negara/SPN Cisarua milik Polda JABAR. Tempat itu, sebelumnya merupakan asrama Brimob yang bangunannya, masih peninggalan bangunan Belanda, mengingat dahulunya bekas tempat tinggal para’Tuan’ (penduduk di sana memanggil penjajah Belanda dengan sebutan Tuan).

           

                                               Gunung Burangrang            Keluyuran.com

 
Gunung Tangkuban Perahu       News.detik.com

       Para penghuni asrama, terdiri dari anggota Brimob yang masih aktif dan sebagian yang sudah lama pensiun. Setelah dibangun SPN, bangunannya dirombak total. Anggota Brimob yang masih aktif dipindahkan asramanya ke Cikole Lembang, sementara yang sudah pensiun, diminta untuk mengosongkan asrama itu.

            Rumah Sakit Jiwa Cimahi milik Pemda Jawa Barat, berdampingan langsung dengan bangunan SPN. Kedua bangunan itu hanya terhalang oleh sebuah aliran sungai kecil.

            Posisi rumah orang tua saya hanya beberapa puluh meter dari jalan raya. Sementara posisi jalan raya jauh lebih tinggi dari rumah orang tua.

            Di samping jalan raya, sebuah aliran sungai melintasi samping rumah orang tua saya. Aliran sungai itu berasal dari gunung Buranggrang. Sebelum melewati samping rumah orang tua saya, aliran sungai itu melewati batas antara bangunan SPN dan Rumah Saki Jiwa.

            Dulu, sungai itu cukup dalam dan jernih airnya. Tentu saja cukup dingin karena airnya berasal dari gunung. Sewaktu saya masih kecil, ayah sering mengajak mandi di sungai itu waktu subuh. Kata ayah saya: “kalau kita mandi di pagi hari, apalagi subuh dengan air dingin, maka setelahnya badan menjadi hangat. Memang iya, mungkin karena dingin dilawan dingin.

            Saya dan teman-teman pun sering bermain di sungai ini. Saya sering bermain menghanyutkan badan menggunakan ban dalam mobil, melewati jembatan-jembatan kecil dari bambu, yang dibuat secara gotong royong oleh para penduduk.

            Karena datarannya tinggi, di kampung saya, sulit membuat sumur. Selain itu,  belum ada aliran PAM atau PDAM. Maka, hampir semua penduduk menggunakan air sungai ini untuk kebutuhan mandi dan mencuci.

            Air sungai itu dialirkan ke jamban-jamban umum atau dialirkan langsung ke rumah menggunakan selang. Untuk air munum, biasanya penduduk mengambil dari mata air yang ada di dua lembah bernama ‘Muril’ dan ‘Ranca.’atau dari asrama Brimob.

            Setelah adanya SPN, sungai ini biasa dijadikan tempat merendam para siswa kepolisian. Tengah malam atau menjelang subuh, para siswa itu direndam berjam-jam di tengah dinginnya air pegunungan. Mereka tidak memakai baju.

            Para pelatih berdiri di atas jembatan-jembatan  bambu itu sambil sesekali berteriak dan memukul kepala para siswa yang kepalanya muncul terlalu tinggi. Saya dan penduduk di situ sering menonton pertunjukkan itu. Kadang, saking tak kuat menahan dingin, di atara siswa itu ada yang kram, bahkan ada yang pingsan. 

            Kini, semuanya tinggal cerita dan kenangan. Saat ini sudah tidak ada lagi tempat berenang dan bermain hanyut-hanyutan untuk anak-anak, tidak ada lagi pemandangan sungai yang jernih airnya. Juga, tidak ada lagi pertunjukkan para siswa kepolisian direndam berjam-jam.

            Semuanya telah berubah drastis. Sungai itu menjadi sangat dangkal dan menyempit. Selain itu, ia berubah fungsi menjadi tempat pembuangan sampah.           Bantaran sungai yang dulu bisa digunakan penduduk untuk sekedar menikmati aliran sungai yang jernih, kini sudah menjadi bangunan-bangunan permanen. Kini kampung saya sudah menjadi kawasan padat. Suasananya tampak kumuh, tak jauh dengan kekumuhan yang ada di ibu  kota. Pemandangan kumuh itu, lebih tampak lagi bila di musim kemarau.

            Beberapa tahun terakhir ini, jika hujan turun agak lebat dan lama, banjir pun tidak bisa dihindari mengingat sungai yang dangkal, menyempit dan penuh dengan sampah.

            Air sungai melimpah ke jalan raya. Jadi, saat banjir, tidak bisa lagi dibedakan mana sungai, mana jalan raya, karena semuanya tertutupi oleh air.

            Sebelum tanggul-tanggul ke arah rumah orang tua saya ditinggikan, biasanya rumah orang tua saya dan tetangga sekitarnya, bertahun-tahun menjadi langganan kebanjiran air sungai itu.

            Hal itu terjadi karena posisi rumah orang tua lebih rendah dari sungai itu. Jadi, untuk mengantisipasinya, di depan pintu rumah rumah orang tua dan para tetangga, dipasang tanggul penghalang setinggi 30 cm sampai 1 meter. Ada yang sementara menggunakan seng, ada juga yang ditembok secara permanen.

