Bab II
Pabelan, Oh Pondokku.
Sebuah
episode baru dalam kehidupan saya dimulai. Selepas SD saya harus rela berpisah
dengan kedua orang tua dan keempat adik saya. Berbekal sejuta harapan dan
untaian doa orang tua serta kerabat, saya berangkat ke Pondok Pesantren untuk
menuntut ilmu.
Saya
tertarik masuk Pondok, setelah melihat saudara-saudara sepupu saya dari
keluarga ayah yang telah lebih dulu masuk Pondok. Baru setahun di Pondok,
mereka sudah pandai berpidato, bahkan menggunakan bahasa Arab dan Inggris.
Alhamdulillah
keinginan saya tersebut didukung penuh oleh kedua orang tua waktu itu. Namun,
kebanyakan saudara dari ibu saya kurang merespon, karena pemahaman mereka
terhadap agama masih sangat minim.
Selain
itu, di tanah kelahiran saya, yang merupakan kampung asli ibu saya, pada
umumnya, masyarakatnya masih awam tentang
pemahaman agama dan tentang Pesantren saat itu.
Dalam
pemikiran mereka, kalau masuk Pesantren, tidak bisa melanjutkan pendidikan ke
jenjang yang lebih tinggi. Kalau sudah tamat paling-paling hanya bisa mengajar
ngaji dan jadi imam di masjid. Atau,
dalam benak mereka, anak yang masuk Pesantren itu pasti anak nakal yang susah
diatur oleh orang tuanya. Jadi, seingat saya, sayalah orang pertama yang masuk
Pesantren di kampung saya.
Memang
secara historis, menurut cerita orang-orang tua di sana, kampung halaman saya,
tepatnya di kampung Barukai Desa Jambudipa, Kecamatan Cisarua yang berada di
bagian utara wilayah Kabupaten Bandung (sekarang Kabupaten Bandung Barat), termasuk daerah merah dulunya.
Selain
itu, di kampung halaman saya cukup lama berkembang ajaran kepercayaan. Sehingga
berpengaruh pada pemahaman generasi berikutnya terhadap ajaran agama Islam
Seiring
berjalannya waktu, nuansa keagamaan mulai berkembang. Masjid-masjid dan
sekolah-sekolah keagamaan seperti Madrasah Tsawaiyah, Madrasah Aliyah, MDTA dan
TPA secara bertahap berdiri. Itu pun diramaikan dan diaktifkan oleh para
pendatang. Para pendatang ini rata-rata berprofesi sebagai pedagang dan ustadz
yang berasal dari daerah-daerah yang dikenal religius, seperti dari
Tasikmalaya, Garut dan Cililin.
Berdasarkan
kondisi di atas, justru kedua orang tua saya lebih bersemangat untuk memasukkan
saya ke Pondok Pesantren. Pertimbangan mereka, selain agar saya menguasai ilmu
agama, jika sekolah di kampung, mereka khawatir pergaulan dan lingkungannya
kurang kondusif.
1984
saya lulus SD. Ayah , ibu, paman dan
adik bungsu saya yang masih bayi turut mengantar saya ke Pondok. Perjalanan
memakan waktu 10 samai 12 jam menuju Pondok Pesantren yang dituju.
Pondok
Pesantren itu bernama Pabelan sesuai dengan nama kampung Pondok itu berada. Ia
berlokasi di kampung Pabelan Desa Mungkid Kecamatan Muntilan Kabupaten Magelang
Jawa Tengah. Pondok itu tidak jauh dari Candi Mendut dan dari salah satu tujuh
keajaiban dunia yaitu Candi Borobudur.
Karena
berangkat dari rumah pagi, sampai di lokasi sekitar jam 8 malam. Ketika pagi
hari, baru mulai tampak situasi yang sebenarnya.
Pohon akasia, bougenvile, melinjo, rambutan,
belimbing dan pohon kelapa yang batangnya menjulang tinggi, memenuhi kawasan Pesantren,
sehingga membuat suasana terasa teduh. Sebuah kantin dan dapur induk berdiri di
bagian tengah, sekaligus membatasi asrama putra dan putri.
