Rabu, 22 Desember 2021

Memoar: Tangisan itu Berujung Senyuman Part V : Manisnya Mangga Indramayu (Edisi KUliah Kerja NYata/KKN)

 

Bab V

Manisnya Mangga Indramayu. (Edisi Kulah Kerja Nyata/KKN)

Oleh: Ahamd Khoibar, S.Ag.

            “Ayo, silahkan, mas-mas, mba-mba, dicicip mangganya, manis lho!” Itulah tawaran seorang ibu separuh baya, yang baru saja saya kunjungi bersama teman-teman sekelompok Kuliah Kerja Nyata/KKN.

            Hari itu, baru hari pertama saya dan kelompok KKN berada di lokasi. Tepatnya, di kampung Blok Wideng, Desa Bondan, Kecamatan Kertasemaya, Kabupaten Indramayu Jawa Barat.

            Saya sendiri,  sebenarnya harus ikut KKN tahun sebelumnya, periode 1993 di Kabupaten Purwakarta Jawa Barat. Karena ada satu kendala, baru bisa ikut KKN tahun depannya bersama angkatan adik tingkat.

            Di minggu pertama, kegiatan saya adalah melakukan kunjungan, menemui tokoh masyarakat, tokoh pemuda dan pihak-pihak lain yang dianggap perlu, untuk menampung informasi dan masukan, sebagai bahan pertimbangan penyusunan program KKN.

            Selain itu, tentu saja saya dan teman-teman berkunjung kepada tetangga terdekat di sekitar tempat tinggal. Tujuannya, untuk menjalin kedekatan dengan warga, dan diharapkan mereka dapat mendukung program-program yang akan digulirkan.

            Awal-awal kedatangan saya di kampung itu, bertepatan dengan sedang musim mangga berbuah. Masya Allah, hampir semua rumah penduduk memiliki pohon mangga.

            Banyaknya pohon tergantung luas pekarangan atau tanah yang dimiliki. Jenis dan ukuran mangga pun bervariasi, dari yang paling kecil sebesar bola kasti sampai yang pailing besar seukuran toples kue. Kalau rasanya, jangan ditanya lagi, manisnya luar biasa.

            Kali itu, saya benar-benar yakin, kalau mangga Indramayu itu laur biasa, super manis dan unggul dibanding mangga daerah lain. Saya benar-benar melihat, merasakan dan memetik langsung.

            Begitulah hari-hari saya pada minggu pertama berada di lokasi KKN. Setiap berkunjung ke rumah warga, pasti disuguhi menu utama, yaitu mangga Indramayu. Mangga-mangga itu dijejerkan berbaris sepanjang meja. Kalau mau pamit pulang, saya dipaksa harus membawa mangga itu ke tempat tinggal saya.

            Saya dan teman-teman yang laki-laki, ditempatkan di rumah seorang penghulu (di sana tugasnya menburus penikahan). Bapak pemilik rumah, kebetulan adik kandung  Kepala Desa. Sementara yang perempuan, ditempatkan di salah satu rumah penduduk, yang penghuninya

      bloggermangga.com    
                  Pikiran-rakyat.com            

hanya seorang janda. Rumah itu tidak jauh dari tempat tinggal mahasiswa yang laki-laki.

             Rumah yang saya tempati ini, berdekatan dengan rumah Kepala Desa, hanya terhalang oleh beberapa bangunan saja. Tempatnya cukup terpencil, sepi dan agak jauh dari Balai Desa yang berlokasi dekat pasar.

            Untuk menuju ke Balai Desa, saya harus berjalan kaki, menyeberangi sebuah jembatan kecil. Untuk sampai ke sana, butuh waktu 20-30 menit berjalan kaki.

            Saya tidak tahu alasan dan pertimbangan Kepala Desa, menempatkan saya dan teman-teman di tempat terpencil. Mengapa tidak dekat Balai Desa misalnya. Padahal, saya harus sering bolak-balik ke sana untuk konfirmasi program kerja.