           

                                             Sungai di kampung Barukai.       BandungKita.id

                                            Kampung Barukai saat banjir. Pikiran Rakyat.com                                                                    

            Kondisi seperti ini sudah berlangsung lama. Semakin parah lagi, setelah adanya jembatan-jembatan permanen dari beton milik pribadi.

            Seingat saya, dari dulu dilarang membuat jembatan permanen di atas sungai secara pribadi. Yang dibolehkan hanya terbuat dari bambu. Kemudian, bantaran sungai itu tanah milik pemerintah, dalam hal ini Dinas PU. Yang saya tidak mengerti, kenapa semuanya jadi dilanggar? Ada permainan apa sebenarnya?

            Masalah sampah, tentu berkaitan dengan masalah para pendatang. Walaupun kampung halaman saya hanya sebuah Desa, namun dari dulu sudah banyak pendatang. Kebanyakan mereka para pedagang.

            Saya tidak sepenuhnya menyalahkan para pendatang yang kebanyakan tinggal di rumah-rumah kontrakan dan berjualan di pinggir jalan sepanjang sungai itu.          Mungkin mereka tidak tahu harus membuang sampah ke mana. Tapi, seandainya penduduk pribumi, termasuk RT dan RW tegas, punya program yang jelas serta didukung oleh pemerintah mulai tingkai Desa, saya yakin semuanya akan teratasi.

            Karena Pasar, Sekolah, SPN dan Rumah Sakit Jiwa berdekatan, meskipun di kampung, tapi bisa dikatakan ramai suasananya. Apalagi, kampung saya menjadi jalan alternatif  bagi orang-orang Jakarta yang hendak menghabiskan weekend di kota Lembang. Mereka tidak perlu masuk kawasan pusat kota Bandung yang sangat macet.

            Mayoritas pendukuk di kampung saya bekerja sebagai petani dan peternak sapi. Kalau pun ada yang menjadi pegawai negeri sipil atau buruh swasta, hanya beberapa gelintir saja. Karena terletak di kaki gunung, aneka sayuaran seperti wortel, kol, brokoli, tomat, kentang, kacang buncis, sawi, bawang daun dan sayuran lainnya, tumbuh cukup subur.

           

                                                                Kompasiana.com

                                                    

                                                                        Kompas.com


                                                                                                                                

    Selain menanam sayuran, banyak juga penduduk di sana yang memenuhi kebunnya dengan pohon cengkeh. Tepat di depan rumah nenek saya, yang juga tidak jauh dari rumah orang tua saya, berjejer puluhan pohon cengkeh yang batangnya cukup tinggi. Pemiliknya salah seorang penduduk di sana.

            Setiap tahun cengkeh ini berbuah lebat. Saya dan nenek setiap pagi dan sore selalu mengutip cengkeh-cengkeh yang jatuh tertiup angin. Banyak juga tetangga nenek saya yang turut mengutip.

            Jika di pagi hari, saya dan nenek berusaha cepat-cepat ke kebun cengkeh itu agar tidak terdahului orang lain. Bahkan, saya dan nenek sering berada di sana setelah shalat subuh. karena, jika datang lebih awal, hasilnya pun akan dapat banyak.

             Kalau hari masih gelap, saya membawa lampu tempel.  Untungnya, pemilik kebun cengkeh tidak melarang, kalau hanya sekedar mengutip cengkeh yang jatuh.

            Alhamdulillah, dari setiap hari mengutip cengkeh itu, setelah dikumpul-kumpul dapat lumayan banyak. Setelah dijemur berhari-hari sampai kering, bisa mencapai dua sampai tiga kilogram. Uang hasil penjualan, selain untuk jajan, saya simpan dalam celengan dari bekas kaleng susu atau celengan bambu.

            Di bagian puncak sebuah bukit dekat rumah orang tua saya, sebatang pohon beringin tua, berdiri menjulang tinggi dan daunnya sangat rindang. Para penduduk biasa menyebutnya ‘punclut.’ Tempat itu dijadikan untuk pekuburan umum.

            Seingat saya, di bukit itu, dari dulu sudah ada dua stasiun pemancar. Yang satu pemancar TVRI dan satu lagi pemancar RRI.


                                                    RumahDijual.com                                                               

            Namun seiring berjalannya waktu dan sejak dimudahkan perizinan stasiun televisi, belasan tahun kemudian di tempat itu berdirilah beberapa stasiun pemancar TV swasta dan perusahan telekomunikasi.

            Jadi, akhirnya bukit itu seperti ladang yang ditumbuhi pohon-pohon besi. Jika di malam hari, warna-warni lampu yang menerangi pemancar itu cukup indah dipandang.

            Di sekitar bukit itu, banyak kebun milik penduduk yang ditanami cengkeh. Setelah dibangunnya pemancar-pemancar itu, pohon-pohon cengkeh di sekitarnya, tidak lagi berbuah lebat dan tidak rutin mengeluarkan buahnya setiap tahun. Padahal sebelumnya, pohon-pohon cengkeh itu lebat buahnya dan setiap tahun berbuah.

