1 Dukumen pribadi. Awal-awal pembangunan Pondok
Pesantren Arafah.
Bab III
Tinta Emas Generasi Awal Ma’had Arafah.
“Sekarang,
tolong jelaskan satu per satu, apa alasan kalian keluar dari pondok Pabelan?”
Sebuah permintaan dari kang Iif pada saya dan teman-teman yang sama-sama mantan
santri Pondok Pabelan, Muntilan,
Magelang Jawa Tengah.
Malam
itu, baru saja saya sampai di kampung Rancapanggung Desa Mukapayung Kec.
Cililin, Kab.Bandung (sekarang Kabupaten Bandung Barat). Saya dan kelima teman
saya berkumpul di rumah orang tua teman saya, Muhammad Nur Iman ( Alluhu yarham).
Muhammad Nur Iman, kebetulan adik sepupu kang
Iif. Sementara, Pak Haji Abidin, ayah Nur Iman, yang juga paman kang Iif,
termasuk salah satu pendiri yayasan Arafah, tempat saya akan melanjutkan
mondok. Kang Iif sendiri, posisinya sebagai ketua yayasan.
Satu
per satu kami memberikan alasan, mengapa keluar dari pondok Pabelan. Semuanya
mendapat pertanyaan, seperti sedang diintrogasi.
Setelah
dianggap cukup, kang Iif meminta saya dan teman-teman untuk menerapkan semua ilmu
yang didapat di Pondok Pabelan, di Yayasan Arafah yang ia pimpin, karena yayasan
Arafah baru dirintis
Tahun-tahun
pertama saya mondok di Pabelan, memang luar biasa. Sistem berjalan seperti di
induknya, pondok Gontor Ponorogo Jawa Timur. Dari mulai bangun tidur sampai
menjelang tidur lagi, semua kegiatan terjadwal.
Setelah
berjalan tiga tahun mondok dan ketika masuk tahun keempat, saya merasakan
adanya perubahan di pondok ini. Sayangnya perubahan itu berupa penurunan di
berbagai bidang seperti, kedisiplinan sudah tidak ketat lagi, seperti di
awal-awal saya masuk, pelanggaran-pelanggaran
santri kurang disikapi dengan tegas atau lebih longgar dari sebelumnya.
Ternyata
bukan saya saja yang merasakan hal itu, rupanya kawan-kawan yang lain pun sama.
Akibat dari penurunan kualitas ini, banyak santri yang mengundurkan diri
sebelum waktunya, termasuk saya dan beberapa orang kawan. Tapi, saya dengar
kabar, lima tahun kemudia setelah itu, pondok Pabelan kembali stabil. Bahkan
sampai hari, alhamdulullah Pondok Pabelan mengalami kemajuan cukup pesat.
*****
Pondok
Pesantren Arafah yang lebih dikenal dengan Ma’had Arafah, terletak di desa
Mukapayung, kecamatan Cililin, kabupaten Bandung (Sekarang, Kabupaten Bandung
Barat). Pondok ini dibangun di atas tanah perbukitan yang bernama Pasir Jati.
Di bagian paling puncak bukit, bangunan pertama berdiri, yaitu masjid.
Peletakan baru pertamanya, dilakukan oleh K. H. E. Z Muttaqin. Beliau salah seorang ulama
terkenal
Ketika
pertama kali saya masuk Pondok ini, belum banyak bangunan yang berdiri. Selain
masjid, baru ada sekitar 4 ruangan kelas, kantor guru, ruang koperasi, 2 ruang asrama
kosong dan dua ruang kamar mandi yang belum jadi.
Semua
bangunan diatas, merupakan sumbangan dari kampus UNISBA. Waktu itu kampus
Universitas Islam bergengsi itu, sedang melakukan rehab besar-besaran. Lalu,
bekas bangunan yang masih berguna, disumbangkan ke Ma’had Arafah.
Di
dalam ruangan kelas, sudah ada beberapa meja dan kursi belajar dari kayu.
