Senin, 06 Desember 2021

Memoar : Tangisan itu Berujung Senyuman Part 3 sub judul: Tinta emas Generasi Awal Ma'had Arafah

 

                                 1   Dukumen pribadi.               Awal-awal pembangunan Pondok Pesantren Arafah.

Bab III

Tinta Emas Generasi Awal Ma’had Arafah.

            “Sekarang, tolong jelaskan satu per satu, apa alasan kalian keluar dari pondok Pabelan?” Sebuah permintaan dari kang Iif pada saya dan teman-teman yang sama-sama mantan santri Pondok  Pabelan, Muntilan, Magelang Jawa Tengah.

            Malam itu, baru saja saya sampai di kampung Rancapanggung Desa Mukapayung Kec. Cililin, Kab.Bandung (sekarang Kabupaten Bandung Barat). Saya dan kelima teman saya berkumpul di rumah orang tua teman saya, Muhammad Nur Iman ( Alluhu yarham).

             Muhammad Nur Iman, kebetulan adik sepupu kang Iif. Sementara, Pak Haji Abidin, ayah Nur Iman, yang juga paman kang Iif, termasuk salah satu pendiri yayasan Arafah, tempat saya akan melanjutkan mondok. Kang Iif sendiri, posisinya sebagai ketua yayasan.

            Satu per satu kami memberikan alasan, mengapa keluar dari pondok Pabelan. Semuanya mendapat pertanyaan, seperti sedang diintrogasi.

            Setelah dianggap cukup, kang Iif meminta saya dan teman-teman untuk menerapkan semua ilmu yang didapat di Pondok Pabelan, di Yayasan Arafah yang ia pimpin, karena yayasan Arafah baru dirintis

            Tahun-tahun pertama saya mondok di Pabelan, memang luar biasa. Sistem berjalan seperti di induknya, pondok Gontor Ponorogo Jawa Timur. Dari mulai bangun tidur sampai menjelang tidur lagi, semua kegiatan terjadwal.

            Setelah berjalan tiga tahun mondok dan ketika masuk tahun keempat, saya merasakan adanya perubahan di pondok ini. Sayangnya perubahan itu berupa penurunan di berbagai bidang seperti, kedisiplinan sudah tidak ketat lagi, seperti di awal-awal saya masuk,  pelanggaran-pelanggaran santri kurang disikapi dengan tegas atau lebih longgar dari sebelumnya.

            Ternyata bukan saya saja yang merasakan hal itu, rupanya kawan-kawan yang lain pun sama. Akibat dari penurunan kualitas ini, banyak santri yang mengundurkan diri sebelum waktunya, termasuk saya dan beberapa orang kawan. Tapi, saya dengar kabar, lima tahun kemudia setelah itu, pondok Pabelan kembali stabil. Bahkan sampai hari, alhamdulullah Pondok Pabelan mengalami kemajuan cukup pesat.

*****

            Pondok Pesantren Arafah yang lebih dikenal dengan Ma’had Arafah, terletak di desa Mukapayung, kecamatan Cililin, kabupaten Bandung (Sekarang, Kabupaten Bandung Barat). Pondok ini dibangun di atas tanah perbukitan yang bernama Pasir Jati. Di bagian paling puncak bukit, bangunan pertama berdiri, yaitu masjid. Peletakan baru pertamanya, dilakukan oleh K. H.  E. Z Muttaqin. Beliau salah seorang ulama terkenaldi Jawa Barat dan juga mantan rektor Universitas Islam Bandung/UNISBA. Peletakan batu pertama tersebut, sekaligus meresmikan Pesantren atau Ma’had Arafah.

            Ketika pertama kali saya masuk Pondok ini, belum banyak bangunan yang berdiri. Selain masjid, baru ada sekitar 4 ruangan kelas, kantor guru, ruang koperasi, 2 ruang asrama kosong dan dua ruang kamar mandi yang belum jadi.

            Semua bangunan diatas, merupakan sumbangan dari kampus UNISBA. Waktu itu kampus Universitas Islam bergengsi itu, sedang melakukan rehab besar-besaran. Lalu, bekas bangunan yang masih berguna, disumbangkan ke Ma’had Arafah.