Saat
itu tidak ada dinding pembatas antara asrama putra dan putri, juga tidak ada
pembatas antara Pesantren dengan rumah penduduk. Sebagian rumah penduduk malah
bertebaran di dalam lokasi Pondok, sebagian di sebelah jalan sebagai batas Pondok.
Sebuah
masjid tua bergaya bangunan masjid Demak berdiri tepat di tengah-tengah Pondok.
Tiang-tiang penyangganya berukuran besar terbuat dari kayu jati. Sebuah beduk
dan kentongan berukuran besar terletak di sudut masjid. Beduk dan kentongan itu
merupakan salah satu alat hiburan sekaligus rebutan para santri putra.
Setiap kali memasuki waktu adzan maghrib. Para
santri berebut ingin memukul beduk pertanda adzan akan dimulai. Lalu, menjelang
iqamah, kembali para santri berebut untuk memukul kentongan.
Tiga
hari pertama saya di Pondok, diawali dengan kegiatan yang namanya Ta.aruf atau
perkenalan. Kegiatan diikitu oleh seluruh santri baru, gabungan santri putra
dan santri putri.
Santri
putra berada di dalam beranda masjid. Setengah beranda lagi diisi santri purti.
Di tengahnya dibatasi oleh sebuah kain yang cukup lebar.
Fahimna.or.id Wongso.online
Santri
putra berebut duduk di barisan paling pinggir dekat beranda, agar bisa
berdekatan dengan santri putri. Ada beberapa yang memanfaatkan untuk saling
menyelipkan kertas hanya sekedar untuk kenalan.
Pemandu
acara, dipimpin oleh kakak-kakak pengurus santri putra, yang biasanya sudah
duduk di kelas 6. Acara pokoknya, pengarahan berturut-turut selama tiga hari
oleh pimpinan Pondok, Kiayi Haji Hamam Ja’far.
Di
sela-sela acara inti, kakak-kakak pengurus santri mensosialisaikan seluruh kegiatan
dan peraturan-peraturan Pondok. Selain itu, santri baru diperkenalkan dengan
yel-yel dan lagu kebangsaan Pondok berjudul: ‘Oh pondokku.’
Meski
tiga hari berturut diisi oleh orang yang sama, tapi saya tidak merasa bosan.
Alasannya, karena Kiayi Hamam Ja’far merupakan sosok penuh wibawa. Suaranya
menggelegar seperti proklamator Bung Karno.
Ketika
beliau meyampaikan nasehat, selalu diselingi dengan candaan dan gurauan. Fasih
berbicara bahasa Arab dan Inggris. Pokoknya, para santri selalu dibuat
terkesima setiap kali beliau berbicara.
Fahimna.or.id
K.H. Hama Ja'far ( Alm )
archnet.org
Dalam satu kamar terdiri dari 15
sampai 25 orang santri, tergantung besar kecil kamarnya. Setiap kamar
didampingi oleh 2 orang kakak kelas yang sudah duduk di kelas 5.
Pondok
tidak menyediakan ranjang atau tempat tidur. Untuk alas, santri membeli kasur
masing-masing. Ketika jam tidur, kasur-kasur itu langsung digelar di lantai.
Pagi-pagi, petugas piket kamar menyusun kasur-kasur itu secara bertumpuk.
Untuk
lemari pakaian, saya dan santri lainnya membeli sebuah tempat yang yang disebut
‘kotak’, semacam lemari kecil yang terbuat dari bahan triplek tebal. Ukurannya,
ada yang sedang, ada juga yang tinggi. Kotak-kotak ini, bisa dibeli di koperasi
Pesantren atau di rumah-rumah penduduk yang memproduksi barang itu.
Untuk
makan, Pondok menyediakan tiga kali dalam sehari. Mengingat banyaknya jumlah
santri, Pondok menyediakan beberapa dapur santri. Tapi, yang paling besar
berada di dapur induk sekaligus berdekatan dengan kantin.
Di
dapur umum, berderet meja-meja berikut bangkunya yang terbuat dari beton. Ia
ditembok secara permanen. Dengan bahan seperti itu, tentu saja meja-meja makan
itu bisa bertahan lama.