            Apakah sengaja Kepala Desa menempatkan saya dan teman-teman ditempat terpencil, agar terisolir dari keramaian orang? Atau, apakah Kepala Desa menyembunyikan sesuatu dan takut  rahasianya  diketahui oleh mahasiswa KKN?

            Itulah pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam benak saya, ketika awal-awal kedatangan saya di tempat itu. Saya mengingatkan diri sendiri, untuk tidak bersikap su’uzdan, karena kenyataannya, Kepala Desa sangat baik terhadap saya dan teman-teman. Kami selalu dilayani dengan hangat dan semua keperluan dibantu.

            Pada umumnya mayoritas penduduk Kecamatan Kertasemaya bekerja sebagai petani. Rata-rata mereka memiliki sawah. Selain itu, ada juga yang berprofesi sebagai penambang pasir di sungai besar Cimanuk. Untuk yang punya modal besar, tentu saja menjadi bandarnya. Pasir-pasir itu rata-rata diangkut ke Jakarta untuk proyek berbagai pembangunan.

            Sepanjang jalan, dari arah sungai Cimanuk menuju jalan raya Kabupaten, cukup rusak dan bekas tumpahan pasir tercecer di mana-mana. Saya tidak tahu, apakah para bandar pasir di sana, tidak memberikan uang konpensasi kepada pihak Desa untuk perbaikan jalan. Atau, sebaliknya, mungkin para bandar pasir itu sudah memberikan uang konpensasi kepada pihak Desa, tetapi tidak digunanakan sesuai peruntukannya. Yang jelas, saya tidak mau berspekualsi soal ini.

            Anak-anak sekolah yang orang tuanya tidak punya motor, kalau pulang atau pergi sekolah, biasanya menumpang truk-truk pasir yang banyak berseliweran.

            Di Kampung Blok Wideng tempat saya tinggal, saya temukan beberapa hal unik, yang tidak ditemukan di kampung-kampung lain yang ada di sekitarnya. Keunikan itu di antaranya, setiap habis maghrib, anak-anak kecil hingga anak remaja, tidak boleh lagi ada yang keluar dari kampung itu.

            Satu-satunya akses jalan ke luar kampung adalah sebuah jembatan yang menghubungkan Kampung Blok Wideng dengan kampung lain. Jadi setiap habis maghrib, selalu ada beberapa orang  laki-laki dewasa yang berjaga di jembatan itu.

            Sehabis shalat isya, Anak-anak kecil hingga anak remaja tidak boleh ada yang keluyuran. Semuanya harus pulang ke rumah masing-masing. Orang-orang dewasa akan berpatroli keliling kampung. Ada semacam pengelompokan usia dalam pergaulan sehari-hari.

            Di kampung ini, tampak sekali perbedaan kelompok senior dan junior, layaknya kehidupan di pondok pesantren. Saya melihat, hal ini cukup positif. Kebiasaan ini, saya anggap sebagai barang langka dan sulit ditemukan di tempat lain.

            Mengapa demikian?  Karena pada umumnya, di kebanyakan tempat, orang dewasanya sudah tidak atau kurang peduli lagi terhadap adik-adik juniornya yang lebih muda, malah tidak sedikit yang secara sadar atau tidak, mereka memberi contoh prilaku negatif kepada generasi di bawahnya.

            Saya tidak tahu sejak kapan tradisi unik ini berlangsung. Apakah ada kesepakatan tertulis atau mengalir begitu saja secara temurun-temurun. Saya berpikir, kalau tradisi ini diterapkan di seluruh wilayah di tanah air ini, maka prolematika kenakalan remaja akan jauh bisa ditekan.

            Pada suatu malam saat acara Isra mikraj, anak-anak SD dan para remaja usia SMP, tampil mengisi acara. Ada yang tilawah al Qur’an, baca puisi, baca shalawat dan menyanyikan lagu religi. Semuanya, tanpa iringan musik sama sekali. Saya sendiri dan teman-teman tampil membacakan asmaul husna.

