Rabu, 01 Desember 2021

Memoar: Tangisan itu Berujung Senyuman Part 2 oleh: Ahmad Khoibar

 


Wongso.online

Bab II
Pabelan, Oh Pondokku.

            Sebuah episode baru dalam kehidupan saya dimulai. Selepas SD saya harus rela berpisah dengan kedua orang tua dan keempat adik saya. Berbekal sejuta harapan dan untaian doa orang tua serta kerabat, saya berangkat ke Pondok Pesantren untuk menuntut ilmu.

            Saya tertarik masuk Pondok, setelah melihat saudara-saudara sepupu saya dari keluarga ayah yang telah lebih dulu masuk Pondok. Baru setahun di Pondok, mereka sudah pandai berpidato, bahkan menggunakan bahasa Arab dan Inggris.

            Alhamdulillah keinginan saya tersebut didukung penuh oleh kedua orang tua waktu itu. Namun, kebanyakan saudara dari ibu saya kurang merespon, karena pemahaman mereka terhadap agama masih sangat minim.

            Selain itu, di tanah kelahiran saya, yang merupakan kampung asli ibu saya, pada umumnya,  masyarakatnya masih awam tentang pemahaman agama dan tentang Pesantren saat itu.

            Dalam pemikiran mereka, kalau masuk Pesantren, tidak bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Kalau sudah tamat paling-paling hanya bisa mengajar ngaji dan jadi imam di masjid.  Atau, dalam benak mereka, anak yang masuk Pesantren itu pasti anak nakal yang susah diatur oleh orang tuanya. Jadi, seingat saya, sayalah orang pertama yang masuk Pesantren di kampung saya.

            Memang secara historis, menurut cerita orang-orang tua di sana, kampung halaman saya, tepatnya di kampung Barukai Desa Jambudipa, Kecamatan Cisarua yang berada di bagian utara wilayah Kabupaten Bandung (sekarang Kabupaten Bandung Barat),  termasuk daerah merah dulunya.

            Selain itu, di kampung halaman saya cukup lama berkembang ajaran kepercayaan. Sehingga berpengaruh pada pemahaman generasi berikutnya terhadap ajaran agama Islam

            Seiring berjalannya waktu, nuansa keagamaan mulai berkembang. Masjid-masjid dan sekolah-sekolah keagamaan seperti Madrasah Tsawaiyah, Madrasah Aliyah, MDTA dan TPA secara bertahap berdiri. Itu pun diramaikan dan diaktifkan oleh para pendatang. Para pendatang ini rata-rata berprofesi sebagai pedagang dan ustadz yang berasal dari daerah-daerah yang dikenal religius, seperti dari Tasikmalaya, Garut dan Cililin.

            Berdasarkan kondisi di atas, justru kedua orang tua saya lebih bersemangat untuk memasukkan saya ke Pondok Pesantren. Pertimbangan mereka, selain agar saya menguasai ilmu agama, jika sekolah di kampung, mereka khawatir pergaulan dan lingkungannya kurang kondusif.

            1984 saya lulus SD. Ayah , ibu,  paman dan adik bungsu saya yang masih bayi turut mengantar saya ke Pondok. Perjalanan memakan waktu 10 samai 12 jam menuju Pondok Pesantren yang dituju.

            Pondok Pesantren itu bernama Pabelan sesuai dengan nama kampung Pondok itu berada. Ia berlokasi di kampung Pabelan Desa Mungkid Kecamatan Muntilan Kabupaten Magelang Jawa Tengah. Pondok itu tidak jauh dari Candi Mendut dan dari salah satu tujuh keajaiban dunia yaitu Candi Borobudur.

            Karena berangkat dari rumah pagi, sampai di lokasi sekitar jam 8 malam. Ketika pagi hari, baru mulai tampak situasi yang sebenarnya.

             Pohon akasia, bougenvile, melinjo, rambutan, belimbing dan pohon kelapa yang batangnya menjulang tinggi, memenuhi kawasan Pesantren, sehingga membuat suasana terasa teduh. Sebuah kantin dan dapur induk berdiri di bagian tengah, sekaligus membatasi asrama putra dan putri.

