Kamis, 30 Desember 2021

Memoar: Tangisan itu Berujung Senyuman Part 6 : Jalan Terjal Sang Guru Honorer oleh : Ahmad Khoibar

 

Part: 6

Jalan Terjal Sang Guru Honorer.

Oleh: Ahmad Khoibar

            Menjelang selesai kuliah, Juli 1996  saya mulai menjadi guru honorer di salah satu SMP Negeri dekat tempat tinggal saya. Kegiatan tambahan di rumah,  saya membuka les bahasa Inggris. Selain itu, saya juga menjadi guru privat ke beberapa rumah. Pekerjaan itu masih saya jalani sampai berumah tangga.

            Saat itu, Juli 1996, awal ajaran baru dimulai. Dengan pakaian seragam PDL baru yang dikasih pihak sekolah, saya pun merasa bangga mengawali tugas pertama mengajar, sebagai guru honorer di SMP Negeri I Cisarua, Kabupaten Bandung. (saat ini Kabupaten Bandung Barat).

            Hari Senin pagi, semua warga sekolah berkumpul di halaman sekolah untuk mengikuti upacara bendera. Saya berdiri di barisan para guru. Saya tertegun melihat deretan barisan siswa yang cukup banyak.

            Ada sekitar seribuan lebih tercatat sebagai siswa SMP Negeri I Cisarua waktu itu. Karena jumlah siswanya banyak, saat itu dibagi dua rombongan belajar. Kelas 2 dan 3 masuk pagi, mulai pukul 07 sampai pukul 12.10, sementara kelas 1, masuk pukul 01 siang sampai pukul 05:15 sore. Saat itu belum ada istilah kelas 7,8 dan 9.

            Ketika upacara bendera selesai, wakil Kepala Sekolah memperkenalkan saya kepada guru-guru dan seluruh siswa yang hadir di lapangan upacara. Kehadiran saya disambut hangat oleh para siswa, karena waktu itu saya masih muda dan lajang. Umur saya waktu itu 24 tahun. Biasanya anak-anak SMP lebih suka dengan guru yang masih muda dan lajang.

            Kenyataannya memang saya rasakan. Saya cukup dekat dengan anak-anak. Pada jam istirahat, Saya sering ikut nimbrung duduk dengan mereka, ngobrol sana sini, terkadang main gitar bersama. Jika ada kegiatan ekstra di luar jam pelajaran, saya sering turut hadir.

            Pada awalnya, saya mau melamar menjadi guru honorer di Madrasah Tsanawiyah, tempat ayah saya bertugas sebelum masa pensiunnya. Di sana, saya bisa mengajar pelajaran Bahasa Arab sesuai jurusan saya di kampus.

            Tetapi, salah seorang saudara saya yang bekerja sebagai kepala Tata Usaha di SMP negeri I Cisarua, meminta saya untuk mengajar PAI di sana. Alasannya, di sekolah itu kekurangan guru agama Islam.

            Dari seribuan siswa, hanya ada dua orang guru agama. Yang satu, mantan guru agama PNS di situ dan satu lagi, tugas aslinya guru agama PNS di sebuah SD

                                                               sekolah.data.kemdikbud.do.id                                              
disdikkbb.org

Negeri, tetapi sore harinya menjadi guru honor di SMP. Jadi, tiga orang guru agama di SMPN I Cisarua waktu itu, termasuk saya, semuanya berstatus guru honorer.

            Menghadapi siswa seusia anak-anak SMP memang tidak mudah. Mereka masih labil, mudah terpengaruh, serba ingin mencoba sesuatu, belum punya filter diri yang kuat dan sedikit ego. Tentu saja saya harus menyiapkan berbagai teknik dan strategi setiap memasuki kelas.

            Kendalanya adalah, alokasi waktu pelajaran agama di SMP waktu itu, hanya 2 jam pelajaran (2x45 menit) per minggu. Sementara berbagai pengaruh negatif, mulai dari tayangan televisi dan lingkungan pergaulan cukup kuat.

            Memang, di tahun-tahun itu, internet belum booming seperti sekarang. Tetapi, kedua pengaruh yang saya sebut di atas tadi sangat kuat. Sialnya, kalau ada prilaku menyimpang atau tindakan amoral yang dilakukan siswa, biasanya guru-guru agama yang menjadi sorotan dan limpahan kesalahan.

            Saat itu, bukannya saya dan guru-guru agama ingin lari dari tanggung jawab, Tapi coba bayangkan, guru agama di sekolah hanya 90 menit per minggu membimbing mereka. Kalau dihitung dari pagi sampai siang, paling-paling hanya 5 jam saja. Selebihnya para siswa menghabiskan waktu di luar sekolah. Tentu, pengaruh negatifnya jauh lebih kuat.

            Pertama kali masuk, saya ditugaskan mengajar di 9 kelas. Dalam satu kelas ada sekitar 35 siswa. Karena sekolah umum, dalam satu kelas bercampur siswa laki-laki dan perempuan.

            Lain orang lain karakter. Tentu saja dari 35 siswa di kelas, ada berbagai macam karakater. Ada yang super pendiam, penurut, bawel, pintar, lambat,  super usil, yang hobinya mengadu dan ada yang pandai cari muka.

            Tentu saja, saya pun harus menghadapi mereka dengan berbagai pendekatan. Namun, pada umumnya, anak-anak seusia itu paling senang didengarkan keluhannya. Selain itu, sedikit pujian atas prestasi mereka, dapat melejitkan rasa percaya diri mereka. Intinya, saya berusaha masuk ke dunia mereka.

            Karena saya punya kemampuan bermain gitar, meskipun tidak kategori mahir, terkadang saya masuk kelas membawa gitar. Sebelum pelajaran dimulai saya lantunkan sebuah lagu yang disesuaikan dengan tema pelajaran yang akan dibahas. Misalnya, saat akan membahas tema iman kepada rasul-rasul Allah, saya lantunkan dulu sebuah lagu berjudul ‘Rindu Rasul’ karya Bimbo. Terkandang saya ditemani siswa yang pandai bernyanyi.

            Selain itu, sesekali saya bacakan sebuah puisi yang berkaitan dengan tema pembahasan. Dengan cara-cara seperti di atas, alhamdulillah anak-anak didik merespon dengan semangat dan mereka terhindar dari kejenuhan belajar.

            Yang agak menggelitik, selama saya mengajar di SMP, kadang ada beberapa guru perempuan yang sudah berumah tangga, ‘curhat’ mengutarakan masalah rumah tangga mereka pada saya. Mereka bilang, ketika berbicara dengan saya, suasananya nyaman dan selalu memberi solusi.

            Saya pun heran, ‘kok’ bisa mereka bicara seperti itu. Padahal saya belum berumah tangga saat itu. Mungkin, kalau saya sudah menikah dan menghadapi masalah yang sama, belum tentu juga saya juga mampu menyelesesaikan.

            Saat-saat paling menyenangkan bagi guru-guru honorer waktu itu, ketika uang kelebihan jam mengajar cair dari pemerintah. Biasanya cair sekali enam bulan.       Alasannya, kalau guru-guru PNS dibayar hanya kelebihan jam mengajar dari jam wajib mengajar, sementara guru honorer, dibayar secara keseluruhan jam mengajarnya.