Di
dinding kantin terpangpang dua baris
tulisan besar: ‘Makan untuk Hidup, Bukan Hidup untuk Makan’ dan ‘ Lauk yang
Paling Enak Adalah Lapar.’ Sebuah motto yang singkat, namun memilki makna yang
sangat dalam.
Dapur
induk itu sendiri menghadap ke salah satu asrama santri putri. Jadi, buat
santri yang sudah mulai kasmaran, sambil makan bisa sekaligus ‘nampang’ dan
‘ngeceng’ santri putri. Sehingga, ada istilah yang cukup populer ketika itu:
‘Kala Cinta Berlabuh di Dapur Induk.’ Sebuah ‘plesetan’ dari judul lagu
terkenal zaman itu: ‘Kala Cinta Berlabuh di Dermaga.’
Ketika
lonceng makan dibunyikan, ribuan santri berbaris dalam antrian untuk mengambil
nasi sendiri-sendiri. Sementara untuk lauk-pauknya, beberapa pengurus santri
putri ditugaskan untuk membagikan.
waktu
itu biaya makan per bulan hanya 20 ribu rupiah. Bila diukur dengan nilai kurs
rupiah waktu itu, bisa dikatakan masih termasuk murah, dibanding iuran makan di
Pondok-Pondok Pesantren lainya.
Karena
iuran makan cukup murah, tentu saja lauk yang disediakan Pondok pun cukup
sederhana. Yang paling sering disajikan, gulai tahu, tempe dan ‘tewel’, semacam
gulai nangka. Kalaupun dapat ikan dan ayam, mungkin hanya sekali-sekali saja.
Bagi
santri yang punya kelebihan uang jajan, biasanya mereka membawa nasi ke
warung-warung penduduk yang ada di sekitar dan di dalam Pondok. Mereka membeli
lauk tambahan di warung-warung itu. Bahkan banyak santri yang ‘ngebon’ dulu
alias ‘ngutang’ jika bekal sudah habis. Mereka membayar setelah kiriman wesel
dari orang tua datang.
Di
minggu-minggu pertama, setiap makan saya membawa sebuah piring, cangkir dan
sendok, lalu makan sendiri seperti teman-teman yang lain. Tapi, saya melihat
banyak santri lama yang makannya tidak sendiri-diri lagi. Mereka makan
berkelompok-kelompok. Ada yang berdua-berdua, bertiga bahkan sampai ada yang
empat orang dalam satu kelompok. Mareka makan menggunakan sebuah nampan besar.
Akhirnya
saya pun mengikuti cara makan santri-santri lama tersebut. Saya dan tiga orang
teman saya makan dalam satu nampan besar. Rupanya ada kenikmatan tersendiri
makan dengan cara seperti itu. Mungkin, bagi sebagian orang yang melihat,
terkesan agak jorok, karena semua lauk dan kuah dicampur jadi satu, lalu, saya
makan bersama-sama menggunakan tangan.
Untuk
mandi, di setiap asrama di sediakan deretan kamar mandi santri. Tetapi,
terkadang airnya macet dan sering aromanya kurang sedap, akibat pengaruh
kotoran pipa yang yang sudah lama menempel. Belum lagi antrian cukup panjang.
Atrnatifnya, banyak santri putra yang mandi sore di sungai. Waktu itu, belum
ada larangan mandi di sungai.
Di
sebelah timur Pondok, terdapat aliran sungai cukup besar. Bila di musim
kemarau, airnya jernih dan dangkal. Batu-batu berukuran besar dan lebar
berjejer. Jarak dari Pondok tidak jauh, cukup waktu 10 menit untuk sampai di
sana.
Setiap Jum’at, hari libur Pondok. Seusai
gotong royong membersihakan asrama, saya dan teman-teman biasanya pergi ke
sungai. Selain untuk mandi, sekalian mencuci pakaian.
Karena
waktu cukup panjang, pakaian yang saya cuci, langsung dijemur di atas batu-batu
besar itu. Jadi, ketika pulang ke Pondok, pakaian yang dicuci sudah kering.