            Saat itu tidak ada dinding pembatas antara asrama putra dan putri, juga tidak ada pembatas antara Pesantren dengan rumah penduduk. Sebagian rumah penduduk malah bertebaran di dalam lokasi Pondok, sebagian di sebelah jalan sebagai batas Pondok.

            Sebuah masjid tua bergaya bangunan masjid Demak berdiri tepat di tengah-tengah Pondok. Tiang-tiang penyangganya berukuran besar terbuat dari kayu jati. Sebuah beduk dan kentongan berukuran besar terletak di sudut masjid. Beduk dan kentongan itu merupakan salah satu alat hiburan sekaligus rebutan para santri putra.

             Setiap kali memasuki waktu adzan maghrib. Para santri berebut ingin memukul beduk pertanda adzan akan dimulai. Lalu, menjelang iqamah, kembali para santri berebut untuk memukul kentongan.

            Tiga hari pertama saya di Pondok, diawali dengan kegiatan yang namanya Ta.aruf atau perkenalan. Kegiatan diikitu oleh seluruh santri baru, gabungan santri putra dan santri putri.

            Santri putra berada di dalam beranda masjid. Setengah beranda lagi diisi santri purti. Di tengahnya dibatasi oleh sebuah kain yang cukup lebar.

           

            Fahimna.or.id                                                                          Wongso.online

            Santri putra berebut duduk di barisan paling pinggir dekat beranda, agar bisa berdekatan dengan santri putri. Ada beberapa yang memanfaatkan untuk saling menyelipkan kertas hanya sekedar untuk kenalan.

            Pemandu acara, dipimpin oleh kakak-kakak pengurus santri putra, yang biasanya sudah duduk di kelas 6. Acara pokoknya, pengarahan berturut-turut selama tiga hari oleh pimpinan Pondok, Kiayi Haji Hamam Ja’far.

            Di sela-sela acara inti, kakak-kakak pengurus santri mensosialisaikan seluruh kegiatan dan peraturan-peraturan Pondok. Selain itu, santri baru diperkenalkan dengan yel-yel dan lagu kebangsaan Pondok berjudul: ‘Oh pondokku.’

            Meski tiga hari berturut diisi oleh orang yang sama, tapi saya tidak merasa bosan. Alasannya, karena Kiayi Hamam Ja’far merupakan sosok penuh wibawa. Suaranya menggelegar seperti proklamator Bung Karno.

            Ketika beliau meyampaikan nasehat, selalu diselingi dengan candaan dan gurauan. Fasih berbicara bahasa Arab dan Inggris. Pokoknya, para santri selalu dibuat terkesima setiap kali beliau berbicara.

            Asrama santri berupa bangunan-bangunan panjang. Sebagian masih terbuat dari papan, bilik dan bambu, dan sebagian lagi sudah dibangun permanen. Demikianjuga dengan ruang-ruang kelas.                                                      

    


                                                                        Fahimna.or.id

                                                                K.H. Hama Ja'far ( Alm )


                                                                     archnet.org

Dalam satu kamar terdiri dari 15 sampai 25 orang santri, tergantung besar kecil kamarnya. Setiap kamar didampingi oleh 2 orang kakak kelas yang sudah duduk di kelas 5.

            Pondok tidak menyediakan ranjang atau tempat tidur. Untuk alas, santri membeli kasur masing-masing. Ketika jam tidur, kasur-kasur itu langsung digelar di lantai. Pagi-pagi, petugas piket kamar menyusun kasur-kasur itu secara bertumpuk.

            Untuk lemari pakaian, saya dan santri lainnya membeli sebuah tempat yang yang disebut ‘kotak’, semacam lemari kecil yang terbuat dari bahan triplek tebal. Ukurannya, ada yang sedang, ada juga yang tinggi. Kotak-kotak ini, bisa dibeli di koperasi Pesantren atau di rumah-rumah penduduk yang memproduksi barang itu.

            Untuk makan, Pondok menyediakan tiga kali dalam sehari. Mengingat banyaknya jumlah santri, Pondok menyediakan beberapa dapur santri. Tapi, yang paling besar berada di dapur induk sekaligus berdekatan dengan kantin.