            Misalnya, seorang guru PNS mengajar 30 jam pelajaran, maka ia hanya  dibayar 4 jam pelajaran dikali 6 bulan, mengingat jam wajib mengajar 24 jam pelajaran. Untuk guru honorer, misalnya ia mengajar 36 jam pelajaran, maka itulah yang dibayar, 36 Jam Pelajaran dikali enam bulan.

            Kalau diuangakan, waktu itu saya mendapat sekitar 600 ribu rupiah per enam bulan. Uang sejumlah itu, lumayan besar untuk ukuran guru honorer, karena sama dengan enam bulan honor mengajar.

            Di bulan-bulan awal bertugas, saya begitu semangat dalam mengajar dan merasa bangga menjadi guru. Alasannya, pertama, saya bisa mengamalkan ilmu yang saya dapat dan kedua, saya tidak menjadi salah satu, dari sekian banyak pengangguran baru di negeri ini.

            Sudah bukan rahasia lagi, di negeri ini banyak pengangguran, termasuk para sarjananya. Saya tidak tahu penyebabnya, apakah karena kegagalan pemerintah mengurus rakyatnya, atau karena sistem pendidikan yang salah, atau karena mental generasi mudanya yang hanya memiliki mental pekerja dan tidak ada keinginan menjadi wirausaha.

            Yang pasti, sepanjang ingatan saya, selama di bangku sekolah, mulai SD sampai perguruan tinggi, saya tidak pernah diajarkan ilmu kecerdasan finansial atau bagaimana cara mengolah kegagalan menjadi sebuah kesuksesan.

            Kebanggaan menjadi guru, ternyata hanya bertahan beberapa tahun saja dalam jiwa saya. Secara perlahan tapi pasti, rasa bangga itu mulai menurun, memudar dan akhirnya sirna. Selanjutnya, yang  saya rasa  hanya  minder dan rendah diri di hadapan orang, apalagi saat bertemu teman-teman lama, yang berbeda profesi dan berpenghasilan besar.

            Hal lain yang membuat saya  minder jadi guru honorer, ketika setiap pergi dan pulang sekolah, saya harus super sabar menunggu angkutan umum lewat, bersama para siswa. Jika dapat angkutan, saya pun harus duduk berdesak-desakkan dengan mereka.

            Yang lebih terasa pahit lagi, kalau ada wali murid yang menjemput anaknya dengan roda empat, kemudian,  ia berlalu begitu saja, cuek melewati saya yang lagi berdiri menunggu angkutan umum, . Alih-alih menawarkan tumpangan, basa-basi pun tidak.

            Soal honor, jangan ditanya. Kalau tidak ada cashbon di koperasi sekolah, saya baru dapat honor utuh. Berapa utuhnya? 100 ribu rupiah per bulan. Kalau pas kebetulan ada cashbon, yang diterima tinggal sisanya saja.

            Dalam kesendirian kadang saya merenung, kenapa ada orang yang mau jadi tenaga honorer dengan upah paling tinggi 200 ribu rupiah per bulan selama bertahun-tahun?

             Di sekolah tempat saya mengajar, rupanya ada sekitar 8 orang tenaga honorer. Dua orang di antaranya sudah cukup lama mengabdi. Yang satu, sebagai guru, sudah 10 tahunan dan satu lagi sebagai staf TU, sudah hampir15 tahun.

            Saya tahu, impian mereka satu, yaitu ingin diangkat jadi pegawai negeri sipil (PNS). Kalau sekarang ASN. Sering muncul pertanyaan dalam benak saya, apakah kalau tidak menjadi ASN, lantas kehidupan mereka akan berakhir, sehingga harus rela mengorbankan waktu begitu lama , dalam kubangan penantian yang tidak pasti? Atau,  apakah kalau tidak jadi ASN, lantas dunia ini akan kiamat? Atau, apakah tidak ada pekerjaan lainnya yang lebih menjanjikan kesejahteraan, ketimbang harus makan hati dan mengorbankan waktu berbelas-belas tahun?

            Karena saya merasa honor terlalu kecil, tahun 2000 saya berhenti mengajar  di SMP. Selanjutnya saya mengajar di tiga SD sekaligus sampai tahun 2005. 

            Honor yang saya dapat ketika mengajar di SMP 100 ribu rupiah per bulan. Sementara dari tiga SD, saya dapat honor 300 ribu rupiah . Dari les di rumah, saya terima kira-kira sekitar 500 ribuan/ bulan dari 20-25 siswa dan dari les privat sekitar 200 ribuan. Jika ditotal, semua kurang lebih satu jutaan rupaih.

            Waktu itu, guru honorer masih boleh datang ke sekolah sesuai jadwal mengajar. Di SD, saya mengajar bahasa Inggris. Karena pelajaran ini baru masuk kurikulum SD, kelas yang diajar pun, baru kelas 4-6.

            Alokasi waktu pelajaran bahasa Inggris di SD, dua jam pelajaran dalam satu minggu. Setiap tingkat hanya ada satu kelas. Jadi, untuk satu sekolah, bisa dibuat jadwal satu hari dalam sepekan. Karena itu, saya bisa mengajar di tiga sekolah sekaligus. Honor yang saya terima, tentu saja sangat jauh dari layak. Berkali-kali lipat jauh, jika dibanding dengan guru pegawai negeri sipil (PNS).

            Sempat di ruangan TU sekolah, secara tak sengaja saya melihat daftar gaji PNS waktu itu. Ternyata yang paling kecilnya saja, gaji pokonya sudah mencapai 1,5 juta rupiah. Padahal dalam menjalankan tugas tidak ada yang berbeda, bahkan biasanya guru honorer lebih sibuk.

            Ketika saya masih lajang, penghasilan gabungan dari honor mengajar di sekolah, buka les bahasa Inggris dan mengajar privat, meskipun tak banyak, tapi terasa masih cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Terlebih, sejak kecil saya sudah terbiasa hidup apa adanya dan tidak biasa membeli barang-barang mahal.

            Iyalah cukup,  karena waktu itu saya belum memikirkan biaya makan, tempat tinggal dan kebutuhan rumah tangga lainnya. Semuanya masih numpang sama orang tua.

            Beban ekonomi mulai terasa berat ketika saya mulai berumah tangga. Di awal-awal berumah tangga, beban itu belum terasa, karena uang pemberian dari saudara-saudara saya dan simpanan pribadi istri saya masih ada.

            Setelah beberapa bulan berjalan, beban hidup ini mulai terasa. Istri saya terpaksa harus pandai mengatur uang penghasilan saya yang tak seberapa itu.

            Saat itu istri saya masih kuliah semester 4. Setiap hari ia harus pergi ke kampus, dua kali naik angkutan umum. Kalau pulang pergi, berarti empat kali. Tentu membutuhkan ongkos. Jika kuliah sampai sore, tentu harus bawa uang lebih untuk sekedar mengganjal perut di siang hari. Sedikitnya ia harus bawa bekal uang 25-30ribu rupiah

            Selain itu, saya juga harus memikirkan biaya makan sehari-hari dan kebutuhan pribadi istri. Yang namanya sudah berumah tangga, tentu saya tidak bisa terus merepotkan ibu saya. Minimal saya harus mencukupi keperluan sendiri dan istri.