            Saya tidak tahu alasan ilmiahnya, tapi kenyataannya seperti itu. Bahkan tidak hanya pohon cengkeh yang  terkena dampaknya, pohon lain pun ikut terkena dampaknya, seperti pohon jeruk.

            Yang lebih parah lagi, malah ada beberapa pohon cengkeh yang mati. Pohon-pohon tersebut, semacam terkena radiasi dari pemancar-pemancar itu.

            Seandainya dugaan itu benar, jika di negara maju yang masyarakatnya rata-rata berpendidikan memadai, mereka bisa mengajukan class action, yaitu tuntutan ganti rugi kepada perusahaan-perusahaan atau pemerintah, atas kerugian masyarakat yang disebabkan pengaruh adanya pemancar-pemancar itu.

            Karena berada di ketinggian, udaranya di kampung saya sangat dingin. Penduduk kampung rata-rata seharian mengenakan jaket. Bila musim hujan tiba, udaranya terasa lebih dingin lagi dan sering dalam seharian, langit tampak gelap dipenuhi kabut.

            Untuk mengurangi rasa dingin, saya sering sengaja mendatangai rumah nenek saya, yang tidak jauh dari rumah orang tua. Di rumah nenek, ada tungku perapian yang bahan bakarnya ranting dan kayu. Di pagi hari, sambil menghangatkan badan di depan tungku itu, kadang saya selingi dengan membakar ubi atau pisang.

            Bila musim hujan, terkadang kayu bakarnya belum sepenunya kering. Jadi, agak kesulitan untuk disentuh api. Terpaksa saya harus berulang-ulang meniup tungku perapian, menggunakan ‘songsong’,  sebuah peniup mirip suling yang terbuat dari bambu. Tak pelak lagi, karena belum ahli cara meniupnya, abu dari tungku itu berterbangan ke arah muka saya.

            Di kampung itulah, 05 Maret 1972 saya dilahirkan dari kedua orang tua bernama Muhammad Yusuf dan Neni Sutarsih. Di keluarga, saya anak pertama dari enam bersaudara. Namun, adik saya nomor dua meninggal saat masih berumur dua minggu.  

            Seperti pada umumnya anak-anak  yang lain di kampung saya, ketika  masih duduk di bangku SD, setiap hari sepulang sekolah dan shalat dzuhur, saya habiskan waktu untuk bermain dengan teman-teman sebaya saya.

            Karena saya tinggal di kampung, hampir seluruh alat dan jenis permainan saat itu bersifat tradisional. Mulai dari bermain layang-layang, main petak umpet, main kelereng, ketapel, main tembak-tembakan dan mobil-mobilan yang terbuat dari bambu, sampai bermain cerita wayang golek yang terbuat dari tangkai pohon singkong.

            Selain itu, sering juga saya bermain sepeda, barenang di sungai dan bermain sepak bola di sore hari.

            Yang membedakan saya degan kebanyakan teman-teman lainnya, sejak duduk di bangku kelas 4 SD, saya mulai suka mencari uang. Alasannya sederhana waktu itu, agar saya bisa menabung dan punya cukup uang untuk jajan sehari-hari.

            Memang, setiap hari saya dapat jatah uang jajan, tetapi tidak banyak. Jatah uang jajan saya dari orang tua setiap hari sekitar 2 ratus rupiah. Jika dibandingkan dengan nilai mata uang rupiah sekarang, sebanding dengan 2 ribu rupiah. Uang 2 ratus rupiah saat itu, kalau dijajankan makanan, hanya dapat dua buah bakwan atau gorengan.  Jadi, tentu saja sangat terbatas.

            Ayah saya seorang guru PNS, kalau sekarang ASN. Gaji guru PNS waktu itu masih sangat memprihatinkan, apalagi untuk golongan II seperti ayah saya. Sangat jauh berbeda jika dibandingkan dengan guru-guru sekarang. Sejak zaman pemerintahan SBY,  mereka sudah banyak menerima tunjangan yang dikucurkan oleh pemerintah, baik untuk guru swasta terlebih untuk guru PNS.

            Selain gaji kecil, fisik ayah saya lemah sejak muda. Beliau sering sakit-sakitan. Jadi waktunya sering dihabiskan terbaring di kamar, bahkan sering dirawat di rumah sakit.

            Sebenarnya, ayah saya punya keterampilan menjahit pakaian. Kalau lagi sehat sering menerima jasa menjahit. Namun, karena lebih sering sakitnya dari pada sehat, keterampilan ayah saya tidak dapat membantu banyak.

            Namun, meskipun keadaanya demikian, yang membuat saya bangga dengan ayah, beliau selalu hati-hati dalam memberi nafkah keluarga. Demikian juga dengan ibu saya.

            Jika sewaktu-waktu ayah memberi uang yang tidak biasanya diterima, ibu selalu bertanya dari mana uang itu. Ayah pun tidak merasa tersinggung. Ayah tidak mau sedikit pun ada barang haram yang dikonsumsi anak istrinya, sehingga mengalir menjadi darah dan tumbuh menjadi daging. Ayah saya sering bilang, biarlah kita hidup sederhana, yang penting berkah dan hati tenang.