Di
pinggiran sungai terdapat beberapa mata air yang cukup jernih airnya. Banyak
santri putra yang biasa mandi di mata air itu. Kalau tidak mau mengantri,
banyak juga yang mandi di sungainya langsung.
Saya
tidak tahu, mengapa waktu itu Pondok tidak melarang santri-santri putra mandi
di sungai. Kalau dipikir-pikir, cukup beresiko juga apalagi di musim hujan. Bila musim hujan tiba, aliran sungai yang
biasanya jernih dan dangkal itu, bisa tiba-tiba berubah menjadi kotor dan
deras, bisa membawa hanyut apa saja yang dilaluinya. Air deras itu semacam air
bah yang tiba-tiba datang dari hulunya.
Memang
sih, selama tiga tahun lebih saya di Pondok, belum pernah ada insiden santri hanyut, tapi seandainya
itu kejadian, saya tidak tahu bagaimana bentuk tanggung jawab pihak Pondok
kepada orang tua santri.
******
Saat
itu Pondok Pesantren Pabelan termasuk Pondok Cabang Gontor yang cukup populer. Bahkan menurut salah seorang
ustadznya, saat itu Pondok Pabelan
berada di urutan terbaik kedua, di antara puluhan cabang Gontor yang ada di
seluruh tanah air.
Ada
ribuan santri yang belajar di Pondok Pabelan ini. Mereka berasal dari seluruh
pelosok tanah air, bahkan ada santri dari luar negeri, dari Malaysia dan
Thailand.
Jadi,
sebenarnya, sejak dulu saya sudah belajar toleransi bahkan menjalaninya dalam
kehidupan nyata. Meskipun satu agama, tapi sukunya berbeda-beda. Sehari-hari
saya bergaul dengan teman-teman santri yang berbeda suku. Ada santri dari
Jakarta, Sumatra, Sulawesi, kalimantan, NTB, NTT, Madura, Bali dan tentu saja
Jawa.
Di
waktu-waktu senggang, saya sering bertukar informasi dan berbagi cerita tentang
daerah masing-masing. Di pondok ini, saya layaknya berada di negara Indonesia
mini. Berbeda-beda, tapi satu tujuan yaitu menuntut ilmu, dan menempa diri
Karena
Pondok Pabelan merupakan cabang Pondok Modern Gontor, kurikulum yang digunakan
pun 100% menggunakan kurikulum Gontor. Saat itu, penerimaan santri baru tidak
dibatasi usia. Jadi, ketika belajar di kelas, dalam satu kelas yang seangkatan,
bisa bercampur usianya.
Yang
tamatan SD, SMP dan SMA bisa berada dalam satu kelas, kecuali pengaturan
asrama. Untuk asrama dipisahkan antara santri tingkatan SMP dengan santri
tingkatan SMA.
Percampuran
usia dalam satu kelas ini, sebenarnya ada plus minusnya juga. Positifnya,
santri yang sudah lebih tua umurnya bisa membimbing santri yang lebih muda dan
memberikan pengalaman baik.
Sedangkan
negatifnya, jika santri yang lebih tua ini punya perangai yang kurang baik atau
negatif, maka ia dapat mempengaruhi santri yang lebih muda, terlebih santri
yang baru lulus SD. Mereka masih labil dan sangat mudah dipengaruhi. Saya tidak
tahu apa dasar dan alasan kebijakan ini.
Ketika
itu, Pondok Pabelan selain dikenal dengan keunggulan santrinya dalam berbahasa,
terutama bahasa Arab dan Inggris, juga dikenal dengan kedisiplinannya. Mulai
jam 04.30 pagi, kakak pengurus sudah membangunkan para santri melalui mikropon,
untuk shalat berjamaah subuh.
Pakaian
wajib ke masjid, harus mengenakan sarung, baju kemeja, memakai kopiah hitam dan
mengenakan sabuk. Jika kedapatan tidak lengkap, maka akan dikenakan iqab atau
hukuman.
Setelah
shalat subuh, para santri tadarrus masing-masing. Setelah itu bersiap-siap
mandi. Lalu, dilanjutkan dengan sarapan pagi. Kemudian belajar di ruang kelas
sampai pukul 12 siang. Pulang sekolah, shalat dzuhur berjamaah, lalu
dilanjutkan makan siang.