            Kalau ibu saya, alhamdulilah, untuk keperluan sehari-harinya, dapat peninggalan uang pensiun dari almarhum ayah saya. Selain itu, ibu  membuka warung kecil-kecilan di rumah.

            Beban itu semakin terasa lagi, ketika istri saya mulai mengandung, karena ia harus rutin memeriksakan kandungannya ke bidan. Belum lagi harus rutin minum susu ibu hamil.

            Sebenarnya, biaya periksa kehamilan ke bidan tak mahal, bahkan mungkin bisa dibilang murah. Waktu itu, biaya sekali periksa kira-kira 30-35 ribu rupiah. Tapi, karena minimnya penghasilan saya, semuanya jadi terasa berat.

            Satu hal lagi, yang cukup mengiris hati saya, pernah beberapa hari, sama sekali tak ada uang pegangan di kantong saya. Sampai-sampai popok buat si kecil yang baru lahir pun, tak sanggup saya beli. Akhirnya saya harus berkali-kali mengganti kain, kalau ia pipis atau bab.

            Setiap kali Zahra, anak saya, deman, saya dan istri berupaya menyembuhkan sendiri dengan sering-sering mengkompres seluruh badanya menggunakan air hangat. Kalaupun terpaksa harus dikasih obat, ya, paling-paling dikasih obat demam yang dibeli dari warung dengan harga murah.

            Jika saya tidak lagi buru-buru pergi ke sekolah, saya sempatkan mengantar istri sampai ke pinggir jalan, untuk menunggu angkutan umum lewat. Kebetulan rumah orang tua saya tidak jauh dari jalan raya.            

            Menunggu angkutan umum, tidak bisa dipastikan waktunya. Kadang-kadang lama, tapi kalau lagi mujur, bisa sebentar. Itupun di dalamnya sudah penuh penumpang.

            Setelah istri saya berangkat, saya sering menarik nafas panjang sambil mengelus dada. Saya sedih dan merasa berdosa, karena setelah menikah dengan saya,

   

      
                        makassar.terkini.id                                          

                                                            modalkecil.blogspot.com

kehidupannya menjadi berubah drastis. Yang semula senang, semua keinginan selalu terpenuhi dan dimanja di keluarganya, tapi kini ia harus menjalani fase hidup yang serba irit, pas-pasan, bahkan boleh dibilang serba kekurangan.

            Ketika saya mengajar di SMP selama empat tahun, jaraknya tidak terlalu jauh. Lokasi sekolah di pinggir jalan raya. Jadi, untuk sampai di sana, cukup ongkos 2 ribu saja.

            Berbeda saat saya mengajar di tiga SD. Semua lokasi cukup jauh dan semua lokasi masuk ke perkampungan. Angkutan umum ada, tapi harus menunggu lama. Kalau naik ojek, ongkosnya lumayan berat buat ukuran isi kantong saya saat itu dan tak  sesuai dengan honor yang saya dapat.

            Pilihannya, tentu saja tak ada pilihan. Untuk menuju salah satu sekolah tempat saya mengajar, saya harus berjalan kaki. Tujuannya, jelas untuk menghemat uang. Perjalanan cukup memeras keringat, kurang lebih 6 atau 8 km jaraknya.

            Untuk menghemat waktu, saya pilih jalan memotong. Sebenarnya masih jauh juga. Bedanya, jalan yang saya lalui ini sepi. Saya lalui Jalan setapak menyusuri pinggiran sungai. Kalaupun ada rumah penduduk, hanya beberapa saja.

            Sejak kecil saya tidak terbiasa sarapan pagi. Kalaupun sesekali  ada makanan yang masuk ke dalam perut, paling-paling, sepotong roti atau pisang goreng. Itu pun jarang. Kalau dipaksakanan sarapan berat nasi atau semacamnya, perut saya malah tidak enak.

            Ketika pagi hari berangkat mengajar dengan berjalan kaki, sarapan atau tidak, rasanya tak ada masalah buat saya. Badan masih tetap segar. Tapi, ketika hari menjelang siang, jam-jam istirahat anak sekolah, perut saya mulai keroncongan.            Kalau kebetulan ada uang di saku, saya beli jajanan di tempat anak sekolah biasanya jajan, atau pesan mie rebus di tempat penjaga sekolah. Kalau tak ada uang, ya, terpaksa pura-pura kenyang saja.

            Saat pulang, pukul 12.15,  saya lalui jalan yang sama. Berbeda dengan waktu berangkat. Sepanjang  jalan pulang, udara terasa panas dan keroncongan di perut saya alias lapar semakin menjadi-jadi.

            Disepanjang Jalan yang saya lalui, berjejer pohon bambu yang tinggi batangnya. Ketika tertiup angin, terdengar suara riak-riak daunnya.

            Dalam perjalanan yang melelahkan ditemani rasa lapar, suara riak daun bambu itu serasa terdengar, seperti sebuah irama yang menyanyikan nada sumbang. Nada itu seoalah-olah berkata: ”Ya, rasakan saja anak muda, itu kan pilihan hidupmu, jadi guru honorer.”







            Lain lagi rasanya, di saat saya melewati orang-orang yang lagi duduk-duduk, di beranda rumah yang saya lewati. Saya tidak tahu apa makna pandangan mereka. Siniskah? Ibakah? Atau kasihankah? Yang pasti, saya merasa tatapan mereka itu, lain, dan saya selalu merasa minder setiap mengalami moment yang sama.

            Tatapan orang-orang itu, seakan-akan berbicara:”Sudahlah mas, berhenti sOkaja jadi guru honorer. Cari kerjaan lain yang jauh lebih menjanjikan. Masa sekolah tinggi-tinggi hanya dapat lelah dan uang recehan?” 

            Ya, saya pun heran. Kenapa saya sebaper dan sesensitif ini. Apakah ini efek dari rasa lelah, lapar, dan honor mengajar yang sangat kecil? Jujur, harus saya akui, jawabannya, Iya.

            Sampai lima tahun rumah tangga saya berjalan, hampir dihiasi dengan warna pilu dan kesedihan. Tak terhitung, entah sudah berapa puluh kali Istri saya meneteskan air mata. Tak banyak yang bisa saya lakukan, kecuali menyemangati istri saya agar ia tetap sabar.

             Saya dan istri mulai sering tersenyum bahagia, meski di tengah kesulitan, setelah kehadiran buah hati, Zahra. Apalagi saat ia mulai bawel dan mulai bisa diajak berkomunikasi sambil bermain.

            Seteleh tiga tahun berumah tangga, saya mengontrak sebuah rumah yang tidak jauh dari rumah ibu saya. Tujuannya agar bisa menampung anak les lebih banyak. Selain itu, tentu saja agar saya bisa belajar mendiri.