            Sementara ibu saya, hanya lulusan SMP. Namun beliau pun punya keterampilan menjahit pakaian, hasil kursus ketika masih gadis. Selain itu, beliau pandai membuat kue. Untuk membantu kebutuhan hidup keluarga, selain menerima jasa menjahit pakaian, ibu saya sering membuat kue untuk dititip di warung-warung.

            Setiap pagi, sebelum berangkat sekolah, saya bertugas membawa kue-kue buatan ibu ke beberapa warung untuk dititip. Sore harinya, kembali saya berkeliling untuk mengambil uang hasil penjualan dan sisa kue-kue itu. Ketika saya sudah masuk pesantren, tradisi menitip kue-kue di warung ini terus berlangsung saat adik-adik saya mulai beranjak besar.

            Dari uang penjualan kue itulah, ibu saya bisa membekali saya dan keempat adik saya uang jajan. Saya anak pertama di keluarga. Ketika saya duduk di kelas 4 SD, Adik perempuan yang berdekatan dengan saya baru kelas 2, sementara dua adik laki-laki dibawahnya belum sekolah. Sedangkan adik perempuan paling bungsu, masih bayi.

            Ibu saya memang super sabar. Selain harus merawat ayah yang sering sakit, menemani saat di rawat di rumah sakit, juga harus mengurusi seluruh keperluaan anak-anaknya sang masih kecil-kecil.

            Setiapa orang tua di mana pun pasti rela berkorban untuk anak-anaknya. Mereka rela mengobankan waktu, tenaga, pikiran, perasaan, harta bahkan jiwa sekalipun, tak terkecuali dengan ibu saya.

            Seingat saya, gaji ayah tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari selama sebulan. Jika uang sudah habis, ibu saya harus menyimpan dalam-dalam perasaan malunya, karena ia harus bulak-balik ke warung tetangga untuk mengambil dulu alias berhutang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

            Saat gajian tiba, ibu membayar hutang-hutang tersebut ke warung, lalu kembali berhutang untuk dibayar bulan berikutnya. Istilah populernya, gali lobang tutup lobang. Keadaan itu terus berlanjut dalam waktu lama.

            Saya sendiri tidak pernah menuntut banyak kepada orang tua, karena sejak saya duduk di kelas 4 SD, saya sudah mulai belajar mencari uang sendiri. Saya belajar mencari uang, ada yang bersifat musiman, harian dan mingguan. Yang bersifat musiman misalnya jualan di bulan Ramadhan atau ketika hari-hari besar nasional.

            Setiap bulan Ramadhan, saya biasa keliling kampung berjualan kembang api dan sejenisnya. Semua yang dijual tidak berbahaya, karena ayah melarang saya berjualan petasan.

            Selain kembang api, terkadang di pagi hari saya berjualan kelapa tua. Kelapa itu milik adik dari nenek saya. Ia mempunyai warisan kebun kelapa peninggalan  suaminya di daerah Ciamis Jawa Barat. Jika datang bulan puasa, kelapa-kelapa itu dikirim ke adik nenek saya itu. Jadi, saya dapat upah dari menjualkan kelapa-kelapa itu.

            Setiap kali memperingati hari-hari besar nasional tingkat Kecamatan, lapangan bola dekat rumah orang tua saya biasanya dijadikan tempat upacara dan berbagai kegiatan. Yang paling meriah jika memperingati Hari Kemerdekaan RI setiap 17 Agustus.

             Setiap tahun, setiap kali memperingati HUT RI, tidak hanya sekedar diadakan upacara dari seluruh instansi dan sekolah yang ada di kecamatan Cisarua, tetapi melibatkan kegiatan semua warga masyarakat.

            Setiap Desa yang ada di kecamatan Cisarua, berlomba membuat ‘Jampana’, semacam rumah-rumahan yang dibuat dari bambu, lalu dihias dengan kertas warna-warni. Yang paling dominan, tentu warna merah putih. Kemudian di sekeliling jampana itu, dipenuhi dengan hasil bumi berupa aneka sayuran dan buah-buahan.

             Di dalam jampana itu disusun aneka makanan khas buatan para ibu. Setelah upacara selesai, aneka sayuran, buah-buahan dan makanan khas yang ada dalam jampana itu jadi rebutan warga.

             Selain jampana, warga juga membuat anekan kreasi dari berbagai bahan. Kreasi-kreasi itu ada yang berupa  pesawat, tank baja, mobil dan lain-lain. Jampana dan hasil kreasi itu diarak warga beramai-ramai sambil diiringi kesenian tradisional yang ada di Desa itu menuju lapangan upacara.

            Jadi, selain peserta upacara, di lapangan itu turut diramaikan juga oleh warga masyarakat, para pedagang dan ibu-ibu yang mengadakan bazar.

            Anak-anak sekolah, termasuk saya harus mengikuti upacara. Setelah upacara selesai biasanya langsung pulang. Jadi, posisi saya berada di dalam barisan sekolah masing-masing.