            Di dalam ruangan kelas, sudah ada beberapa meja dan kursi belajar dari kayu. Sementara lantai ruangan kelas masih berupa tanah.

            Suasana pesantren masih sangat gersang. Pohon-pohon palm yang mirip pohon kurma, ditanam di sekitar Pesantren. Namun, baru tumbuh beberapa centi meter saja. Semua masih serba tanah merah. Jika musim kemarau, banyak debunya. Sementara bila musim hujan, tanah merah itu cukup licin dan lengket menempel pada alas kaki.

            Walaupun demikian, dari halaman masjid, terhampar pemandangan yang sangat indah. Di sebelah barat dan utara Pesantren, terhampar luas danau lintasan waduk Saguling. Di atasnya berjejer pondokan-pondokan kayu para peternak ikan jala terapung.

            Jika musim kemarau tiba, air danau itu surut, sehingga dasar danau yang berupa puing-puing rumah penduduk, yang terkena proyek pembangunan PLTA Saguling, terlihat kembali. Di sebelah timur dan selatan Pesantren, tampak berbaris pegunungan hijau.

            Saat itu, 1987, satuan pendidikan formal di Ma’had Arafah, baru terdiri dari Madrasah Tsanawiyah (SMP) dan Madrasah Aliyah (SMA). Madrasah Tsanawiyah merupakan kelanjutan dari Madrasah Tsanawiyah Uswatun Hasanah, yang sudah lama berdiri dan lokasinya sudah terendam oleh danau Saguling. Sementara Madrasah Aliyah baru berdiri setengah tahun.

            Sebelum saya dan teman-teman dari Pondok Pabelan masuk Ma’had Arafah, program kepesantrenan belum berjalan. Semenjak saya dan teman-teman lain masuk, program kepesantrenan mulai diterapkan, sebagaimana permintaan kang Iif selaku ketua yayasan.

            Ruang asrama yang tadinya kosong, mulai saya tempati bersama-sama  teman-teman baru saya di Aliyah. Waktu itu baru lima orang yang menempati asrama. Mereka semua siswa laki-laki yang rumahnya jauh dari Pesantren. Sementara asrama putri dibuka tahun berikutnya.

            Untuk menjalankan amanah yang dipesankan kang Iif selaku ketua yayasan, sebisa mungkin saya berikan pengalaman dan ilmu yang saya dapat dari Pondok Pebelan, walaupun belum banyak.

            Bersama teman-teman, mantan santri Pabelan yang lain, saya susun jadwal kepesantrenan. Setelah shalat subuh diadakan kajian ilmu al Qur.an dan hadits. Selelah shalat ashar, diisi materi muthala’ah, tajwid dan latihan percakapan bahasa Arab dan Inggris. Setelah shalat Isya, dua kali seminggu, diadakan muhadharah berupa latihan pidato. Waktu itu, latihan pidatonya, masih berbahasa Indonesia.

            Jika ustadz yang bertugas mengisi materi terlambat atau tidak hadir, saya sering berinisiatif menggantikan ustadz tersebut. Tentu saja sesuai kemampuan saya sendiri.

            Salah satu oleh-oleh saya dari Pondok Pabelan, kemampuan saya bermain gitar, hasil belajar dari seorang sahabat asal Kuningan Jawa Barat, bernama Dadang Kusnandar.

            Dengan bekal kemampuan bermain gitar, di waktu-waktu tertentu, saya mengadakan pentas seni budaya berupa pembacaan puisi, drama dan penampilan lagu-lagu religi yang saya iringi dengan gitar.

            Walaupun perjalanannya tersendat-sedat, alhamdulillah program yang saya rancang berjalan lancar, terlebih setelah kehadiran dua orang ustadz muda. Yang satu Ustadz Saefuddin, alumni Pondok Pesantren Pabelan dan kedua, Ustadz Syafiq, alumni Pondok Gontor Ponorogo. Meskipun, baru 6 orang santri yang baru menempati asrama, namun seluruh santri yang masih pulang pergi dari rumah, diwajibkan mengikuti semua jadwal kepesantrenan.