Kegiatan
Pondok dimulai lagi mulai pukul 2 siang di kelas masing-masing sampai menjelang
ashar. Setelah shalat ashar berjamaah, kegiatan santai sampai menjelang waktu
maghrib.
Biasanya
para santri berolah raga, mulai dari main tenis meja, bulu tangkis dan main
bola voli. Bagi santri yang kurang suka berolah raga, biasanya duduk-duduk di
asrama, sebagian lagi ada yang bermain gitar.
Menjelang
maghrib, seluruh santri harus sudah bersiap-siap mengikuti shalat maghrib
berjamaah. Seluruh petugas bagian keamanan yang terdiri kakak-kakak kelas, akan
berpatroli mengelilingi asrama untuk merazia santri yang terlambat. Setelah
shalat maghrib, beberapa menit melakukan tadarrus masing-masing, lalu
dilanjutkan dengan makan malam.
Masuk
waktu isya seluruh santri wajib shalat isya berjamaah di asrama/ kamar
masing-masing. Yang menjadi imam sekaligus memimpin doa setelah shalat, santri
yang mendapat giliran. Jadi, setiap santri akan mendapat giliran menjadi imam
sekaligus memimpin do’a tanpa kecuali.
Setelah
selesai shalat isya, dilanjutkan dengan pemberian mufradat atau
kata-kata baru, baik bahasa Arab maupun bahasa Inggris oleh kakak pendamping
kamar. Selain itu, santri dilatih percakapan singkat kedua bahasa itu.
Seusai
latihan bahasa kurang lebih 30 menit, dilanjutkan dengan belajar
masing-masing untuk pelajaran besoknya.
Kegiatan ini diawasi langsung oleh kakak pendamping kamar.
Waktu
belajar sampai bunyi lonceng istirahat pukul 9 malam. Bunyi lonceng itu akan
terdengar 9 kali. Dari Pukul 9 sampai pukul 10 malam acara santai kembali.
Santri boleh jajan ke kantin, duduk-duduk depan asrama, bermain gitar dan
aktifitas bebas lainnya.
Ketika
terdengar suara lonceng 10 kali, tepat pukul 10 malam, seluruh santri wajib
menghentikan seluruh kegiatan dan wajib tidur. Semua lampu akan dimatikan dari
pusat kendali listrik.
Saat
itu, tenaga listrik berasal dari mesin-mesin genset yang dimiliki Pondok. Ia
beroperasi mulai pukul 4 pagi sampai pukul 10 malam. Bila santri ada keperluan
tengah malam, misalnya mau ke kamar mandi, ia harus membawa lampu tempel
berbahan bakar minyak tanah.
Karena
saat itu Pondok Pabelan memiliki kurikulum sendiri dan tidak terintegritas
dengan kurikulum pemerintah, maka jadwal pelajaran dilakukan secara terpadu, antara
pelajaran umum dan pelajaran kepesantrenan disatukan.
Selain
kegiatan belajar di ruang kelas, dibawah bimbingan para ustadz dan di asrama
oleh kakak-kakak pendamping, Pondok juga mengadakan berbagai ekstra kurikuler
dan jadwal rutin untuk pengembangan skill santri.
Latihan
pidato bahasa Inggris diadakan setiap Minggu malam, sedangkan latihan pidato
bahasa Arab setiap Kamis malam. Para santri di kelompokkan ke dalam beberapa
ruang, sehingga di akhir semester dapat dilombakan antar ruang tersebut.
Selain
itu, ada ekskul beladiri karate, teater, grup kasidah modern dan grup band.
Bahkan santri yang memiliki skill khusus, diberi kebebasan untuk
memberikan ilmunya kepada santri-santri lainnya.
Jadi,
di Pondok ini, selain mendapat ilmu dari Pesantren, juga bisa mendapat ilmu
dari sesama teman santri. Saya sendiri ketika di Pondok ini, mendapat oleh-oleh
pandai bermain gitar dari teman saya bernama Dadang Kusnandar, santri asal
Kuningan Jawa barat.