            Ketika warga masyarakat mulai ramai berdatangan, saya diam-diam menyelinap keluar dari barisan. Lalu, saya pulang ke rumah untuk mengganti pakaian. Setelah itu saya datangai orang ‘kaya’ di kampung itu untuk menjual es lilin.

            Waktu itu, di kampung saya hanya beberapa orang saja yang punya kulkas dan membuat es. Biasanya, saya membawa dua termos es lilin. Satu termos es bisa berisi 50 buah es lilin. Satu buah es lilin harganya 100 rupih. Dari yang punya es harganya 80 rupiah. Jadi saya dapat untung 20 rupiah dari setiap satu es yang terjual.

            Dalam suasana upacara yang lumayan panas, jualan es lilin lumayan laku. Yang beli rata-rata anak-anak sekolah. Jika salah seorang guru di sekolah saya kebetulan melihat saya sedang berjualan, mereka pun tak melarang saya waktu itu. Kalau es lilin yang saya jual habis, saya dapat upah 2 ribu rupiah. Uang yang cukup banyak bagi saya saat itu, karena sama dengan jatah 10 hari uang jajan saya dari orang tua.

            Jika lagi mujur, es lilin itu cepat habisnya, sementara acara belum selesai dan orang-orang masih ramai. Saya pun cepat-cepat mengambil lagi es lilin itu ke rumah yang punya.

            Itu cara saya mendapatkan uang secara musiman. Untuk yang harian, kebetulan di dekat rumah orang tua saya ada tempat cuci mobil.

            Saat itu masih jarang tempat cuci mobil yang menggunakan hidrolic dan mesin kompressor seperti sekarang. Tempat cuci mobil itu, hanya berupa kolam besar dengan ketinggian air sekitar 30 cm. Lalu, dibuat beberapa tembok tinggi berbentuk segi tiga, yang lebarnya disesuaikan dengan ukuran mobil. Jadi, semua ‘kolong’ atau bawah mobil dapat dicucui dengan mudah.

            Setiap sore hari, sehabis shalat ashar saya bersama beberapa teman sudah stand by di gerbang masuk tempai cuci mobil itu. Kebanyakan pelanggan tempat cuci itu, mobil-mobil angkutan pedesaan trayek Cisarua- Cimahi.

            Mobil-mobil itu, banyak yang sudah pulang sore-sore karena sudah dapat uang setoran. Sebagian ada juga mobil-mobil bak terbuka yang biasa menarik sayuran.

            Ketika ada mobil masuk tempai cuci, saya dan teman-teman berlari mengikuti mobil itu, lalu berebut mendekati sopirnya dan berusaha membujuk sopir itu agar terpilih atau ditunjuk untuk mencucikan mobilnya.

            Setiap satu mobil, saat itu saya diupah 500 rupiah. Untuk ukuran seorang anak SD di kampung, uang sebesar itu cukup lumayan. Jika sehari dapat 2 mobil saja, berarti sudah 1000 rupiah. Dan, itu berarti sama dengan 5 hari jatah uang jajan saya.   Saya dan teman-teman pencuci mobil yang lainnya, masing-masing punya pelanggan. Jika yang datang pelanggan, saya tidak usah repot-repot berlari mengejar mobil itu, karena sudah pasti sopir akan memilih saya. Bahkan, jika saya belum kelihatan, sopir itu yang akan mencari saya. Demikian juga dengan kawan-kawan yang lain.

             Salah seorang tetangga saya yang cukup berada, memiliki beberapa buah mobil angkutan umum. Salah satunya selalu dibawa oleh anaknya yang paling tua. Namanya Asep Langgau.

            Kalau sore hari pulang ‘narik’, istilah untuk membawa penumpang waktu itu, dia selalu menyuruh saya mencucikan mobilnya dan tempat mencucinya di halaman rumah orang tuanya sendiri. Selain luas halamannya, di sana ada kolam besar untuk mengambil airnya.

            Jika pulangnya lebih cepat, dia sering datang ke rumah orang tua saya mencari-cari saya. Bahkan, ketika saya sedang tidur pun, ia membangunkan saya. Katanya, kalau saya yang mencuci mobilnya, selalu bersih dan tidak pernah ada barang yang hilang.

            Jadi, budaya cuci mobil ini rupanya seperti budaya pangkas rambut. Istilahnya ‘cocok-cocokkan.’ Bila sopir sudah merasa cocok dengan orang tertentu, maka ia terus memakai orang tersebut. Kadang saya sering diberi uang tips atau uang lebih dari kang Asep ini,

            Untuk pendapatan mingguan, setiap minggu pagi, sekitar pukul 05.30 saya sudah berdiri di ‘Stamplat’, sebutan orang-orang kampung saya waktu itu, untuk sebuah terminal lintasan kecil. Lokasinya, tepat di depan gerbang SPN.

            Saya berdiri di situ menunggu mobil angkutan umum trayek Cimahi-Cisarua yang tidak ada kondekturnya atau orang-orang di kampung halaman saya menyebutnya’kenek.