            Di dapur umum, berderet meja-meja berikut bangkunya yang terbuat dari beton. Ia ditembok secara permanen. Dengan bahan seperti itu, tentu saja meja-meja makan itu bisa bertahan lama.

            Di dinding kantin terpangpang  dua baris tulisan besar: ‘Makan untuk Hidup, Bukan Hidup untuk Makan’ dan ‘ Lauk yang Paling Enak Adalah Lapar.’ Sebuah motto yang singkat, namun memilki makna yang sangat dalam.

            Dapur induk itu sendiri menghadap ke salah satu asrama santri putri. Jadi, buat santri yang sudah mulai kasmaran, sambil makan bisa sekaligus ‘nampang’ dan ‘ngeceng’ santri putri. Sehingga, ada istilah yang cukup populer ketika itu: ‘Kala Cinta Berlabuh di Dapur Induk.’ Sebuah ‘plesetan’ dari judul lagu terkenal zaman itu: ‘Kala Cinta Berlabuh di Dermaga.’

            Ketika lonceng makan dibunyikan, ribuan santri berbaris dalam antrian untuk mengambil nasi sendiri-sendiri. Sementara untuk lauk-pauknya, beberapa pengurus santri putri ditugaskan untuk membagikan.

            waktu itu biaya makan per bulan hanya 20 ribu rupiah. Bila diukur dengan nilai kurs rupiah waktu itu, bisa dikatakan masih termasuk murah, dibanding iuran makan di Pondok-Pondok Pesantren lainya.

            Karena iuran makan cukup murah, tentu saja lauk yang disediakan Pondok pun cukup sederhana. Yang paling sering disajikan, gulai tahu, tempe dan ‘tewel’, semacam gulai nangka. Kalaupun dapat ikan dan ayam, mungkin hanya sekali-sekali saja.

            Bagi santri yang punya kelebihan uang jajan, biasanya mereka membawa nasi ke warung-warung penduduk yang ada di sekitar dan di dalam Pondok. Mereka membeli lauk tambahan di warung-warung itu. Bahkan banyak santri yang ‘ngebon’ dulu alias ‘ngutang’ jika bekal sudah habis. Mereka membayar setelah kiriman wesel dari orang tua datang.

            Di minggu-minggu pertama, setiap makan saya membawa sebuah piring, cangkir dan sendok, lalu makan sendiri seperti teman-teman yang lain. Tapi, saya melihat banyak santri lama yang makannya tidak sendiri-diri lagi. Mereka makan berkelompok-kelompok. Ada yang berdua-berdua, bertiga bahkan sampai ada yang empat orang dalam satu kelompok. Mareka makan menggunakan sebuah nampan besar.

            Akhirnya saya pun mengikuti cara makan santri-santri lama tersebut. Saya dan tiga orang teman saya makan dalam satu nampan besar. Rupanya ada kenikmatan tersendiri makan dengan cara seperti itu. Mungkin, bagi sebagian orang yang melihat, terkesan agak jorok, karena semua lauk dan kuah dicampur jadi satu, lalu, saya makan bersama-sama menggunakan tangan.

            Untuk mandi, di setiap asrama di sediakan deretan kamar mandi santri. Tetapi, terkadang airnya macet dan sering aromanya kurang sedap, akibat pengaruh kotoran pipa yang yang sudah lama menempel. Belum lagi antrian cukup panjang. Atrnatifnya, banyak santri putra yang mandi sore di sungai. Waktu itu, belum ada larangan mandi di sungai.

            Di sebelah timur Pondok, terdapat aliran sungai cukup besar. Bila di musim kemarau, airnya jernih dan dangkal. Batu-batu berukuran besar dan lebar berjejer. Jarak dari Pondok tidak jauh, cukup waktu 10 menit untuk sampai di sana.

             Setiap Jum’at, hari libur Pondok. Seusai gotong royong membersihakan asrama, saya dan teman-teman biasanya pergi ke sungai. Selain untuk mandi, sekalian mencuci pakaian.

            Karena waktu cukup panjang, pakaian yang saya cuci, langsung dijemur di atas batu-batu besar itu. Jadi, ketika pulang ke Pondok, pakaian yang dicuci sudah kering.