Sementara lantai ruangan kelas masih berupa tanah.
Suasana
pesantren masih sangat gersang. Pohon-pohon palm yang mirip pohon kurma, ditanam
di sekitar Pesantren. Namun, baru tumbuh beberapa centi meter saja. Semua masih
serba tanah merah. Jika musim kemarau, banyak debunya. Sementara bila musim
hujan, tanah merah itu cukup licin dan lengket menempel pada alas kaki.
Walaupun
demikian, dari halaman masjid, terhampar pemandangan yang sangat indah. Di
sebelah barat dan utara Pesantren, terhampar luas danau lintasan waduk
Saguling. Di atasnya berjejer pondokan-pondokan kayu para peternak ikan jala
terapung.
Jika
musim kemarau tiba, air danau itu surut, sehingga dasar danau yang berupa
puing-puing rumah penduduk, yang terkena proyek pembangunan PLTA Saguling,
terlihat kembali. Di sebelah timur dan selatan Pesantren, tampak berbaris
pegunungan hijau.
Saat
itu, 1987, satuan pendidikan formal di Ma’had Arafah, baru terdiri dari
Madrasah Tsanawiyah (SMP) dan Madrasah Aliyah (SMA). Madrasah Tsanawiyah
merupakan kelanjutan dari Madrasah Tsanawiyah Uswatun Hasanah, yang sudah lama
berdiri dan lokasinya sudah terendam oleh danau Saguling. Sementara Madrasah Aliyah
baru berdiri setengah tahun.
Sebelum
saya dan teman-teman dari Pondok Pabelan masuk Ma’had Arafah, program
kepesantrenan belum berjalan. Semenjak saya dan teman-teman lain masuk, program
kepesantrenan mulai diterapkan, sebagaimana permintaan kang Iif selaku ketua
yayasan.
Ruang
asrama yang tadinya kosong, mulai saya tempati bersama-sama teman-teman baru saya di Aliyah. Waktu itu
baru lima orang yang menempati asrama. Mereka semua siswa laki-laki yang
rumahnya jauh dari Pesantren. Sementara asrama putri dibuka tahun berikutnya.
Untuk
menjalankan amanah yang dipesankan kang Iif selaku ketua yayasan, sebisa
mungkin saya berikan pengalaman dan ilmu yang saya dapat dari Pondok Pebelan,
walaupun belum banyak.
Bersama
teman-teman, mantan santri Pabelan yang lain, saya susun jadwal kepesantrenan.
Setelah shalat subuh diadakan kajian ilmu al Qur.an dan hadits. Selelah shalat
ashar, diisi materi muthala’ah, tajwid dan latihan percakapan bahasa Arab dan
Inggris. Setelah shalat Isya, dua kali seminggu, diadakan muhadharah berupa
latihan pidato. Waktu itu, latihan pidatonya, masih berbahasa Indonesia.
Jika
ustadz yang bertugas mengisi materi terlambat atau tidak hadir, saya sering
berinisiatif menggantikan ustadz tersebut. Tentu saja sesuai kemampuan saya
sendiri.
Salah
satu oleh-oleh saya dari Pondok Pabelan, kemampuan saya bermain gitar, hasil
belajar dari seorang sahabat asal Kuningan Jawa Barat, bernama Dadang
Kusnandar.
Dengan
bekal kemampuan bermain gitar, di waktu-waktu tertentu, saya mengadakan pentas
seni budaya berupa pembacaan puisi, drama dan penampilan lagu-lagu religi yang
saya iringi dengan gitar.
Walaupun
perjalanannya tersendat-sedat, alhamdulillah program yang saya rancang berjalan
lancar, terlebih setelah kehadiran dua orang ustadz muda. Yang satu Ustadz
Saefuddin, alumni Pondok Pesantren Pabelan dan kedua, Ustadz Syafiq, alumni Pondok
Gontor Ponorogo. Meskipun, baru 6 orang santri yang baru menempati asrama,
namun seluruh santri yang masih pulang pergi dari rumah, diwajibkan mengikuti
semua jadwal kepesantrenan.