            Sebagai orang yang menyukai musik dan biasa bermain gitar, saya merasa malam itu, penampilan terasa garing dan kurang greget. Dari beberapa sumber informasi yang saya dengar, ternyata di kampung itu dilarang ada alat musik, terlebih

 

                                                                    mediasuaranasional.blogspot.com                                                                


 klikwarta.com

alat musik modern. Saya pun belum tahu mengapa alat musik dilarang di kampung itu.

            Dalam pemahaman saya saat itu, pada dasarnya alat-alat musik itu bebas nilai. Artinya, alatnya itu sendiri belum bisa dihukumi, halal atau haram. Tetapi, bagaimana dan untuk apa alat musik itu digunakan, akan menentukan hukum berikutnya, apakah ia menjadi pahala atau menjadi dosa, apakah ia haram atau halal.

            Di kampung itu, ada beberapa tokoh pemuda senior yang bergelar sarjana, bahkan ada yang alumni IAIN/UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Lalu, saya temui mereka satu per satu. Dengan santun, saya ajak mereka bertukar pikiran tentang musik dan alat musik.

            Rupanya disimpulkan, tujuan mereka melarang alat musik, hanya sekedar untuk membatasi anak-anak remaja agar tidak berlebihan dan tidak mengikuti gaya hidup para pemusik yang jauh dari nilai-nilai agama.

            Setelah berdiskusi panjang lebar, akhirnya saya diizinkan membawa gitar. Keesokan harinya, saya pulang ke Bandung untuk mengambil gitar, sekalian ada urusan yang harus diselesaikan.

            Ketika saya kembali ke lokasi dengan membawa sebuah gitar, ada beberapa warga yang kebetulan saya lewati rumahnya, menatap dengan tatapan agak sedikit aneh. Sementara, anak-anak remaja, khususnya yang laki-laki malah kegirangan, karena baru kali itu ada orang yang membawa gitar ke kampung itu.

            Semenjak ada gitar, anak-anak remaja yang laki-laki semakin sering main ke posko tempat kami tinggal. Ada yang hanya sekedar ingin mendengarkan saya bernyanyi dan bermain gitar, dan ada juga yang ingin mencoba memainkannya. Mereka kelihatan nyaman bermain gitar, karena merasa tidak akan ditegur senior-seniornya bila berada di tengah-tengah kami.

  

      

                                                                                        antarafoto.com

            Menjelang dua minggu lagi peringatan maulid nabi saw, saya kumpulkan anak-anak yang masih sekolah di SD, untuk latihan bernyanyi lagu-lagu religi diiringi gitar. Tentu saja sudah seizin para tokoh pemuda di situ. Lagunya saya ciptakan sendiri.

            Betapa girang dan senangnya anak-anak itu, karena mungkin baru pertama kali latihan bernyanyi diiringi gitar langsung. Untuk tempat latihan, saya pinjam salah satu ruangan kelas Madrasah. Selama beberapa kali latihan, anak-anak yang tidak ikut bergabung dalam grup, ramai-ramai menyaksikan kami latihan dari jendela kaca ruangan kelas.

            Alhamdulillah, penampilan anak-anak di acara puncak peringatan maulid nabi saw, berjalan sukses. Rupanya, anak-anak di sana cukup berpotensi, jika diarahkan dan dilatih dengan baik. Saya mendapat sambutan hangat dan pujian dari warga.

            Di Desa Bondan ini, yang banyak saya jumpai, hanya anak-anak kecil dan anak-anak remaja. Paling tua usia anak SMP. Kalaupun ada remaja putri yang umurnya, seumuran anak SMA, bisa dibilang barang langka. Anak-anak perempuan seumuran itu, biasanya sudah punya dua atau tiga anak atau dia seorang janda. Informasi ini saya dapatkan dari pak penghulu, pemilik rumah yang saya tempati. Lalu, pada kemana yang lainnya?