            Untuk menambah pemasukan, saya bersama istri membuat agar-agar. Agar-agar itu saya titip di warung-warung terdekat. Karena lumayan laku, pembuatan agar-agar diperbanyak, supaya bisa lebih banyak lagi warung yang bisa saya titipi. Proses pembuatan agar-agar biasanya malam-malam. Kalau tidak sempat, saya harus bangun pukul 3 pagi untuk membuatnya.

            Karena kesibukan baru ini, saya putuskan resign dari dua SD tempat saya mengajar. Jadi saya hanya mengajar di satu sekolah saja.

            Tak terasa sudah setengah tahun, tinggal di rumah kontrakan itu. Warung-warung yang biasa saya titipi agar-agar, tak hanya di kampung saya, tapi sudah mulai ke laur kampung.

            Saya pikir-pikir waktu itu, kalau naik angkutan umum terus, tentu kurang efektif. Pertama, karena memakan waktu. kedua, banyak warung yang lokasinya harus masuk ke gang-gang. Dan ketiga, saya tidak bisa membawa agar-agar lebih banyak, karena cuma bisa ditenteng  pakai kantong kresek saja. Akhirnya, saya sepakat dengan istri saya untuk kredit motor.

            Untungnya, seorang kawan pengajian istri saya, berbaik hati mau meminjamkan uangnya satu juta rupiah, untuk DP sepeda motor. Butuh waktu 1 hari untuk proses survei dan tiga hari kemudian, motor Supra Fit baru diantar ke rumah. Cicilannya 470.000 rupiah per bulan. Semua proses dipermudah karena pemilik show roomnya, tetangga saya sendiri.

            Selain menghemat waktu, dengan adanya motor baru, saya bisa menambah lagi warung-warung yang bisa dititipi agar-agar. Sebagai tempat menyimpan agar-agar, di belakang motor, saya gantung tas barang yang terbuat dari kain tebal, layaknya tukang pos atau sales motor keliling.

            Kegiatan di rumah kontrakan bertambah sibuk dengan adanya produksi moring. Ia kepanjangan dari cimol kering, salah satu makanan khas kota Garut. Ide membuat moring sendiri, datang dari Amih, ibu mertua saya.

            Membuat moring, berbeda dengan dengan membuat agar-agar yang serba simpel dan cepat. Banyak proses yang harus dilalui dan cukup menyita waktu. Selain membutuhkan beberapa orang tenaga, suasana di rumah pun agak kotor. Banyak bekas terigu dan tepung yang menempel di mana-mana.

            Jadi, sebelum anak-anak les datang, pukul 2 siang, saya harus sudah merapikan dan membersihkan ruangan. Jadwal les anak-anak ada dua shift, Shift pertama pukul 2 siang dan shift kedua pikul 4 sore.

            Warung-warung yang biasa saya titipi agar-agar, kini sekaligus saya titipi moring. Kalau agar-agar diantar pagi, sorenya langsung diambil, sementara moring diambil seminggu sekali.

            Setiap sore hari, saya berkeliling mengambil agar-agar yang dititip di warung-warung. Karena warung yang dititipi lumayan banyak, saya sering masih di jalan, ketika adzan maghrib berkumandang. Di saat kebanyakan kaum muslimin menunaikan shalat maghrib berjamaah di masjid, malah saya masih mengitung uang recehan hasil penjualan agar-agar.

            Karena kesibukan mencari tambahan rezeki, saya jarang shalat fardhu berjamaah di masjid. Bahkah, bisa dikatakan tidak pernah, kecuali shalat jum’at.    Memang yang lima waktu, tidak pernah saya tinggal, tetapi saya selalu melakukannya di rumah, itu pun waktunya jarang tapat waktu. Membaca al qur’an tidak rutin lagi, hanya sesekali saja saya baca. Bersedekah pun bisa dihitung jari, karena terasa berat dan merasa selalu kekurangan. Shalat malam, tidak pernah saya lakukan, hanya shalat dhuha yang sekali-kali saya kerjakan.

            Waktu itu saya tak peduli lagi dengan gelar saya sebagai sarjana, lulusan IAIN (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung, lulusan Fakultas Adab, jurusan Bahasa dan Sastra Arab. Yang ada dalam pikiran saya saat itu, bagaimana caranya saya bisa mendapat tambahan penghasilan dan meringankan beban hidup.

            Alhamdulillah semenjak berjualan agar-agar dan moring, pengasilan saya bertambah. Sebagian keuntungan disimpan untuk bayar cicilan motor dan sebagiannya lagi untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.

            Memasuki bulan ketiga, bayaran cicilian motor mulai tersendat-sendat. Meski akhirnya terbayar, namun mulai terasa berat mengumpulkan uang 470 ribu per bulan.

            Management keuangan saya sungguh kacau dan berantakan. Usaha moring hanya bertahan beberapa bulan saja.

            Adapun penyebab utama yang membuat kondisi keuangan saya tidak stabil, dikarenakan hutang-hutang  yang melilit saya kepada sejumlah orang. Awalnya, menjelang pernikahan, rencana keuangan saya banyak yang meleset. Sementara, pernikahan saya tidak mungkin lagi ditunda. Umur saya waktu itu sudah masuk kepala tiga. Selain itu, saya sudah menyanggupi untuk turut membantu biaya pesta pernikahan, meskipun tidak banyak.

            Setelah dikumpul, dari sedikit uang simpanan saya, pemberian dari saudara-saudara, ditambah uang ibu dan adik saya yang tinggal serumah, ternyata kekurangannya masih banyak.

            Akhirnya, tidak ada jalan lain. Saya harus sembunyikan jauh-jauh rasa malu. Pergi kesana- kemari, menemui saudara-saudara yang lain dan teman-teman yang bisa dipinjami uang.

            Alhamdulillah, saat itu semuanya percaya dan mereka mau membantu saya sesuai kemampuan masing-masing, dari yang ratusan ribu sampai yang jutaan rupiah. Pernikahan saya pun berjalan lancar sesuai rencana.

            Itulah awal carut-marut kondisi keuangan saya. ya, itulah penyebabnya, hutang-piutang. Karena hutang-hutang itulah, yang seharusnya saya menikmati kebahagiaan pernikahan di tahun-tahun pertama, malah banyak diwarnai dengan tangisan istri saya.

            Tak saya pungkiri, memang ada kebahagiaan dalam rumah tangga saya, tapi rasanya kebahagiaan itu tidak lepas, seakan sebuah parit yang tersumbat salurannya.             Silih berganti orang menagih hutang, baik datang langsung ke rumah maupun via telepon. Hidup saya seperti seorang buronan. Gali lobang, tutup lobang. Pinjam sini untuk bayar sana. Keluar siang hari tidak nyaman, bila malam telah larut, baru agak sedikit tenang.

            Saya benar-benar menyesal sudah salah dalam mengambil langkah awal. Hutang-hutang ini benar-benar merenggut kebahagian saya, bahkan tidak hanya kebahagiaan saya saja, tapi banyak pihak yang turut terenggut kebahagiaannya.

            Istri, anak, ibu dan adik-adik saya, mereka menjadi pihak yang paling merasakan dampaknya. Kadang saya tak sanggup menatap wajah ibu, saat sesekali menatap saya. Saya merasakan, betapa ibu sangat iba terhadap keadaan saya.