Dalam
rangka meningkatkan penguasaan bahasa Arab dan Inggris, Pondok mewajibkan
santri-santrinya sehari-hari berbicara kedua bahasa itu. Jika kedapatan
melanggar, maka akan dikenakan sanksi mulai dari menyapu halaman masjid sampai
membersihkan WC.
Sebagai pemutus perkaranya, dibuat semacam pengadilan
bahasa yang disebut Mahkamah Lughah. Mahkamah ini, menunjuk beberapa orang
mata-mata yang akan mengawasi santri berbicara. Setiap pelanggaran akan
tercatat waktu, tempat dan isi pembicaraannya.
Selain
itu, setiap Jum’at, santri dizinkan pergi ke Candi Borobudur untuk
mempraktikkan bahasa Inggris. Santri dibekali surat keterangan praktik bahasa
Inggris, sehingga dibebaskan dari tiket masuk alias gratis.
Setiap
hari, selalu banyak turis asing dari berbagai negara yang berkunjung ke Candi
Borobudur. Karena sebagian besar turis-turis ini memang sengaja datang untuk
melancong atau jalan-jalan, biasanya mereka tidak keberatan, jika diajak
berbicara dalam waktu lama.
Hukuman
fisik masih berlaku saat itu. Mulai dari menyapu halaman, membersihkanWC,
rambut digunduli, ‘plak, plik, pluk’ hadiah tamparan pada pipi sampai
dikeluarkan dari Pondok.
Jenis
hukuman atau iqab tergantung pada tingkat pelanggarannya. Pelanggaran berat seperti
mencuri, pergi ke luar Pondok tanpa izin, berkelahi dan ketahuan pacaran. Akan
disidangkan pada malam hari dan diberi sanksi, mulai dari digunduli, ditampar
pipi sampai dikembalikan ke orang tua.
Pada
saat itu, santri yang kena hukuman tidak ada yang berani melapor kepada orang tua.
Malah jika mendesak, pihak Pondok yang mengkonfirmasi. Dan, alhamdulillah,
santri-santri yang pernah mendapat hukuman itu, kebanyakan menjadi orang-orang
‘suskses’ di episode kehidupan mereka berikutnya.
Untuk
menyalurkan bakat santri, setiap selesai ujian semester, menjelang libur,
pengurus mengadakan berbagai acara, mulai lomba pidato (Arab, Inggris,
Indonesia), lomba menyanyi tunggal, lomba melawak tunggal, pertandingan olah
raga lomba PBB sampai pementasan kreasi seni dan teater. Selain itu diadakan
juga lomba kebersihan antar kamar.
Jadi, kalau saat ini saya nonton acara Stand up
Comedy di salah satu stasiun TV nasional, sebenarnya tidak aneh lagi, karena
dari dulu saya sudah mengenal acara ini di Pondok Pabelan. Hanya mungkin, dulu
istilahnya belum Stand up Comedy, tapi masih lawak tunggal.
Waktu
pendidikan di Pondok Pabelan sebenarnya, wajibnya 7 tahun. 6 tahun belajar dan
1tahun pengabdian. Namun, karena beberapa alasan, saya menjadi santri Pabelan
hanya 3,5 tahun saja.
Memasuki
pertengahan tahun keempat, saya keluar dan melanjutkan mondok di Pesantren Arafah,
tidak jauh dari tempat tinggal orang tua, sambil melanjutkan studi jenjang
Madrasah Aliyah.
Walaupun
hanya 3,5 tahun saja saya mondok di Pabelan, namun banyak ilmu dan pelajaran
yang di dapat dari Pondok ini. Saya mendapat ilmu-ilmu dasar bahasa Arab dan
Inggris, juga ilmu-ilmu dasar kepesantrenan yang lainya seperti, ilmu Nahwu,
Sharaf, tajwid, Balaghah (keindahan bahasa), mantiq (logika), mahfudhat (kata-kata mutara Arab), Muthala’ah
(kisah-kisah dalam bahasa Arab), dan ilmu hadits yang manfaatnya terasa sampai saat ini.
Yang
juga tidak kalah penting, di Pondok ini juga saya mendapat pelajaran hidup yang
tidak diajarkan di buku-buku pelajaran.