            Menurut info dari penduduk setempat, kebanyakan gadis-gadis itu merantau ke kota-kota besar, terutama ke Jakarta. Bahkan, banyak yang menjadi TKW ke luar negeri. Pantas saya dan teman-teman pernah melihat ada  beberapa rumah yang cukup bagus, tetapi, penghuninya hanya seorang laki-laki dewasa dan anak-anak.

            Dalam hati saya bertanya, apa kira-kira pekerjaan gadis-gadis itu di kota besar, karena tidak sedikit, orang tua yang tidak tahu pekerjaan putrinya di kota besar.

            Pernah saya dan teman KKN saya, Anjar, berkunjung ke salah seorang pegawai Desa. Rumah itu sepi. Sambil duduk saya pandangi sekeliling rumahnya. Di dinding tertempel tiga buah foto berbingkai. Ketiga orang dalam foto itu, orangnya berlainan.

            Tanpa menunggu pertanyaan, bapak berperawakan kurus ini menjelaskan, kalau ketiga wanita yang ada di foto itu adalah putri-putrinya. Semuanya kerja di Jakarta.

            Dengan santainya, bapak itu menawarkan anak-anaknya kepada saya. Ia bilang, silahkan pilih, mau yang mana. Kalau adek berminat, biar anak bapak, suruh bapak pulang.

            Mendengar tawaran itu, saya hanya tersenyum, karena awalnya saya mengira bapak itu bercanda. Ternyata setelah dilihat dari mimik mukanya, tawarannya itu menunjukkan tanda keseriusan. Saya dan teman saya Anjar, hanya tersenyum dan sesaat saling pandang.

            Hal unik lainnya yang saya temukan di lokasi KKN, pada satu kesempatan, saya ditugaskan oleh kelompok saya, untuk menyampaikan proposal kegiatan kepada kepala kantor Kemenag kabupaten Indramayu. Kebetulan bapak yang punya rumah, hari itu mau pergi juga ke Indramayu kota. Akhirnya, saya dapat tumpangan naik motor bersama bapak itu.

            Sesampainya di kantor Kementrian Agama, saya dikejutkan oleh deretan orang-orang yang sedang mengantri. Dengan rasa penasaran, saya bertanya kepada salah seorang pegawai kantor itu.

            Percaya atau tidak, kata pegawai kantor itu, rupanya orang-orang itu sedang mengantri daftar perceraian. Sekali lagi, antara percaya dan tidak, saya mendengar dan melihatnya.

            “Kenapa bisa sebanyak ini pak?” Tanya saya kembali kepada pegawai itu. “ Di sini dari dulu sudah terbiasa seperti ini dek, kalau musim kemarau, atau bukan musim panen, tingkat perceraian cukup tinggi. Sebaliknya, kalau musim panen, yang tinggi, tingkat perkawinan.” Demikian jawaban pegawai tadi.

            Sambil menggeleng-gelengkan kepala, mendengar jawaban dari pegawai tadi, dalam hati saya berkata:”Rupanya ini penyebab antrian panjang itu. Sepanjang hidup saya, baru kali ini menyaksikan pemandangan seperti ini. Pernikahan dan perceraian bisa ditentukan oleh musim.” Memang saat itu bisa dibilang sedang musim kemarau dan belum musim panen.

            Pengalaman yang terakhir ini, bisa dibilang super unik, aneh, lucu bercampur haru. Karena bapak pemilik rumah yang saya tempati ini, seorang penghulu atau dalam istilah formalnya P3N, yang bertugas mencatat pernikahan, maka adik pak Kades ini, sering dipanggil masyarakat untuk memimpin acara pernikahan.