            Di tengah malam, dalam shalat tahajjudnya, saya sering menjumpai ibu menangis, menengadahkan tangan, memohon kebaikan untuk anak-anaknya kepada yang Maha Pemurah.

            Sebenarnya, kalau saya tidak terlilit hutang, dengan seluruh kegiatan yang ada, saya masih bisa mencukupi kebutuhan rumah tangga, apalagi awal-awal berumah tangga. Tapi, karena hutang inilah yang menghancurkan semuanya.

            Dalam kesendirian saya di malam hari, saat mata sulit terpejam, saya tekadkan, setelah keadaan sulit ini terlewati, saya tak mau lagi berurusan dengan yang namanya hutang. Bahkan sempat saya tulis surat untuk adik saya yang masih lajang, yang bekerja di perantauan, tepatnya di Riau.

            Dalam surat itu, intinya saya tekankan, jangan sampai mengawali rumah tangga atau mengawali apapun dengan hutang. Karena, bila sudah masuk ke dalam jeratan hutang, baik hutang langsung sama orang atau bentuk kredit, maka akan sulit keluar. Entah berapa lama akan tersiksa hidup ini. Siang tidak nyaman, malam pun sulit tidur dengan nyenyak, karena terus memikirkan hutang.

            Selain itu saya katakan, jangan pernah meminjam uang kepada orang, kalau  tidak terbayang dari mana untuk membayarnya. Sebab, gara-gara hutang ini, kalau meleset, bisa kehilangan sahahat-sahabat terbaik dan saudara-saudara. Ingat, hutang benar-benar pemutus tali sillaturrahmi.”

            Sebenarnya nasihat itu ditujukan untuk diri saya sendiri, tapi saya tidak mau adik-adik saya dan saudara-saudara yang lain,  mengalami apa yang saya alami.

            Di saat kontrakan rumah habis waktunya, tidak ada uang simpanan sedikit pun, terlebih yang punya rumah, menaikkan harga kontraknya. Akhirnya saya putuskan untuk tidak melanjutkan kontrak rumah itu. Saya kemasi barang-barang, kembali menumpang di rumah ibu saya.

            Semenjak kembali ke rumah ibu saya, anak-anak les pun berkurang kembali, mengingat tempat yang sempit dan berada di dalam gang. Sementara produksi agar-agar, masih tetap kujalani, karena, selain modalnya tidak banyak, proses pembuatannya cepat, juga masih bisa diandalkan untuk kebutuhan makan sehari-hari.

            Hari demi hari keadaan ekonomi saya semakin sulit. Dunia terasa begitu sempit. Semua ihtiyar yang dilakukan rasanya  tidak sesuai harapan.

            Kadang saya sering bertanya kepada diri sendiri, ada apa ini? Mengapa semuanya terasa serba salah? Padahal setiap hari saya sudah berusaha, mulai jam 4 pagi sampai malam.

            Di saat matahari mulai naik, di sebuah mushalla kecil milik pak Haji Ahmad, tepat di depan rumah ibu saya, melalui shalat dhuha, saya sering bermunajat, bersujud dan bersimpuh kepada yang Maha Kaya dan Maha Penyayang. Harapan saya tentu saja ingin diberi kemudahan segala urusan dan segera keluar dari prahara hutang dan kesulitan ekonomi ini.

            Tak terasa terkadang saya meneteskan air mata. Saya perbanyak membaca istighfar atas segala dosa dan kedzaliman yang saya perbuat kepada banyak orang, baik yang terasa mupun yang tak terasa. Terkadang saya lanjutkan dengan membaca beberapa ayat suci.

            Di tempat inilah zona nyaman saya. Ada setitik ketenangan yang saya dapat. Sambil menggendong dan mengajak main cucu kesayangannya, sesekali ibu memperhatikan saya dari loteng/Lantai atas rumah, yang tampak ke mushalla itu.

 

***

            Malam itu cukup lama istri saya berbicara di telepon dengan seorang laki-laki. Rupanya, tanpa sepengetahuan saya, ia menelpon adik saya, Yusep, yang sudah lama bekerja di PT Indah Kiat Perawang- Riau.

            Istri saya berinisatif  menanyakan peluang pekerjaan di sana kepada adik saya, terutama di dunia pendidikan. Rupanya, adik saya sangat antusias, ketika istri saya mengabarkan bahwa saya mau ke sana. Padahal, saya sendiri belum pernah membahas rencana ini dengan istri saya sebelumnya.   

            Dengan semangat menggebu-gebu, adik saya bilang, peluang pendidikan di sana sangat terbuka dan prospeknya bagus. Malah ia meminta saya langsung mengirimkan surat lamaran.

            Tiga hari kemudian, adik saya nelpon lagi. Kali ini ia berbicara dengan saya dan istri. Ia bilang, sebaiknya saya datang langsung ke perawang-Riau. Tujuannya, kalau nanti ada panggilan, saya bisa langsung wawancara.

            Selama beberapa hari, saya dan istri membahas hasil obrolan  dengan Yusep di telepon kemarin, secara panjang lebar. Saya dan istri berdiskusi, mempertimbangan dari berbagai sisi, terkadang hingga larut malam

            Bagi saya sendiri, kata merantau, tak pernah terbersit setitik pun dalam benak saya sebelumnya. Alasannya, karena sejak beberapa tahun yang lalu, kedua adik laki-laki saya sudah pergi merantau ke pulau Sumatra.

            Ayah saya meninggal, November 1999. Sebagai anak sulung dan satu-satunya anak laki-laki yang masih ada di kampung, saya harus jaga ibu saya. Meskipun saat itu masih ada dua adik perempuan saya yang masih tinggal bersama ibu, tapi, cepat atau lambat, mereka akan keluar, turut suami masing-masing.

            Itulah yang terbersit dalam pikiran saya saat itu. Karena itu, sejak awal, saya ingin mengembangkan kegiatan dan menetap di kampung halaman. Selain itu, sejak tamat SD, saya sudah meninggalkan rumah, masuk Pondok Pesantren Pabelan di daerah Muntilan-Magelang Jawa Tengah.

             Sampai saya kuliah, saya tidak pernah menetap di kampung. Menjelang selesai kuliah, saya baru benar-benar kembali menetap di rumah, bersama ayah, ibu dan adik-adik saya.

            Akhirnya, saya dan istri sepakat mengambil keputusan, bahwa saya harus merantau, menyusul kedua adik saya di Riau. Kebingungan berikutnya muncul, dari mana cari uang buat ongkos perjalanan, naik bis dari Bandung ke Jakarta dan tiket pesawat, Jakarta- Pekanbaru.

            Muncul ide dari istri saya, tape recorder kesayangan satu-satunya, jadi solusi terakhir.  Istri saya menjual tapenya kepada adik saya, Ika yang tinggal serumah.

            Tibalah saat yang sama sekali tak ingin saya alami. Malam itu, saya harus berangkat. Jadwal penerbangan saya pukul.10.00 pagi. Agar tidak telat, saya harus berangkat dari rumah pukul 12 malam.