            Di pinggiran sungai terdapat beberapa mata air yang cukup jernih airnya. Banyak santri putra yang biasa mandi di mata air itu. Kalau tidak mau mengantri, banyak juga yang mandi di sungainya langsung.

            Saya tidak tahu, mengapa waktu itu Pondok tidak melarang santri-santri putra mandi di sungai. Kalau dipikir-pikir, cukup beresiko juga apalagi di musim hujan.     Bila musim hujan tiba, aliran sungai yang biasanya jernih dan dangkal itu, bisa tiba-tiba berubah menjadi kotor dan deras, bisa membawa hanyut apa saja yang dilaluinya. Air deras itu semacam air bah yang tiba-tiba datang dari hulunya.

            Memang sih, selama tiga tahun lebih saya di Pondok, belum pernah ada  insiden santri hanyut, tapi seandainya itu kejadian, saya tidak tahu bagaimana bentuk tanggung jawab pihak Pondok kepada orang tua santri.

******

            Saat itu Pondok Pesantren Pabelan termasuk Pondok Cabang Gontor yang  cukup populer. Bahkan menurut salah seorang ustadznya, saat itu Pondok  Pabelan berada di urutan terbaik kedua, di antara puluhan cabang Gontor yang ada di seluruh tanah air.

            Ada ribuan santri yang belajar di Pondok Pabelan ini. Mereka berasal dari seluruh pelosok tanah air, bahkan ada santri dari luar negeri, dari Malaysia dan Thailand.

            Jadi, sebenarnya, sejak dulu saya sudah belajar toleransi bahkan menjalaninya dalam kehidupan nyata. Meskipun satu agama, tapi sukunya berbeda-beda. Sehari-hari saya bergaul dengan teman-teman santri yang berbeda suku. Ada santri dari Jakarta, Sumatra, Sulawesi, kalimantan, NTB, NTT, Madura, Bali dan tentu saja Jawa.

            Di waktu-waktu senggang, saya sering bertukar informasi dan berbagi cerita tentang daerah masing-masing. Di pondok ini, saya layaknya berada di negara Indonesia mini. Berbeda-beda, tapi satu tujuan yaitu menuntut ilmu, dan menempa diri

            Karena Pondok Pabelan merupakan cabang Pondok Modern Gontor, kurikulum yang digunakan pun 100% menggunakan kurikulum Gontor. Saat itu, penerimaan santri baru tidak dibatasi usia. Jadi, ketika belajar di kelas, dalam satu kelas yang seangkatan, bisa bercampur usianya.

            Yang tamatan SD, SMP dan SMA bisa berada dalam satu kelas, kecuali pengaturan asrama. Untuk asrama dipisahkan antara santri tingkatan SMP dengan santri tingkatan SMA.

            Percampuran usia dalam satu kelas ini, sebenarnya ada plus minusnya juga. Positifnya, santri yang sudah lebih tua umurnya bisa membimbing santri yang lebih muda dan memberikan pengalaman baik.

            Sedangkan negatifnya, jika santri yang lebih tua ini punya perangai yang kurang baik atau negatif, maka ia dapat mempengaruhi santri yang lebih muda, terlebih santri yang baru lulus SD. Mereka masih labil dan sangat mudah dipengaruhi. Saya tidak tahu apa dasar dan alasan kebijakan ini. 

            Ketika itu, Pondok Pabelan selain dikenal dengan keunggulan santrinya dalam berbahasa, terutama bahasa Arab dan Inggris, juga dikenal dengan kedisiplinannya. Mulai jam 04.30 pagi, kakak pengurus sudah membangunkan para santri melalui mikropon, untuk shalat berjamaah subuh.

            Pakaian wajib ke masjid, harus mengenakan sarung, baju kemeja, memakai kopiah hitam dan mengenakan sabuk. Jika kedapatan tidak lengkap, maka akan dikenakan iqab atau hukuman.

            Setelah shalat subuh, para santri tadarrus masing-masing. Setelah itu bersiap-siap mandi. Lalu, dilanjutkan dengan sarapan pagi. Kemudian belajar di ruang kelas sampai pukul 12 siang. Pulang sekolah, shalat dzuhur berjamaah, lalu dilanjutkan makan siang.