Pertama:
Terbiasa hidup disiplin, karena setiap aktifitas dari mulai bangun tidur sampai
mau tidur lagi, semuanya terjadwal.
Kedua:
Terbiasa hidup mandiri dan sederhana. Mandiri, karena saya mengurusi sendiri
semua keperluan sehari-hari. Mulai dari mencuci pakaian, menyetrika, merapikan
pakaian, mencuci sepatu dan lain-lain.
Sederhana,
karena saya dibiasakan makan dengan lauk apa adanya. Sebelum pergi ke pondok,
saya tidak suka tempe, setelah di Pondok lama-kelamaan jadi suka, karena hampir
setiap hari makanan itu disajikan.
Ketiga:
Memiliki sikap berani dan percaya diri. Secara terjadwal seluruh santri dilatih
untuk tampil dihadapan orang banyak, terutama saat latihan berpidato. Manfaat
latihan ini, saya jadi terbiasa berbicara di hadapan orang banyak.
Keempat:
Terbiasa mengatur keuangan. Setiap bulan orang tuan membekali saya uang 15 ribu
rupiah. Jadi, jatah satu hari 5 ratus rupiah. Kalau dibandingkan dengan nilai
rupiah sekarang( 2021), 5 ratus rupiah sebanding 10 ribu rupaih, sebulan
berarti 300 ribu rupiah.
Jadi,
saya terlatih mengatur uang sejumlah itu agar cukup dalam sebulan. Uang itu
harus cukup untuk jajan sehari-hari dan keperluan lain yang tak terduga,
seperti untuk keperluan alat belajar dan mandi jika sewaktu-waktu habis.
Kelima:
Mengingat teman-teman berasal dari berbagai suku, bahkan ada yang dari luar
negeri, maka saya terbiasa dengan segala macam perbedaan. Hal ini sangat
membantu saya dalam bersosialisasi di perantauan.
Sampai
saat ini, Juli 2021, sudah 15 tahun saya tinggal di perantauan. Masyarakat di
tempat saya merantau, terdiri dari bermacam suku dan agama. Ketika saya berada
di tengah-tengah mereka, saya tidak kaget dan kaku lagi. Karena, sejak dulu
saya sudah terbiasa berdampingan dengan teman-teman yang berbeda suku.
Itulah
pelajaran berharga yang tak ternilai dengan apapun, yang saya dapat dari Pondok,
walau hanya 3,5 tahun di sana.
Jadi,
saat itu, tujuan setiap orang tua memasukkan anak-anaknya ke Pondok Pesantren,
berharap agar menguasai ilmu agama. Selain itu,
juga berharap anak-anaknya dapat hidup mandiri, sederhana, disiplin dan
punya mental yang kuat.
Saat
ini, saya melihat banyak Pondok Pesantren mewah (tidak semua) yang menawarkan
fasilitas lengkap, layaknya sebuah apartemen atau hotel. Dengan uang masuk
berbelas sampai berpuluh juta rupiah dan biaya bulanan jutaan rupiah. Mereka
menyajikan makanan enak, jasa loundry pakaian santri dan fasilitas lainnya
untuk memanjakan santri.
Melihat
kondisi di atas, sebagai mantan santri ‘jadul’, saya jadi berpikir dan
bertanya-tanya, apakah tujuan dan misi utama Pesantren sudah berubah saat
ini? Dengan segala fasilitas dan layanan
yang ditawarkan, saya melihat justru para santrinya menjadi manja dan kurang
memiliki mental yang kuat.
Hal
ini saya alami, karena saya menyekolahkan anak saya di Pesantren semacam di
atas. Demikan juga yang dialami oleh beberapa teman saya yang menyekolakan
anaknya di Pesantren-Pesantren yang cukup ‘mewah’.
Anak-anak
lebih cenderung dan dominan terisi kepalanya atau aspek kognitifnya saja.
Mereka hebat di hafalan Al Qur’an, berbahasa Arab/Inggris dan menguasai
berbagai mata pelajaran, tetapi lemah di sikap mental. Sikap-sikap seperti,
disiplin, tanggung jawab, berani tampil, sederhana, peduli, sopan santun dan
ramah, rasanya kurang muncul.