            Semua sudah disiapkan oleh istri saya. Bawaan saya cuma satu tas saja. Isinya beberapa stel baju, kain sarung, beberapa buah buku, dokumen penting dan sedikit oleh-oleh dari ibu untuk adik saya di sana.

            Pertama, saya salami dan saya peluk kedua adik saya satu per satu. Mereka tak kuasa meneteskan air mata. Lalu, saya beralih menyalami dan memeluk ibu saya agak lama. Selama saya peluk, ibu melontarkan beberapa kalimat, mendoakan kelancaran saya di perantauan.

            Terakhir saya peluk dan saya ciumi kening istri saya. Erat sekali istri saya memeluk tubuh saya, seolah tak mau lepas. Perlahan-lahan saya lepaskan sambil saya tepuk-tepuk bahunya.

            Selanjutnya, saya masuk kamar. Saya tatap wajah buah hati saya, Zahra, yang sudah tertidur pulas. Saya sengaja tak membangunkannya, takut ia kaget melihat saya pergi. Saya dekap tubuhnya agak lama, lalu saya ciumi pipi dan keningnya berkali-kali. Tak terasa air mata saya menetes. Saya tak bisa membayangkan besok, apa reaksinya ketika tahu saya sudah pergi.

            Waktu itu, umurnya sudah 2 tahun lewat 2 bulan. Jadi, dia sudah kenal dan dekat dengan saya. Bahkan, kalau bangun tidur, is sering memanggil-manggil saya, ayah.. ayah.. kata-katanya cukup jelas dan bawel.

            Ibu dan kedua adik saya ,hanya mengantarkan saya sampai pintu rumah. Saya tahu, mereka, terutama ibu, tak ingin larut dalam kesedihan, sehingga tak mengantarkan saya sampai ke pinggir jalan.

            Lalu, saya langkahkan kaki tanpa menolehkan lagi wajah saya ke arah belakang. Sementara istri saya, mengantarkan saya sampai ke pinggir jalan raya. Kebetulan tak jauh dari rumah ibu saya, hanya beberapa puluh meter saja.

            Di pinggir jalan, Kang Barok, tetangga saya sekaligus tukang ojek di pasar, sudah menuggu dengan motornya. Hari sudah tengah malam, tentu tidak ada angkutan, jadi ojeklah pilihannya. Saya minta tolong Kang Barok mengantar saya ke Bandung kota,  ke daerah pintu tol Kopo, untuk menunggu bis tujuan Jakarta.

            Sebelum saya naik motor, lagi-lagi istri memeluk saya erat-erat. Kali ini tangisannya semakin menjadi. Hati saya jadi semakin merasa berat untuk berangkat. Kang Barok yang berdiri si samping saya, hanya terdiam dan sesekali melirik ke arah saya.

            Akhirnya, pelukan itu terlepas perlahan-lahan dan saya segera meluncur di tengah susana dinginnya malam. Akhir September 2006, kutinggalkan tanah kelahiran saya, demi sebuah cita dan harapan.

            Alhamdulillah, perjalanan lancar, dua jam sebelum terbang, saya sudah tiba di bandara. Saya langsung check in, lalu menuju ruang tunggu.

            Ketika panggilan untuk penumpang pesawat Wings Air dengan tujuan Pekanbaru terdengar, saya bersama penumpang lain yang satu tujuan bergegas menuju pesawat yang sudah stand by. Lalu, saya cari tempat duduk sesuai dengan nomor yang tertera pada tiket. Rupanya tempat duduk saya di paling ujung dekat jendela.

            Sebelum  saya matikan HP, saya kirim SMS untuk istri. Saya kabari dia, kalau saya sudah masuk pesawat dan sebentar lagi mau terbang. Selain itu, saya mohon do’a keselamatan dan saya minta kepada istri , agar menyampaikan pesan ini untuk ibu dan adik-adik saya.

            Pesawat mulai bergerak maju perlahan, pertanda mulai take off. Suara bising cukup mengganggu telinga saya. Laju pesawat lebih kencang lagi dan semakin kencang. Akhirnya ia mulai mengudara.

            Tak terbayangkan sebelumnya dalam hidup saya, akan merasakan naik pesawat. Jantung saya dag dig dug sedikit berdebar, merasa  was-was. Lalu saya pejamkan mata sambil berdoa mohon diberi keselamatan.

            Saya lihat kebawah lewat jendela. Daratan masih tampak. Lalu, kembali saya teringat istri, buah hati, ibu dan adik-adik saya di kampung. Moment perpisahan tadi malam kembali membayangi saya. Tak terasa air mata ini menetes kembali.

            Kembali saya melihat ke bawah, semakin lama daratan hampir tidak terlihat dan sampai benar-benar tidak kelihatan lagi. Yang terlihat di kiri kanan, hanya gumpalan awan putih.

            Ketika daratan benar-benar tak terlihat lagi, air mata saya semakin deras. Wajah ibu, istri, si kecil Zahra dan kedua adik saya semakin jelas dalam bayangan saya. Saya tetap melihat ke arah luar, karena malu jika saya ketahuan nangis oleh penumpang yang duduk di samping saya.

            Sambil menerka-nerka seperti apa tempat yang akan kukunjungi nanti, kembali saya kuatkan tekad saya. Dalam hati saya bicara:

“Saya harus mengubah nasib di tanah rantau nanti. Bukankah Allah Swt mengingatkan, bahwa Dia tidak akan mengubah suatu kaum, kecuali kaum itu yang mengubahnya.

            Biarlah hari ini, saya meninggalkan  derai air mata orang-orang yang saya sayangi di kampung, tapi suatu hari, saya harus kembali dengan senyum kebahagiaan dan tawa kesuksesan.

            Tujuan utama saya merantau, harus terbebas dari jerat hutang yang telah merusak kebahagian, sekaligus memisahkan saya dengan orang-orang yang saya cintai.

            Di ayat lain,  Allah Swt juga menjanjijkan, sesungguhnya bersama kesulitan, pasti ada kemudahan. Saya yakin dengan kalimat suci-Mu wahai yang Maha Pemurah.  Dengan segala kemurahan dan kasih sayang-Mu kepada seluruh hamba, semua prahara ini akan terlewati pada waktunya.

            Bukankah setelah jalan terjal, selalu ada jalan mulus? Bukankah setelah jalan mendaki, selalu ada jalan menurun? dan bukankah setelah gelap, selalu ada terang?     Tiada yang sulit bagi Engkau jika menghendaki sesuatu, termasuk merubah kehidupan saya.” Itulah kalimati-kalimat yang menghiasi hati dan pikiran saya selama di perjalanan, sehingga dapat sedikit menghibur dan menguatkan diri.

            Di perantauan, tepatnya di Perawang -Riau, untuk sementara saya menumpang di rumah kontrakan adik saya, Yusep. Ia bekerja di PT. Indah Kiat Pulp and Paper, Grup Sinar mas, yang konon kabarnya, termasuk pabrik bahan baku kertas terbesar di Asia Tenggara.