            Kehadiran ustadz Drs.Ahmad Hidayat, yang dikenalkan dengan Ma’had Arafah oleh K.H Josep Saefuddaulah, menambah amunisi besar bagi kemajuan program-program Ma’had waktu itu. Sementara, K.H Josep Saifuddaulah merupakan relasi kang Iif sudah sejak lama. Beliau diminta untuk mengisi kajian kitab Al Maraghi sebulan sekali di Ma’had Arafah, yang diikuti oleh keluarga besar Arafah dan sebagian masyarakat sekitar.

            Selain itu, beliau diminta untuk menjadi salah seorang sesepuh dan pembina Ma’had Arafah, di tengah kesibukan beliau sebagai salah seorang dosen di kampus UNISBA juga memimpin pesantrennya sendiri di Cicalengka Kabupaten Bandung. Nama pesantrennya, Husainiyah.

            Ustadz Ahmad hidayat, merupakan sosok yang penuh wibawa, pekerja keras disiplin dan ilmunya cukup “mumpuni”.Beliau seorang alumni UNISBA binaan K.H Josep Saifuddaulah. Pengisi materi ba’da subuh dan ba’da ashar, hampir sepenuhnya diisi oleh beliau.

            Mengingat yayasan Arafah belum dapat memberikan honor yang layak, dua kali dalam seminggu, beliau harus pulang pegi ke Bandung kota, yang jaraknya cukup jauh dari Ma’had. Di sana beliau melanjutkan kegiatan sebelumnya, yaitu mengajar privat bimbingan agama ke rumah-rumah dan sesekali mengisi acara pengajian.

            Pulang mengajar privat dari Bandung Kota, terkadang larut malam baru sampai. Namun, meskipun begitu, beliau tidak pernah terlambat memimpin shalat subuh berjamaah di masjid, sekaligus menyampaikan materi kepada para santri.

            Karena struktur tanah di depan asrama putri masih bergelombang dan miring, Di bulan suci ramadhan, setelah pengajian ba’da subuh, beliau memimpin langsung para santri bergotong royong. Saya, bersama santri-santri yang lain, meratakan tanah merah yang keras dan licin, dengan sebuah alat yang mereka sebut “garpu”.

            Setelah tanah kering itu dicongkel dengan garpu, lalu kami ratakan dengan drum bekas minyak tanah. Drum itu saya isi penuh dengan air. Kemudian saya dorong ramai-ramai sampai menggelinding maju mundur, layaknya sebuah stum yang sedang meratakan jalan.

            Alhamdulillah dengan cara itu, halaman asrama putri menjadi rata, walaupun harus memakan satu korban, salah seorang santri, kakinya tertusuk garpu itu hingga menembus sepatu. 

            Meskipun sedang berpuasa, saya perhatikan ustadz Ahmad dan para santri melakukan gotong royong dengan rasa senang dan terasa ringan. Tampak dari raut wajah-wajah meraka, aura keikhlasan.

            Lain ceritanya dengan sesepuh yang satu ini. Namanya pak Abdurrahman Shaleh. Kebetulan juga sahabat dari almarhum ayah saya.

 

                                                        Dokumen pribadi.   Santri Ma’had Arafah.

        Para santri biasa memanggilnya, pak Oman. Kini beliau telah dipanggil oleh yang maha kuasa. Saat itu posisinya di yayasan, sebagai kepala sekolah Madrasah Tsanawiyah.

            Selain ilmu agamanya cukup luas, beliau memiliki keterampilan membuat furniture seperti, lemari, meja, kursi dan lain-lain. Dengan keahliannya tersebut, selain mengajar, beliaulah yang membuatkan meja, kursi dan lemari untuk kepentingan Ma’had Arafah.

            Beliau hanya meminta biaya untuk bahan-bahannya saja, tanpa mengambil keuntungan sedikit pun. Bahkan, tidak jarang beliau harus mengeluarkan uangnya sendiri bila ada kekurangan.