            Setelah saya menawarkan diri dan sopirnya setuju, lalu, saya bertugas menjadi kondektur dari pagi sampai sore. Tugasnya, berteriak-teriak mencari penumpang dan menagih ongkos.

            Setiap selesai satu trip perjalanan, saya setorkan uangnya kepada sopir. Selain itu, tugas terakhir sebelum masuk garasi, saya harus mencuci mobil itu.

            Sedangkan haknya, saya mendapat gaji dan mendapat sekali makan siang di rumah makan. Kalau penumpang lagi ramai dan sopirnya nggak pelit, kadang dapat tambahan bonus jajan. Adapun gaji yang diterima, antara 1500-2000 rupiah per hari.

            Zaman itu, memang masa jayanya para juragan angkot (angkutan kota dan sejenisnya). Alasannya, karena saat itu belum musim kredit kendaraan. Jadi, hampir semua orang menggunakan angkutan umum.

            Orang-orang yang menggunakan kendaraan pribadi baik motor, apalagi mobil masih jarang. Kalau pun ada berarti mereka orang-orang yang memang ‘berduit’,  karena belinya pakai uang cash.

            Saat itu, menjadi sopir angkutan umum masih cukup menjanjikan, apalagi kalau hari Sabtu dan Minggu. Pada akhir pekan, biasanya penumpang ‘membludak, karena, orang yang bepergian lebih banyak lagi. Makanya, para sopir angkot mampu menggaji seorang kondektur. Jadi, saat itu semua angkutan umum pasti didampingi seorang kondektur.

            Beberapa puluh tahun kemudian, sejak kredit motor merajalela, murah dan mudah prosesnya, keberlangsungan angkot mulai goyah. Setelah banyak orang yang kredit motor, penumpang semakin berkurang.

            Para sopir tidak lagi menggunakan jasa kondektur. Bahkan, ada beberapa angkot yang sudah tidak jalan lagi, karena susah cari sopir. Yang di rumahnya ada angkot 3 buah, yang jalan hanya 2 buah saja.

            Mengapa susah mencari sopir? Karena, banyak yang berhenti mengemudi. Alasannya, mereka sudah tidak sanggup lagi mengejar setoran untuk majikannya. Bahkan, mereka sering ‘tekor’ atau harus menombok uang setoran. Hal ini dialami sendiri oleh paman dan saudara-saudara saya yang sudah puluhan tahun menjadi sopir angkutan umum.

            Kondisi angkutan umum semakin parah lagi, ketika beberapa tahun terakhir ini, aplikasi Grab dan Gojek menjadi trend dan menjadi pilihan transportasi favorit masyarakat.

            Waktu kecil, saya merasa semua bisa dijadikan uang. Kalau saya menang adu gambar dengan teman-teman saya, maka gambar itu saya jual kembali kepada teman-teman.  Demikian juga dengan karet gelang dan kelereng.

            Uang hasil dari berbagai usaha itu, setelah saya pakai jajan, saya simpan dalam celengan. Alhamdulillah, setiap ada keinginan pribadi seperti, membeli bola, sepatu bola, kaos bola atau yang lainnya, saya jarang minta sama orang tua.

            Sebenarnya, orang tua saya tidak pernah menyuruh saya mencari uang. Pun, mereka tidak pernah melarang saya. Hanya saja ayah selalu berpesan, agar saya tidak meniggalkan shalat dan yang penting kemana-mana harus minta izin dulu.

            Masalah minta izin ini, saya pernah kena batunya. Memang kalau untuk menjadi kondektur (kenek), saya tidak perna minta izin, karena dugaan saya, mereka tidak akan mengizinkan saya, karena masih terlalu kecil untuk seorang kondektur dan terlalu beresiko. Kalaupun bilang sama orang tua, paling nanti setelah pulangnya.

            Suatu hari,di Minggu pagi, setelah shalat subuh, saya diam-diam pergi ke terminal, lalu saya menunggu mobil tanpa kondektur. Tidak lama saya menunggu, akhirnya saya dapat mobil dan deal dengan sopirnya.

            Trayek mobilnya jurusan Cisarua-Cimahi pulang pergi. Dari arah Cimahi menuju Cisarua jalannya menajak panjang. Di jalan ini sudah tak terhitung terjadi tabrakan beruntun dan merenggut sejumlah nyawa.

            Mobil angkutan umum ke Desa-Desa, waktu itu pintu keluarnya dari belakang. Tidak seperti angkutan umum sekarang  yang semua pintunya dari samping.         Jika penumpangnya penuh, kondektur harus berdiri sambil bergelantungan di belakang. Posisi berdiri sambil bergelantungan di belakang dalam posisi jalan menanjak, perlu kehati-hatian ekstra dan tenaga yang cukup kuat, karena beban barat badan semuanya tertumpu pada kedua tangan. Selama perjalanan, tangan kadang terasa pegal.