            Rumah kontrakan adik saya berada di komplek perumahan milik PT.Indah Kiat (waktu itu). Orang-orang di sana biasa menyebut KPR I. Ada sekitar seribuan kepala keluarga di komplek itu. Mayoritas pendukuknya karyawan PT. Indah Kiat. Tidak jauh dari tempat tinggal saya, berdiri sebuah masjid cukup besar.

            Saya sendiri, selama beberapa hari tinggal di komplek itu, belum pernah shalat di masjid. Saya selalu shalat sendiri di rumah.

            Untuk mengisi waktu luang, saya sering baca-baca buku yang saya bawa dari kampung. Tapi, saat itu ada sebuah buku kecil, yang baru saja saya beli di sana. Buku itu berjudul, “Pemuda, Masjid Menantimu.”  Saya belum sempat membaca isinya. Karena penasaran, saya mulai membacanya dari halaman awal.

            Buku itu tidak terlalu tebal, sehingga dengan cepat saya menamatkannya. Masya Allah, Allahu Akbar, selama saya membaca buku itu, saya merasa ditampar, disindir dan ditelanjangi. Betapa banyak kemuliaan-kemuliaan yang ditawarkan Allah dan rasulnya, bagi hamba-hamba-Nya yang selalu datang ke masjid.

             Beberapa saat saya termenung, mengenang perjalanan hidup saya ke belakang. Betapa saya merasa rugi dan menyesal, karena selama bertahun-tahun di kampung, jarang mengunjungi rumah Allah ini, kecuali shalat jum’at.

            Mulai hari itu, diawali dari shalat maghrib saya datang ke masjid untuk shalat berjamaah. Ketika imam masjid melantunkan ayat-ayat suci dengan suaranya yang merdu, subhanallah, ada getaran hati yang tak pernah saya rasakan sebelumnya. Saya merasakan kedamaian dan ketenangan batin yang luar biasa. Perasaan itu sulit diungkapkan lewat kata-kata.

            Tak terasa saya meneteskan air mata, mengingat kelalaian selama ini. Mulai saat itu, Alhamdulillah, saya selalu shalat fardhu berjamaah di masjid.

                    Dokumen Pribadi : Halaman Masjid Nurul Islam KPR 1 Perawang_ Riau

                                Dokumen Pribadi: Masjid Nurul Islam KPR 1 Perawang-Riau

            Masjid itu bernama  Nurul Islam. Setiap kali datang waktu shalat, selalu ramai dengan jamaah. Bahkan, ketika dikumandangkan iqamah, para jamaahnya berebut mencari shaf pertama.

            Setiap waktu shalat tiba, saya lihat puluhan motor, parkir berjejer di halaman masjid yang cukup luas. Paling sedikit, ada sekitar 200 jamaah yang selalu shalat berjamaah di masjid itu.

            Berbeda kontras dengan keadaan di kampung halaman saya. Walaupun di KTP mayoritas tertulis beragam Islam, namun orang yang shalat fardhu berjamaah di masjid bisa dihitung jari.

            Kondisi itu berlangsung puluhan tahun sejak saya kecil. Rata-rata orang yang shalat berjamaah paling banyak dua shaf. Jumlahnya tidak lebih dari 20 orang. Itu pun yang meramaikan masjid kebanyakan para pendatang.

            Selain saya sudah merutinkan shalat fardhu berjamaah di masjid, kebiasaan baru yang saya lakukan di tanah rantau ini, saya mulai merutinkan berinfak, walau hanya uang kecil.

            Karena belum sanggup tiap hari, minimal tiga hari dalam seminggu saya keluarkan uang untuk infak di masjid. Kalau hari jum.at, saya mewajibkan diri untuk berinfak, sesuai kemampuan yang ada saat itu.

            Hati ini mulai tergerak untuk berinfak,  ketika suatu subuh di bulan puasa, saya menyaksikan tausiah, di salah satu tayangan stasiun TV swasta. Saat itu, yang menyampaikan tausiah, ustadz kondang, Yusuf Mansur. Saat itu, beliau belum

Dukumen pribadi.                                                    Masjid Nurul Islam KPR I Perawang-Riau.

terseret-seret arus politik dan belum mendirikan paytren, sehingga belum ada kontradiktif di kalangan umat.

            Dalam ceramahnya yang begitu menyentuh, beliau sampaikan keutamaan-keutamaan infak, berikut pengalaman dirinya dan orang lain yang merasakan kekuatan dahsyat infak .

             Di antara yang beliau sampaikan:” Di dalam ayat Qur’an, kita diperintahkan untuk berinfak baik dalam keadaan lapang maupun dalam keadaan sempit atau susah.    Jika orang mau berinfak dalam keadaan lapang, maka itu hal biasa. Tetapi, jika orang mau berinfak dalam keadaan susah, maka itu hal luar biasa. Pahalanya pun luar biasa, karena ini membutuhkan tekad yang kuat dan merupakan ujian keimanan.”             Kemudian beliau menambahkan: ”jika kita sudah melakukannya dengan benar-benar ikhlas, balasan berlipat dari Allah swt, jangan ditunggu-tunggu, karena Allah itu selalu menepati janji-Nya.” Tentu saja disampaikan dengan gaya bahasa dan logatnya yang khas betawi.

            Sejak saat itu, saya tidak pernah ragu dan berpikir-pikir lagi kalau mau berinfak. Saya berusaha lawan, setiap bisikan hati yang menghalangi saya berinfak.

            Maha suci Allah yang tak pernah ingkar janji. Ketika baru tiga hari sampai di Perawang, saya mulai mengajar di sebuah Sekolah Dasar Islam, yang baru beberapa tahun berdiri. Gaji pun belum besar. Waktu itu gaji saya 350 ribu rupiah per bulan. Menjelang hari raya idul Fitri, saya belum mendapatkan tunjangan apapun dari yayasan, karena baru sebulan menjadi guru di sana.

            Suatu subuh, ketika saya pulang dari masjid, saya menjumpai dua orang anak laki-laki yang sedang mencari barang rongsokan dan botol minuman bekas dari tong sampah ke tong sampah Perumahan. Orang-orang di sana menyebutnya kara-kara.

            Dengan spontan saya keluarkan uang yang ada di kantong celana saya. Rupanya tidak banyak. Uang itu hanya 3 ribu rupiah. Lalu, saya berikan uang itu kepada mereka.

            Menerima uang yang tak seberapa itu, anak-anak itu mencium tangan saya, sambil berkali-kali mengucapkan terima kasih. “Terima kasih om..terima kasih om.” Kira-kira seperti itu mereka mengucapkan terima kasih. Lalu, saya tinggalkan mereka tanpa sedikit pun mengharap balasan. Toh cuma uang 3 ribu rupiah.

            Subhanallah, tidak perlu menunggu dua atau tiga hari. Sore harinya, salah seorang guru dari sekolah tempat saya mengajar, datang ke tempat saya. Lalu, ia memberikan sebuah amplop. Ia bilang, amplop itu berisi sejumlah uang hasil patungan (kumpul-kumpul) dari guru-guru lama, sebagai bentuk solidaritas pada guru baru.

            Setelah guru itu pulang, dengan rasa penasaran saya buka amplop itu. Subhanallah, saya langsung bersujud syukur saat itu. Amplop itu berisi uang 150 ribu rupiah. Tak terbayangkan sedikit pun, saya akan mendapat uang sebesar itu.