            Kegiatan Pondok dimulai lagi mulai pukul 2 siang di kelas masing-masing sampai menjelang ashar. Setelah shalat ashar berjamaah, kegiatan santai sampai menjelang waktu maghrib.

            Biasanya para santri berolah raga, mulai dari main tenis meja, bulu tangkis dan main bola voli. Bagi santri yang kurang suka berolah raga, biasanya duduk-duduk di asrama, sebagian lagi ada yang bermain gitar.

            Menjelang maghrib, seluruh santri harus sudah bersiap-siap mengikuti shalat maghrib berjamaah. Seluruh petugas bagian keamanan yang terdiri kakak-kakak kelas, akan berpatroli mengelilingi asrama untuk merazia santri yang terlambat. Setelah shalat maghrib, beberapa menit melakukan tadarrus masing-masing, lalu dilanjutkan dengan makan malam.

            Masuk waktu isya seluruh santri wajib shalat isya berjamaah di asrama/ kamar masing-masing. Yang menjadi imam sekaligus memimpin doa setelah shalat, santri yang mendapat giliran. Jadi, setiap santri akan mendapat giliran menjadi imam sekaligus memimpin do’a tanpa kecuali.

            Setelah selesai shalat isya, dilanjutkan dengan pemberian mufradat atau kata-kata baru, baik bahasa Arab maupun bahasa Inggris oleh kakak pendamping kamar. Selain itu, santri dilatih percakapan singkat kedua bahasa itu.

            Seusai latihan bahasa kurang lebih 30 menit, dilanjutkan dengan belajar masing-masing  untuk pelajaran besoknya. Kegiatan ini diawasi langsung oleh kakak pendamping kamar.

            Waktu belajar sampai bunyi lonceng istirahat pukul 9 malam. Bunyi lonceng itu akan terdengar 9 kali. Dari Pukul 9 sampai pukul 10 malam acara santai kembali. Santri boleh jajan ke kantin, duduk-duduk depan asrama, bermain gitar dan aktifitas bebas lainnya.

            Ketika terdengar suara lonceng 10 kali, tepat pukul 10 malam, seluruh santri wajib menghentikan seluruh kegiatan dan wajib tidur. Semua lampu akan dimatikan dari pusat kendali listrik.

            Saat itu, tenaga listrik berasal dari mesin-mesin genset yang dimiliki Pondok. Ia beroperasi mulai pukul 4 pagi sampai pukul 10 malam. Bila santri ada keperluan tengah malam, misalnya mau ke kamar mandi, ia harus membawa lampu tempel berbahan bakar minyak tanah.

            Karena saat itu Pondok Pabelan memiliki kurikulum sendiri dan tidak terintegritas dengan kurikulum pemerintah, maka jadwal pelajaran dilakukan secara terpadu, antara pelajaran umum dan pelajaran kepesantrenan disatukan.

            Selain kegiatan belajar di ruang kelas, dibawah bimbingan para ustadz dan di asrama oleh kakak-kakak pendamping, Pondok juga mengadakan berbagai ekstra kurikuler dan jadwal rutin untuk pengembangan skill santri.

            Latihan pidato bahasa Inggris diadakan setiap Minggu malam, sedangkan latihan pidato bahasa Arab setiap Kamis malam. Para santri di kelompokkan ke dalam beberapa ruang, sehingga di akhir semester dapat dilombakan antar ruang tersebut.

            Selain itu, ada ekskul beladiri karate, teater, grup kasidah modern dan grup band. Bahkan santri yang memiliki skill khusus, diberi kebebasan untuk memberikan ilmunya kepada santri-santri lainnya.

            Jadi, di Pondok ini, selain mendapat ilmu dari Pesantren, juga bisa mendapat ilmu dari sesama teman santri. Saya sendiri ketika di Pondok ini, mendapat oleh-oleh pandai bermain gitar dari teman saya bernama Dadang Kusnandar, santri asal Kuningan Jawa barat.