            Hampir setiap hari, beliau pulang ke rumahnya menjelang maghrib, kerena selepas mengajar, beliau habiskan waktunya untuk kepentingan Pesantren. Terkadang memperbaiki jendela atau pintu yang rusak, memperbaiki atap yang bocor dan selalu ada saja yang beliau kerjakan.

            Kang Iif sendiri, sebelum terjun langsung di yayasan Arafah, ia seorang jurnalis dan pengusaha yang cukup sukses di kota Bandung. Untuk sebuah visi dan misi yang mulia, ia jual semua asetnya, lalu secara total ia abdikan dan wakafkan diri dan hartanya untuk kemajuan Pesantren.

            Di Pesantren, ia hanya menempati sebuah rumah kecil sampai menghembuskan nafasnya yang terakhir di sana. (Semoga Allah Swt menempatkan beliau di tempat yang mulia. Amin)

            Beliau adalah seorang visioner yang memiliki pandangan jauh ke depan. Terkadang, bagi sebagian orang, tidak mudah memahami gagasan-gagasan beliau, jika diukur dengan keberadaan Pesantren Arafah saat itu, yang masih serba sulit, darurat dan sederhana.

            Memanfaatkan masa lalunya yang banyak memiliki relasi dari berbagai kalangan, ditambah kepiawaiannya dalam melobi dan bernegosiasi, tidak jarang beliau menghadirkan orang-orang “penting” dan “berpengaruh” ke Pesantren. Tentu saja dari kunjungan para tokoh dan melalui presentasi beliau, sedikit banyak, sumbangan pun berdatangan, baik dalam bentuk uang, barang maupun kerja sama pelatihan SDM untuk para ustadz dan santri.

            Berbeda dengan kang iif, bapak Abdul Kohar, yang lebih dikenal dengan panggilan Mang Oan dan sedikit temperamen ini, memiliki cara tersendiri dalam mengabdikan dirinya kepada Pesantren.

            Setiap pagi, beliau menyusun batu berukuran sedang sepanjang jalan mulai pintu gerbang pesantren sampai ke depan ruang kelas. Subhanallah, meskipun tampak sederhana, tetapi hasil keringat beliau, sangat membantu meringankan dan mempermudah akses jalan, bagi siapa pun yang melewatinya. Terlebih jika di musim hujan, karena tanah merah bukit Pasir Jati ini, selain licin juga sangat lengket.

            Yang tak kalah menarik, apa yang dilakukan Uwa saya, Wa Udin. Beliau termasuk salah seorang jamaah masjid Arafah. Beliau merasa tidak punya ilmu yang bisa diberikan dan tidak punya harta yang dapat disumbangkan. Tetapi, tidak menghalanginya untuk turut ambil bagian proyek syurga ini.

            Dengan kemampuannya memasak, selama beberapa waktu, Wa Udin mewakafkan dirinya di dapur Pesantren. Setiap hari ia memasak dan menyiapkan makan para ustadz. Imbalan yang beliau terima, hanya dapat turut makan bersama para ustadz dan sedikit membawa pulang untuk anak istrinya di rumah.

            Begitu juga dengan para pengajar atau para ustadz. Saat itu, yayasan belum dapat memberi imbalan yang layak. Mereka, ada yang berasal dari alumni Madrasah Tsanawiyah Uswatun Hasanah, dari penduduk setempat, bahkan ada yang sengaja pulang pergi dari Bandung kota. 

                                                    Dokumen pribadi.    Majlis Guru/Dewan Asatidz Ma’had Arafah.

Mereka mengajar sesuai kesanggupan. Ada yang hanya satu hari dalam sepekan, dua hari atau tiga hari berturut-turut, disesuiakan dengan kegiatan masing-masing di luar.

            Secara materi, mereka tidak mendapatkan apa-apa. Mereka hanya mendapatkan makan dengan lauk pauk ala kadarnya. Kalaupun, sesekali ada rezeki, itu pun tidak seberapa. Belum ada tunjangan macam-macam dari pemerintah seperti sekarang.