Kehadiran
ustadz Drs.Ahmad Hidayat, yang dikenalkan dengan Ma’had Arafah oleh K.H Josep
Saefuddaulah, menambah amunisi besar bagi kemajuan program-program Ma’had waktu
itu. Sementara, K.H Josep Saifuddaulah merupakan relasi kang Iif sudah sejak
lama. Beliau diminta untuk mengisi kajian kitab Al Maraghi sebulan sekali di Ma’had
Arafah, yang diikuti oleh keluarga besar Arafah dan sebagian masyarakat
sekitar.
Selain
itu, beliau diminta untuk menjadi salah seorang sesepuh dan pembina Ma’had
Arafah, di tengah kesibukan beliau sebagai salah seorang dosen di kampus UNISBA
juga memimpin pesantrennya sendiri di Cicalengka Kabupaten Bandung. Nama
pesantrennya, Husainiyah.
Ustadz
Ahmad hidayat, merupakan sosok yang penuh wibawa, pekerja keras disiplin dan
ilmunya cukup “mumpuni”.Beliau seorang alumni UNISBA binaan K.H Josep
Saifuddaulah. Pengisi materi ba’da subuh dan ba’da ashar, hampir sepenuhnya
diisi oleh beliau.
Mengingat
yayasan Arafah belum dapat memberikan honor yang layak, dua kali dalam
seminggu, beliau harus pulang pegi ke Bandung kota, yang jaraknya cukup jauh
dari Ma’had. Di sana beliau melanjutkan kegiatan sebelumnya, yaitu mengajar
privat bimbingan agama ke rumah-rumah dan sesekali mengisi acara pengajian.
Pulang
mengajar privat dari Bandung Kota, terkadang larut malam baru sampai. Namun,
meskipun begitu, beliau tidak pernah terlambat memimpin shalat subuh berjamaah
di masjid, sekaligus menyampaikan materi kepada para santri.
Karena
struktur tanah di depan asrama putri masih bergelombang dan miring, Di bulan
suci ramadhan, setelah pengajian ba’da subuh, beliau memimpin langsung para
santri bergotong royong. Saya, bersama santri-santri yang lain, meratakan tanah
merah yang keras dan licin, dengan sebuah alat yang mereka sebut “garpu”.
Setelah
tanah kering itu dicongkel dengan garpu, lalu kami ratakan dengan drum bekas
minyak tanah. Drum itu saya isi penuh dengan air. Kemudian saya dorong
ramai-ramai sampai menggelinding maju mundur, layaknya sebuah stum yang sedang
meratakan jalan.
Alhamdulillah
dengan cara itu, halaman asrama putri menjadi rata, walaupun harus memakan satu
korban, salah seorang santri, kakinya tertusuk garpu itu hingga menembus
sepatu.
Meskipun
sedang berpuasa, saya perhatikan ustadz Ahmad dan para santri melakukan gotong
royong dengan rasa senang dan terasa ringan. Tampak dari raut wajah-wajah
meraka, aura keikhlasan.
Lain ceritanya dengan sesepuh yang satu ini. Namanya pak Abdurrahman Shaleh. Kebetulan juga sahabat dari almarhum ayah saya.
Dokumen
pribadi. Santri
Ma’had Arafah.
Para santri biasa memanggilnya, pak Oman. Kini beliau telah dipanggil oleh yang maha kuasa. Saat itu posisinya di yayasan, sebagai kepala sekolah Madrasah Tsanawiyah.
Selain
ilmu agamanya cukup luas, beliau memiliki keterampilan membuat furniture
seperti, lemari, meja, kursi dan lain-lain. Dengan keahliannya tersebut, selain
mengajar, beliaulah yang membuatkan meja, kursi dan lemari untuk kepentingan Ma’had
Arafah.
Beliau
hanya meminta biaya untuk bahan-bahannya saja, tanpa mengambil keuntungan
sedikit pun. Bahkan, tidak jarang beliau harus mengeluarkan uangnya sendiri
bila ada kekurangan.