            Dalam rangka meningkatkan penguasaan bahasa Arab dan Inggris, Pondok mewajibkan santri-santrinya sehari-hari berbicara kedua bahasa itu. Jika kedapatan melanggar, maka akan dikenakan sanksi mulai dari menyapu halaman masjid sampai membersihkan WC.

             Sebagai pemutus perkaranya, dibuat semacam pengadilan bahasa yang disebut Mahkamah Lughah. Mahkamah ini, menunjuk beberapa orang mata-mata yang akan mengawasi santri berbicara. Setiap pelanggaran akan tercatat waktu, tempat dan isi pembicaraannya.

            Selain itu, setiap Jum’at, santri dizinkan pergi ke Candi Borobudur untuk mempraktikkan bahasa Inggris. Santri dibekali surat keterangan praktik bahasa Inggris, sehingga dibebaskan dari tiket masuk alias gratis.

            Setiap hari, selalu banyak turis asing dari berbagai negara yang berkunjung ke Candi Borobudur. Karena sebagian besar turis-turis ini memang sengaja datang untuk melancong atau jalan-jalan, biasanya mereka tidak keberatan, jika diajak berbicara dalam waktu lama.

            Hukuman fisik masih berlaku saat itu. Mulai dari menyapu halaman, membersihkanWC, rambut digunduli, ‘plak, plik, pluk’ hadiah tamparan pada pipi sampai dikeluarkan dari Pondok.

            Jenis hukuman atau iqab tergantung pada tingkat pelanggarannya. Pelanggaran berat seperti mencuri, pergi ke luar Pondok tanpa izin, berkelahi dan ketahuan pacaran. Akan disidangkan pada malam hari dan diberi sanksi, mulai dari digunduli, ditampar pipi sampai dikembalikan ke orang tua.

            Pada saat itu, santri yang kena hukuman tidak ada yang berani melapor kepada orang tua. Malah jika mendesak, pihak Pondok yang mengkonfirmasi. Dan, alhamdulillah, santri-santri yang pernah mendapat hukuman itu, kebanyakan menjadi orang-orang ‘suskses’ di episode kehidupan mereka berikutnya.

            Untuk menyalurkan bakat santri, setiap selesai ujian semester, menjelang libur, pengurus mengadakan berbagai acara, mulai lomba pidato (Arab, Inggris, Indonesia), lomba menyanyi tunggal, lomba melawak tunggal, pertandingan olah raga lomba PBB sampai pementasan kreasi seni dan teater. Selain itu diadakan juga lomba kebersihan antar kamar.

            Jadi,  kalau saat ini saya nonton acara Stand up Comedy di salah satu stasiun TV nasional, sebenarnya tidak aneh lagi, karena dari dulu saya sudah mengenal acara ini di Pondok Pabelan. Hanya mungkin, dulu istilahnya belum Stand up Comedy, tapi masih lawak tunggal.

            Waktu pendidikan di Pondok Pabelan sebenarnya, wajibnya 7 tahun. 6 tahun belajar dan 1tahun pengabdian. Namun, karena beberapa alasan, saya menjadi santri Pabelan hanya 3,5 tahun saja.

            Memasuki pertengahan tahun keempat, saya keluar dan melanjutkan mondok di Pesantren Arafah, tidak jauh dari tempat tinggal orang tua, sambil melanjutkan studi jenjang Madrasah Aliyah.

            Walaupun hanya 3,5 tahun saja saya mondok di Pabelan, namun banyak ilmu dan pelajaran yang di dapat dari Pondok ini. Saya mendapat ilmu-ilmu dasar bahasa Arab dan Inggris, juga ilmu-ilmu dasar kepesantrenan yang lainya seperti, ilmu Nahwu, Sharaf, tajwid, Balaghah (keindahan bahasa), mantiq (logika),  mahfudhat (kata-kata mutara Arab), Muthala’ah (kisah-kisah dalam bahasa Arab), dan ilmu hadits  yang manfaatnya terasa sampai saat ini.

            Yang juga tidak kalah penting, di Pondok ini juga saya mendapat pelajaran hidup yang tidak diajarkan di buku-buku pelajaran.