            Demikian juga dengan hari itu. Seseorang datang menemui bapak, meminta untuk datang ke rumahnya. Tak lama setelah tamu itu pergi, bapak bergegas mengganti pakaian, dan saya mendapat giliran menemani bapak.

            Sesampainya di rumah orang yang mengundang bapak tadi, saya melihat, hanya beberapa orang saja, mungki tidak lebih dari 20 orang. Saya tidak melihat mereka berpakaian bagus, tidak ada tempat hantaran untuk pengantin wanita dan tempat mas kawin atau mahar. Yang ada malah deretan makanan siap santap.

            Akad nikah akan segera dimulai. Calon mempelai adalah seorang duda dan janda. Keduanya masih tampak muda belia. Ketika calon mempelai laki-laki itu

    

                                                                                    radarcirebon.com                                                                              

                                                                                            m.suarakarya.id

ditanya soal mas kawin atau mahar oleh bapak, lagi-lagi saya tidak percaya dengan penglihatan saya sendiri dan membuat kening saya sedikit mengkerut.

            Calon pengantin laki-laki mengeluarkan uang satu lembar senilai 10 ribu rupiah. “Sah, sah, sah”, demikian kata yang terlontar dari saksi nikah dan beberapa orang yang menyaksikan.

            Masih belum hilang rasa kaget saya, bapak yang kebetulan duduk di samping saya, menepuk paha saya, meminta saya memimpin doa penutup acara. Lalu, saya memimpin do’a sesingkat-singkatnya.

            Saya baca dua, tiga kalimat do’a khusus untuk kedua mempelai, lalu saya tutup dengan do’a sapu jagad:”Rabbanaa aatinaa fiddunyaa hasanah wa fil’aakhirati hasanah wqinaa adzaabannaar.”

            Melihat kejadian yang janggal ini, muncul berbagai pertanyaan dalam benak saya, semurah inikah sebuah nilai pernikahan di mata mereka? Dan serendah inikah martabat kaum wanita di mata mereka? 

            Memang seorang wanita tidak bisa dibeli atau digantikan dengan barang semahal apapun nilainya. Tapi, bukankah Rasulullah saw dan para sahabatnya, memberi mahar atau mas kawin kepada seorang wanita dengan sebesar-besarnya sesuai kemampuan?

             Memang, pada beberapa kasus, ada salah seorang sahabat nabi yang memberi mahar dengan membaca salah satu surah dai Al qur’an. Tetapi,tentu saja ini berbeda konteksnya.

            Tingginya tingkat perceraian yang dipengaruhi oleh musim panen atau paceklik, berarti erat kaitannya dengan masalah ekonomi. Sementara, sejatinya, pernikahan itu sesuatu yang sakral.

             Ada tujuan yang jauh lebih mulia, dibanding sekedar pemenuhan kebutuhan biologis dan ekonomi. Dari kasus-kasus ini, tidak bijak rasanya mencari kambing hitam atau siapa yang harus disalahkan.

            Di sini, barangkali dituntut peran semua pihak yang berkompeten seperti, para penyuluh agama, para da’i, muballig, ustadz dan para penggiat dakwah lainnya, untuk bersinergi memberikan pemahaman dan kesadaran kepada masyarakat, agar dapat menempatkan sebuah pernikahan pada tempat yang sakral.


( Memoar adalah sepenggal perjalanan hidup seseorang/tokoh. Demikian juga tulisan ini merupakan sepenggal atau satu episode perjalanan hidup penulis. Harpan penulis, semoga memoar sederhana ini dapat bermanfaat dan memberi inspirasi buat sahabat "KItabisa")

 

Nantikan Memoar: Tangisan itu Berujung Senyuman Part 6 dengan judul :

 

Jalan Terjal Sang Guru Honorer

 

Kontak Penulis/Blogger : 0822 8379 0651

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

The Real Tolerance of SD YPPI

Free kinds of fhotos snd videos...

https://www.pexels.com/id-id/@ahmad-khoibar-115812776/