            Intinya, semua pihak mulai dari pengurus yayasan, para pendiri, para ustadz, para santri dan sebagian penduduk setempat, berlomba-lomba memberikan yang terbaik untuk Pesantren ini. Mereka melangkah dalam satu visi dan misi yang sama, memajukan Pesantren, menebar ilmu dan mencetak generasi Qur’an Sunnah yang berakhlak mulia.

            Sebagian besar pendiri dan perintis Pesantren, kini sudah kembali ke sisi-Nya, menghadap sang Pencipta, termasuk beberapa orang alumni. Jasad mereka sudah tiada, tubuh mereka sudah menjadi tulang belulang, Tetapi, wangi ketulusan hati mereka, masih tercium aromanya hingga kini. Dengan masing-masing kemampuan yang dimiliki, mereka telah menabur bekal, untuk dituai kelak di akhirat.

            Pak syarif Mahmud (Kang Iif), Pak Abdurrahman Shaleh (Pak Oman), Pak Haji Abidin, Pak Abdul Kohar (Mang Oan), Pak Haji Adung (Wa Adung), pak Anwar Shaleh (Kang Aan), Pak Rahmat, Pak Dayat, Ustadz Ahmad hidayat, Wa Udin, Pak Amin, Pak Abdul Halim, Pak Siraj, Ustadz Basyirin, Pak Carma, Pak Sujana, Pak Teten, Kang Nurdin, Kang Zaini, Kang Hafid, kang Yayan, kang Iim, ustadz Saifuddin, ustadz Syafiq dan semua yang tidak tersebut namanya, baik yang masih ada maupun yang sudah meninggal, yang pernah turut andil menambur amal kebajikan di Pesantren ini, kalian adalah, guru-guru kehidupan saya, kalian adalah inspirasi saya.

            Sebuah pertunjukkan realita bertema ketulusan telah dipertontonkan, sebaris syair tembang keikhlasan telah dilantunkan dan sebingkai lukisan kebersamaan telah dipamerkan.

            Dokumen pribadi.       Sebagian dari para pendiri dan perintis Ma’had Arafah.

Harapan saya, semoga hamba-hamba Allah yang saat ini, masih diberi kesempatan mengabdi di Pesantren Arafah dan para alumni yang sudah bertebaran jauh seperti saya, bisa tetap mewarisi cahaya ketulusan dan mutiara keikhlasan seperti jejak-jejak para pendahulu.

            Para generasi awal itu, telah mengajarkan saya makna sebuah ketulusan dan keikhlasan dalam tindakan nyata, bukan dalam kata-kata dan bukan dalam retorika semata.

            Di awal masuk, 1987, generasi awal siswa Madrasah Aliyah Arafah, berjumlah 22 orang, dan yang berhasil sampai tamat, 1990, hanya 15 orang. Sementara, 3 orang sudah pergi menghadap sang Maha Kuasa, Allah Azza Wajalla.

(Memoar ini, khusus saya dedikasikan untuk ketiga sahabat, sekaligus saudara saya, sebagai bagian dari generasi awal Ma’had Arafah: “Dadang Darul Arqam, Muhammad Nur Iman dan Zaenal Muttaqin,” semoga kalian mendapat tempat yang mulia di sisi-Nya. Amin).

 

                                                                                    Perawang-Siak-Riau, Maret 2020

( Memoar adalah sepenggal perjalanan hidup seseorang/tokoh. Demikian juga tulisan ini merupakan sepenggal atau satu episode perjalanan hidup penulis. Harpan penulis, semoga memoar sederhana ini dapat bermanfaat dan memberi inspirasi buat sahabat "KItabisa")

Nantikan Memoar: Tangisan itu Berujung Senyuman Part 4 dengan judul :

Liku-Liku Meraih Gelas Sarjana

Kontak Penulis/Blogger : 0822 8379 0651

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

The Real Tolerance of SD YPPI

Free kinds of fhotos snd videos...

https://www.pexels.com/id-id/@ahmad-khoibar-115812776/