            Pertama: Terbiasa hidup disiplin, karena setiap aktifitas dari mulai bangun tidur sampai mau tidur lagi, semuanya terjadwal.

            Kedua: Terbiasa hidup mandiri dan sederhana. Mandiri, karena saya mengurusi sendiri semua keperluan sehari-hari. Mulai dari mencuci pakaian, menyetrika, merapikan pakaian, mencuci sepatu dan lain-lain.

            Sederhana, karena saya dibiasakan makan dengan lauk apa adanya. Sebelum pergi ke pondok, saya tidak suka tempe, setelah di Pondok lama-kelamaan jadi suka, karena hampir setiap hari makanan itu disajikan.

            Ketiga: Memiliki sikap berani dan percaya diri. Secara terjadwal seluruh santri dilatih untuk tampil dihadapan orang banyak, terutama saat latihan berpidato. Manfaat latihan ini, saya jadi terbiasa berbicara di hadapan orang banyak.

            Keempat: Terbiasa mengatur keuangan. Setiap bulan orang tuan membekali saya uang 15 ribu rupiah. Jadi, jatah satu hari 5 ratus rupiah. Kalau dibandingkan dengan nilai rupiah sekarang( 2021), 5 ratus rupiah sebanding 10 ribu rupaih, sebulan berarti 300 ribu rupiah.

            Jadi, saya terlatih mengatur uang sejumlah itu agar cukup dalam sebulan. Uang itu harus cukup untuk jajan sehari-hari dan keperluan lain yang tak terduga, seperti untuk keperluan alat belajar dan mandi jika sewaktu-waktu habis.

            Kelima: Mengingat teman-teman berasal dari berbagai suku, bahkan ada yang dari luar negeri, maka saya terbiasa dengan segala macam perbedaan. Hal ini sangat membantu saya dalam bersosialisasi di perantauan.

            Sampai saat ini, Juli 2021, sudah 15 tahun saya tinggal di perantauan. Masyarakat di tempat saya merantau, terdiri dari bermacam suku dan agama. Ketika saya berada di tengah-tengah mereka, saya tidak kaget dan kaku lagi. Karena, sejak dulu saya sudah terbiasa berdampingan dengan teman-teman yang berbeda suku.

            Itulah pelajaran berharga yang tak ternilai dengan apapun, yang saya dapat dari Pondok, walau hanya 3,5 tahun di sana.

            Jadi, saat itu, tujuan setiap orang tua memasukkan anak-anaknya ke Pondok Pesantren, berharap agar menguasai ilmu agama. Selain itu,  juga berharap anak-anaknya dapat hidup mandiri, sederhana, disiplin dan punya mental yang kuat.

            Saat ini, saya melihat banyak Pondok Pesantren mewah (tidak semua) yang menawarkan fasilitas lengkap, layaknya sebuah apartemen atau hotel. Dengan uang masuk berbelas sampai berpuluh juta rupiah dan biaya bulanan jutaan rupiah. Mereka menyajikan makanan enak, jasa loundry pakaian santri dan fasilitas lainnya untuk memanjakan santri.

            Melihat kondisi di atas, sebagai mantan santri ‘jadul’, saya jadi berpikir dan bertanya-tanya, apakah tujuan dan misi utama Pesantren sudah berubah saat ini?  Dengan segala fasilitas dan layanan yang ditawarkan, saya melihat justru para santrinya menjadi manja dan kurang memiliki mental yang kuat.

            Hal ini saya alami, karena saya menyekolahkan anak saya di Pesantren semacam di atas. Demikan juga yang dialami oleh beberapa teman saya yang menyekolakan anaknya di Pesantren-Pesantren yang cukup ‘mewah’.        

            Anak-anak lebih cenderung dan dominan terisi kepalanya atau aspek kognitifnya saja. Mereka hebat di hafalan Al Qur’an, berbahasa Arab/Inggris dan menguasai berbagai mata pelajaran, tetapi lemah di sikap mental. Sikap-sikap seperti, disiplin, tanggung jawab, berani tampil, sederhana, peduli, sopan santun dan ramah, rasanya kurang muncul.