             Salah satu tradisi para kondektur waktu itu, kalau ada penumpang yang mau turun, sebelum mobil berhenti, ketika jalannya sudah agak pelan, kondektur sudah melompat turun duluan. Caranya, sambil melompat, menurunkan kaki kiri duluan.        Saya pun waktu itu sudah mahir melakukannya. Ketika meloncat, kaki kiri yang harus terlebih dulu menapak ke muka jalan, lalu, kaki kanan menjadi penyeimbangnya. Jika dibalik, dijamin akan terjatuh.

            Pagi itu, baru mau satu trip perjalanan dari arah Cimahi ke Cisarua. Penumpangnya, dua orang pedagang es keliling yang menggunakan roda dan satu orang lagi, penumpang biasa.

            Jadi, selain ada 3 orang, di dalam mobil itu juga ada dua roda milik penjual es. Jadi, kondisi mobil agak sempit. Posisi saya pun berdiri bergelantungan di belakang. Ketika penumpang  biasa tadi mau turun, saya teriak ‘kiri...’(di Bandung dan sekitarnya, kebiasaan penumpang kalau mau turun mengucapkan kata ‘kiri’).

            Entah mobil masih terlau cepat lajunya atau keseimbangan saya kurang tepat, ketika saya meloncat, spontan saya terjatuh, lalu terdorong beberapa centimeter ke depan. Kening, kedua telapak tangan, sikut dan kedua lutut berdarah-darah. Celana bagian lutut robek. Saya tak berdaya dan tak kuasa untuk bangun.

            Akhirnya, saya diangkat oleh dua orang penjual es itu, dan saya dibaringkan di pangkuan dia. Jadinya, posisi terbalik, saat itu penumpang yang menyelamatkan kondektur.

            Setelah sampai di Barukai, kampung saya, sang sopir memberi saya uang 2000 rupiah, lalu ia menyuruh saya pulang. Saya pun memaksakan diri berjalan pulang, walau badan masih terasa pada sakit. Ya, mungkin dalam pikiran sopir itu, saya masih anak kecil waktu itu. Jadi, ia tidak mau repot-repot membawa saya ke puskesmas.

            Sesampainya di rumah, tentu ibu dan ayah saya kaget. Sambil mengobati luka-luka saya di beberapa bagian tubuh, dengan alkohol dan obat merah, ayah saya mengingatkan: “ makanya, sudah ayah bilang, ibu juga sering mengingatkan, kalau mau pergi kemana-mana harus minta izin dulu. Ini akibatnya kalau ‘ujang’ pergi tanpa izin. Mungkin gusti Allah gak meridhai.” (di Jawa Barat, ‘ujang’ merupakan panggilan kesayangan orang tua kepada anaknya yang laki-laki).

            Sambil merasakan perih pada bagian yang luka serta pegal-pegal di sekujur badan, saya menundukkan kepala, mendengarkan nasehat mereka dengan perasaan bersalah.

            Pengalaman saya yang satu ini masih tentang menjadi kondektur, tapi yang ini berbeda dengan yang di atas. Mungkin agak sedikit menggelitik dan lucu.

            Lagi-lagi saya pergi tanpa izin untuk menjadi kondektur sebuah angkutan umum. Sebenarnya  semasa kecil, bisa dikatakan,  saya anak penurut dan hampir tidak pernah membuat masalah.

            Semua kewajiban saya kerjakan dengan baik. Mulai dari shalat lima waktu, mengaji, mengambil air bersih dua hari sekali di asrama Brimob, membuang sampah, mencuci sepatu setiap hari sabtu, mengantar kue ke warung dan mengambilnya kembali sore harinya. Sikap ini pun sering ibu saya ceritakan kepada adik-adik saya, saat saya sudah dewasa,

            Tapi, untuk menjadi kondektur ini memang saya agak ‘bandel’. Walau pun sudah terjatuh agak parah, saya tetap mengulanginya lagi.

            Suatu hari, ketika sekolah libur karena tanggal merah, kembali saya menjadi kondektur. Ketika mobil sedang melaju dari arah Cimahi menuju Cisarua, tidak disangka-sangka, ayah saya yang menghentikan mobil itu. Rupanya, walaupun sedang libur, ayah ada urusan ke sekolah.

            Mengetahui saya kondekturnya, ayah hanya sesekali melirik ke arah saya. Untungnya, penumpang lain tidak ada yang kenal. Saya pun saat itu merasa agak salah tingkah.

            Ketika mobil sudah sampai di tujuan akhir, di terminal Cisarua yang tak jauh dari sekolah tempat ayah mengajar, ayah menyodorkan ongkos. Saat itu ongkos dari kampung saya ke tempat ayah mengajar hanya 200 rupiah, karena jaraknya hanya sekitar 4 KM.

            Ketika ayah menyodorkan uang ongkos, saya pun menerimanya. Alasannya, mungkin saat itu saya masih polos, baru kelas 5 SD. Alasan lainnya, saya takut pada sopir saya. Jika saya tidak mengambil ongkos dari ayah, sopir tahu berapa jumlah penumpang yang ada.

            Jadi, kalau uang dari ayah tidak saya diambil, tentu uang yang disetorkan ke sopir akan berkurang dan saya takut dianggap tidak jujur. Saya pun waktu itu segan untuk bilang sama sopir, kalau salah satu dari penumpang itu ayah saya.