Pondok
Pesantren Pabelan sudah puluhan tahun berdiri. Tentu saja sudah melahirkan
ribuan alumni. Mereka sudah bertebaran di mana-mana dan mendulang kesuksesan.
Banyak
yang sudah menjadi dosen senior di beberapa Universitas dengan gelar Doctor.
Seperti, DR. Dindin Solahudin di UIN Sunan Gunung Djati Bandung dan DR. Uki
Sukiman di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Bahkan, ada beberapa yang sudah
menjadi guru besar dan rektor seperi, DR. Komaruddin Hidayat Di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Selain itu, banyak juga yang sudah menjadi pimpinan
Pondok Pesantren.
Di
bidang entertainment dan broadcasting, beberapa alumni juga turut meramaikanya
seperti, Mas Agus Haidir (almarhum), Mas
Khairul Umam dan Mas Imam santoso (kabar terakhir Mas Imam menjadi penggiat
obat herbal yang ditayangkan di beberapa stasiun TV). Tak ketinggalan juga Kang
Shaleh Mara dengan sejumlah lukisan dan gambarnya.
Sejumlah
nama alumni di atas, hanya sebagian kecilnya saja. Tentu masih banyak alumni
yang sudah meraih kesuksesan dalam bidangnya masing-masing.
3,5
tahun bisa dikatakan kurun waktu yang tidak terlalu lama, tetapi meninggalkan
sejuta jejak kenangan. Juga, menorehkan segudang pelajaran berharga dalam hidup
saya, sebagai bekal menapaki episode kehidupan selanjutnya. Pertengahan 1987,
saya meninggalkan Pondok Pabelan.
Melalui
Memoar ini, izinkan saya menghaturkan sebuah hadiah, berupa rangkaian kalimat
do’a, khusus untuk sang guru kehidupan, K.H Hamam Ja’far, semoga apa yang telah
beliau tanam, menjadi wasilah ditempatkannya beliau di tempat mulia di sisi-Nya
dan diangkat derajat setinggi-tingginya.
Untuk
para ustadz dan kakak-kakak pendamping yang telah membina saya, walaupun sudah
puluhan tahun kita tak pernah berjumpa lagi, semoga jasa-jasa kalian, tetap
menjadi amal jariyah dan terus mengalir sampai ke alam barzah nanti. Aamiin.
(Memoar yaitu sepenggalan kisah perjalanan kehidupan seseorang yang berdasarkan pada kenyataan. Demikian juga tulisan di atas merupakan penggalan kisah perjalanan hidup penulis,. Harapan penulis tulisan ini dapat memberi inspirasi kepada semua Sahabat " Kitabisa".
Nantikan Memoar : Tangisan itu Berujung Senyuman part 3 dengan judul:
"Tinta Emas Generasi Awal Ma'had Arafah"
Contact Person Blogger/Penulis: Ahmad Khoibar
HP/WA : 082283790651
Subhanallah, alhamdulillah.. Mendadak memori membuka lembaran kisah yg sama dgn antum, di masa yg sama. Menemukan lagi beberapa kepingan kisah yg terlupakan. Merangkaikan kembali dgn kisah kang Khaibar ini. Terima kasih kang, kisah ini menjadi pembuka memoriku dan menjadi bagian mata rantai kisah masa lalu yg luar biasa...
BalasHapusSukses selalu. Barakallahu lak
Alhamdulillah..Kang Izal, meski sudah terlewat berpuluh2 tahun lalu...jejak di pondok unforgetable..mudah2an megundang memori kembali sahabat-sahabat lainnnya, juga buat mengenang sahabat2 kita yg telah mendahului kita..di antaranya..Dindin ( nasrudin Cibeureum), M. Nur Iman ( Iman Cililin ) Dadang Darul Arqam ( Dadang Cimahi ) dll.
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusoh pondokku...
BalasHapusibuku..
darah dagingku..
1986-1993 unforgetable memories
Trims komennya mba..saya masuk 84..keluar 87.
BalasHapusMasya Allah sungguh indah untuk dikenang...masa masa menuntut ilmu memang sangat menyenangkan.....
BalasHapus