            Pondok Pesantren Pabelan sudah puluhan tahun berdiri. Tentu saja sudah melahirkan ribuan alumni. Mereka sudah bertebaran di mana-mana dan mendulang kesuksesan.          

            Banyak yang sudah menjadi dosen senior di beberapa Universitas dengan gelar Doctor. Seperti, DR. Dindin Solahudin di UIN Sunan Gunung Djati Bandung dan DR. Uki Sukiman di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Bahkan, ada beberapa yang sudah menjadi guru besar dan rektor seperi, DR. Komaruddin Hidayat Di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Selain itu, banyak juga yang sudah menjadi pimpinan Pondok Pesantren.

            Di bidang entertainment dan broadcasting, beberapa alumni juga turut meramaikanya seperti,  Mas Agus Haidir (almarhum), Mas Khairul Umam dan Mas Imam santoso (kabar terakhir Mas Imam menjadi penggiat obat herbal yang ditayangkan di beberapa stasiun TV). Tak ketinggalan juga Kang Shaleh Mara dengan sejumlah lukisan dan gambarnya.

            Sejumlah nama alumni di atas, hanya sebagian kecilnya saja. Tentu masih banyak alumni yang sudah meraih kesuksesan dalam bidangnya masing-masing.

            3,5 tahun bisa dikatakan kurun waktu yang tidak terlalu lama, tetapi meninggalkan sejuta jejak kenangan. Juga, menorehkan segudang pelajaran berharga dalam hidup saya, sebagai bekal menapaki episode kehidupan selanjutnya. Pertengahan 1987, saya meninggalkan Pondok Pabelan.

            Melalui Memoar ini, izinkan saya menghaturkan sebuah hadiah, berupa rangkaian kalimat do’a, khusus untuk sang guru kehidupan, K.H Hamam Ja’far, semoga apa yang telah beliau tanam, menjadi wasilah ditempatkannya beliau di tempat mulia di sisi-Nya dan diangkat derajat setinggi-tingginya.

            Untuk para ustadz dan kakak-kakak pendamping yang telah membina saya, walaupun sudah puluhan tahun kita tak pernah berjumpa lagi, semoga jasa-jasa kalian, tetap menjadi amal jariyah dan terus mengalir sampai ke alam barzah nanti. Aamiin.

                                                                       

(Memoar yaitu sepenggalan kisah perjalanan kehidupan seseorang yang berdasarkan pada kenyataan. Demikian juga tulisan di atas merupakan penggalan kisah perjalanan hidup penulis,. Harapan penulis tulisan ini dapat memberi inspirasi kepada semua Sahabat " Kitabisa". 

Nantikan Memoar : Tangisan itu Berujung Senyuman part 3 dengan judul: 

"Tinta Emas Generasi Awal Ma'had Arafah"


Contact Person Blogger/Penulis: Ahmad Khoibar
HP/WA : 082283790651

6 komentar:

  1. Subhanallah, alhamdulillah.. Mendadak memori membuka lembaran kisah yg sama dgn antum, di masa yg sama. Menemukan lagi beberapa kepingan kisah yg terlupakan. Merangkaikan kembali dgn kisah kang Khaibar ini. Terima kasih kang, kisah ini menjadi pembuka memoriku dan menjadi bagian mata rantai kisah masa lalu yg luar biasa...

    Sukses selalu. Barakallahu lak

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah..Kang Izal, meski sudah terlewat berpuluh2 tahun lalu...jejak di pondok unforgetable..mudah2an megundang memori kembali sahabat-sahabat lainnnya, juga buat mengenang sahabat2 kita yg telah mendahului kita..di antaranya..Dindin ( nasrudin Cibeureum), M. Nur Iman ( Iman Cililin ) Dadang Darul Arqam ( Dadang Cimahi ) dll.

      Hapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. oh pondokku...
    ibuku..
    darah dagingku..
    1986-1993 unforgetable memories

    BalasHapus
  4. Masya Allah sungguh indah untuk dikenang...masa masa menuntut ilmu memang sangat menyenangkan.....

    BalasHapus

The Real Tolerance of SD YPPI

Free kinds of fhotos snd videos...

https://www.pexels.com/id-id/@ahmad-khoibar-115812776/