            Ketika sore hari saya pulang, ayah menceritakan kejadian itu kepada ibu saya. Saya pun menjelaskan alasannya kepada mereka. Untungnya, saat itu ayah dan ibu saya tidak marah. Mereka hanya senyum-senyum saja dan mengingatkan saya agar lebih berhati-hati.

            Kalau berbicara soal cita-cita, waktu kecil saya punya dua cita-cita. Pertama, ingin jadi tentara dan kedua, ingin jadi guru atau ustadz.

            Alasan ingin jadi tentara, karena saya melihat ‘uwa’ saya, kakak tertua dari ibu saya, sering datang mengunjungi nenek saya. Ia seorang tentara. Tinggalnya di daerah Bogor. Kalau datang ke kampung, ia selalu memakai seragam tentara. Waktu itu, saya melihat uwa gagah sekali.

            Selain itu, saya sering melihat rombongan tentara dari Cimahi atau Batujajar berseragam tempur lengkap. Mereka melewati kampung saya, menuju gunung Burangrang untuk latihan.

            Sedangkan alasan saya ingin jadi guru atau ustadz, tentu saja karena saya sering melihat sosok ayah. Beliau, selain menjadi guru, orang-orang di kampung sering memanggilnya pak ustadz.

            Seingat saya sejak kecil, di rumah orang tua saya, selalu ramai oleh anak-anak tetangga yang mengaji. Dan, cita-cita yang kedua inilah yang terwujud. Sudah 24 tahun saya menjadi seorang guru.

            Namun, untuk menjadi ustadz rasanya saya belum merasa, walaupun di tempat saya merantau di Riau, banyak memanggil saya pak ustadz. Alhamdulillah, setiap bulan Ramadhan, hampir setiap malam saya keliling masjid dan mushalla untuk menyampaikan siraman rohani.

            Selain itu, sesekali saya mengisi pengajian ibu-ibu, mengisi acara hari besar Islam dan pernah sekali mengisi khutbah Idul Fitri. Tapi, rasanya berat dipanggil pak ustadz, karena saya merasa ilmu saya belum seberapa dan masih harus banyak belajar.

            Ketika saya duduk di kelas 6 SD, cita-cita ingin menjadi guru atau ustadz ini semakin menggebu-gebu. Hal ini terpicu setelah saya melihat saudara-saudara sepupu saya dari ayah, yang sudah lebih dulu masuk pesantren.

            Saya pun bertekad setelah tamat SD, mau melanjutkan pendidikan di Pondok Pesantren. Keputusan itu, memang bisa dibilang aneh dan langka saat itu, karena di kampung saya, kata pesantren belum begitu familiar dan belum ada satupun, orang tua yang memasukan anaknya ke Pesantren.

            Namun, alhamdulillah, orang tua saya  sangat mendukung. Akhirnya setelah tamat SD, saya pun berangkat menuntut ilmu di Pondok Pesantren, menyusul saudara-saudara sepupu saya.

            Masa kecil saya tidak jauh berbeda dengan anak-anak yang lain. Penuh dengan suasana ceria dan gembira. Sebagian besar waktu saya dihabiskan untuk bermain dengan teman-teman, juga disibukkan dengan mencari uang.

            Setelah dewasa, sesekali saya merenung, kenapa di masa kecil saya, sepertinya begitu mudah menghasilkan uang. Sementara setelah dewasa dan berumah tangga, saya sempat bertahun-tahun mengalami kesulitan keuangan, sesulit-sulitnya.

            Lalu, timbul pertanyaan dalam hati, apakah karena waktu kecil saya masih suci dan minim dari dosa-dosa, sehingga semua keinginan begitu mudah terwujud, meskipun orang tua saya bukan termasuk orang yang ‘berada’?

            Berbeda setelah saya dewasa yang berlumur dengan dosa-dosa. Saya pernah merasa segalanya serba salah dan selalu gagal. Saya pun sempat bertanya-tanya mengapa seolah-olah Allah Swt tidak menghiraukan do’a-do’a saya?

            Mungkinkah dosa-dosa yang saya perbuat, baik yang sengaja atau tidak, yang menghalangi dikabulkannya doa? Ketika saya pernah merasa hidup ini sampai di titik terendah, saya hanya mampu memperbanyak istghfar dan mencoba mengevaluasi diri. Akhirnya, seiring berjalannya waktu, Allah swt membuka pintu-pintu kemudahan.

Wallahu A’lam 

( Memoar adalah penggalan/potongan episode perjalanan hidup seseorang berdasarkan kisah nyata. Jadi, penggalan kisah yang saya tulis ini juga merupakan kisah nyata perjalanan hidup saya. semoga berguna dan menginspirasi para sahabat "KitaBisa". Untuk masukan, saran, kritik dan apresiaisi, silahkan sampaikan di kolom komen. Nantikan, episode berikutnya/part 2 berjudul: Pabelan, Oh Pondokku......)

           

The Real Tolerance of SD YPPI

Free kinds of fhotos snd videos...

https://www.pexels.com/id-id/@ahmad-khoibar-115812776/