            Mungkin bagi orang lain, uang itu jumlahnya tak seberapa. Tapi, bagi saya yang baru sampai di perantauan, uang itu cukup berarti, bisa dikirimkan untuk anak istri di kampung.

            Dan, coba lihat, berapa kali lipat balasan yang Allah Swt berikan? Subhanallah, yang diinfakkan cuma 3 ribu rupiah, tapi Allah Swt membalas, 150 ribu rupiah. Artinya, 50 kali lipat Allah Swt membalas infak saya. Dengan kejadian ini, saya semakin yakin akan janji-janji-Nya.

  

republika.co.id

Dokumen Pribadi: SD YPPI Perawang-Riau
SD YPPI Perawang-Riau

           Shalat berjamaah di masjid dan berinfak, dua kebiasaan baru yang amat sangat jarang saya lakukan sebelumnya ketika saya di kampung. Semenjak tinggal di tanah Melayu ini, sesibuk apapun dan sebisa mungkin, saya lakukan kedua amalan itu secara konsisten.

            Alhamdulillah, di bulan ketiga saya di perantauan, saya di terima menjadi guru di tempat yang saya inginkan. Saya menjadi guru tetap di yayasan Persana Indah, sebuah yayasan pendidikan yang bernaung di bawah PT. Indah Kiat.

            Tidak mudah untuk diterima di yayasan ini, karena harus melalui seleksi super ketat. Yayasan waktu itu,  baru menaungi tingkat TK, SD dan SMP. Saya sendiri ditempatkan di tingkat SD.

            Alhamdulillah, di yayasan ini saya digaji cukup layak, hampir 30 kali lipat dari honor yang saya dapat ketika masih di kampung. Selain gaji pokok, yayasan juga memberikan THR satu bulan gaji setiap tahun. Kemudian, para gurunya mendapat asuransi kesehatan, jaminan sosial tenaga kerja dan dana pensiun.

            Selain dari yayasan, setelah berjalan enam bulan bertugas, semua guru swasta di daerah ini, mendapat tunjangan khusus dari pemda kabupaten Siak. Tunjangan ini dulu bernama honor daerah. Sekarang namanya bantuan dana rombel.

            Setetah berjalan satu tahun dan status saya di yayasan sudah menjadi guru tetap, istri dan kedua anak saya menyusul ke perantauan. Rupanya, ketika saya meninggalkan kampung halaman, Allah Swt menganugerahi satu lagi keturunan. Dia perempuan juga. Saya beri nama Keila.

            Waktu Keila dilahirkan saya tidak bisa pulang, karena selain belum ada dana untuk biaya pulang, juga waktunya tidak memungkinkan. Uang yang ada saya kirimkan untuk biaya persalinan dan acara aqiqah.

            Ketika di bawa ke Perawang, Zahra, putri saya yang pertama, sudah berumur hampir tiga tahun, sementara Keila baru berumur enam bulan.

            Alhamdulilah, kehidupan saya di perantauan mengalami peningkatan yang cukup berarti. Jauh dibanding ketika masih di kampung. Selain gaji dari yayasan berikut berbagai tunjangannya, saya juga mendapat tunjangan dari pemda siak.  Kegiatan les pun berangsur-angsur mulai ramai. Selain jumlah siswa lumayan banyak, nilai nominalnya pun cukup layak, sesuai standar di sini.

            Seperti keran-keran air yang dibuka, rezeki datang mengalir. Berbagai kemudahan menghampiri saya. Setiap ide dan rencana yang muncul, berjalan dengan lancar.

            Berkat segala kemudahan dan kelancaran yang Allah Swt berikan, juga berkat doa tulus ibu dan mertua saya tentunya, alhamdulilah, secara berangsur-angsur, hutang-hutang saya mulai terlunasi. Kebutuhan rumah tangga pun tercukupi dan bisa sedikit berbagi kepada saudara-saudara, baik yang ada di perantauan maupun yang ada di kampung.

            Dalam sebuah kesempatan , saya mencoba mengevaluasi dan membandingkan kehidupan saya, setelah merantau dengan saat masih di kampung. Saya bertanya kepada diri sendiri, kenapa saat masih di kampung, kehidupan begitu susah dan serba salah. Padahal, kalau dilihat dari segi usaha, kurang apa lagi.

            Di sana, saya lakukan beberapa kegiatan, mulai dari mengajar di sekolah, buka les di rumah, mengajar privat ke rumah-rumah, ditambah jualan agar-agar dan moring. Tapi, kok susahnya bukan main. Semakin hari bukan tambah cukup, tapi semakin berat menjalani hari-hari.           

            Sementara di sini, di perantauan ini, kegiatan rutin saya dan istri hanya satu, yaitu mengajar, baik di sekolah maupun di rumah. Tapi, kok penghasilan, jauh berlipat dari yang didapat ketika masih di kampung.

            Akhirnya, saya menemukan dua kata untuk jawabannya, yaitu masjid dan infak. Ketika di kampung, saya jarang shalat fardu di masjid dan jarang berinfak. Barangkali dua hal inilah yang menjadi penyebab utama semuanya menjadi sulit.

            Seolah-olah keran-keran rezeki itu tersumbat dan pintu-pintunya tertutup. Maka, dengan dua kunci ini, semuanya menjadi mengalir dan terbuka.

            Padahal, ketika di kampung, kesulitan dan beban hidup itu, sedang berat-beratnya dan memuncak, semestinya diimbangi dengan peningkatan hubungan yang baik dengan yang Maha Pemberi rezeki, bukan sebaliknya malah menjauh.

            Subhanallah, Allah Maha Pemurah dan Menepati janji. padahal yang saya lakukan belum seberapa dan masih jauh dari kesempurnaan ibadah.

            Masih banyak hamba-hamba Allah yang lain, yang jauh lebih baik ibadahnya. Sementara saya hanya baru merutinkan shalat fardhu berjamaah di masjid dan membiasakan infak walau tak banyak. Tapi, yang Allah Swt berikan, sangat melimpah bahkan di luar yang saya duga.

            Subhaanalaah, walhamdulillaah, walaailaaaha illallaah wallaahu akbar. Terima kasih ya Allah, semoga Engkau menetapkah hati hamba dan keluarga, tetap  istiqamah dalam beribadah, sampai hembusan nafas yang terakhir. Amin.

 

( Memoar adalah sepenggal perjalanan hidup seseorang/tokoh. Demikian juga tulisan ini merupakan sepenggal atau satu episode perjalanan hidup penulis. Harpan penulis, semoga memoar sederhana ini dapat bermanfaat dan memberi inspirasi buat sahabat "KItabisa")

 

Nantikan Memoar: Tangisan itu Berujung Senyuman Part 7 dengan judul :

 

The Real Tolerance of SD YPPI Perawang-Riau

 

Kontak Penulis/Blogger : 0822 8379 0651

 

The Real Tolerance of SD YPPI

Free kinds of fhotos snd videos...

https://www.pexels.com/id-id/@ahmad-khoibar-115812776/