Hampir
setiap hari, beliau pulang ke rumahnya menjelang maghrib, kerena selepas
mengajar, beliau habiskan waktunya untuk kepentingan Pesantren. Terkadang
memperbaiki jendela atau pintu yang rusak, memperbaiki atap yang bocor dan
selalu ada saja yang beliau kerjakan.
Kang
Iif sendiri, sebelum terjun langsung di yayasan Arafah, ia seorang jurnalis dan
pengusaha yang cukup sukses di kota Bandung. Untuk sebuah visi dan misi yang
mulia, ia jual semua asetnya, lalu secara total ia abdikan dan wakafkan diri
dan hartanya untuk kemajuan Pesantren.
Di
Pesantren, ia hanya menempati sebuah rumah kecil sampai menghembuskan nafasnya
yang terakhir di sana. (Semoga Allah Swt menempatkan beliau di tempat yang
mulia. Amin)
Beliau
adalah seorang visioner yang memiliki pandangan jauh ke depan. Terkadang, bagi
sebagian orang, tidak mudah memahami gagasan-gagasan beliau, jika diukur dengan
keberadaan Pesantren Arafah saat itu, yang masih serba sulit, darurat dan
sederhana.
Memanfaatkan
masa lalunya yang banyak memiliki relasi dari berbagai kalangan, ditambah
kepiawaiannya dalam melobi dan bernegosiasi, tidak jarang beliau menghadirkan
orang-orang “penting” dan “berpengaruh” ke Pesantren. Tentu saja dari kunjungan
para tokoh dan melalui presentasi beliau, sedikit banyak, sumbangan pun
berdatangan, baik dalam bentuk uang, barang maupun kerja sama pelatihan SDM
untuk para ustadz dan santri.
Berbeda
dengan kang iif, bapak Abdul Kohar, yang lebih dikenal dengan panggilan Mang
Oan dan sedikit temperamen ini, memiliki cara tersendiri dalam mengabdikan
dirinya kepada Pesantren.
Setiap
pagi, beliau menyusun batu berukuran sedang sepanjang jalan mulai pintu gerbang
pesantren sampai ke depan ruang kelas. Subhanallah, meskipun tampak sederhana,
tetapi hasil keringat beliau, sangat membantu meringankan dan mempermudah akses
jalan, bagi siapa pun yang melewatinya. Terlebih jika di musim hujan, karena
tanah merah bukit Pasir Jati ini, selain licin juga sangat lengket.
Yang
tak kalah menarik, apa yang dilakukan Uwa saya, Wa Udin. Beliau termasuk salah
seorang jamaah masjid Arafah. Beliau merasa tidak punya ilmu yang bisa
diberikan dan tidak punya harta yang dapat disumbangkan. Tetapi, tidak
menghalanginya untuk turut ambil bagian proyek syurga ini.
Dengan
kemampuannya memasak, selama beberapa waktu, Wa Udin mewakafkan dirinya di
dapur Pesantren. Setiap hari ia memasak dan menyiapkan makan para ustadz.
Imbalan yang beliau terima, hanya dapat turut makan bersama para ustadz dan
sedikit membawa pulang untuk anak istrinya di rumah.
Dokumen pribadi. Majlis Guru/Dewan Asatidz Ma’had Arafah.
Mereka mengajar sesuai kesanggupan. Ada yang hanya satu hari dalam sepekan, dua hari atau tiga hari berturut-turut, disesuiakan dengan kegiatan masing-masing di luar.
Secara
materi, mereka tidak mendapatkan apa-apa. Mereka hanya mendapatkan makan dengan
lauk pauk ala kadarnya. Kalaupun, sesekali ada rezeki, itu pun tidak seberapa.
Belum ada tunjangan macam-macam dari pemerintah seperti sekarang.
Intinya,
semua pihak mulai dari pengurus yayasan, para pendiri, para ustadz, para santri
dan sebagian penduduk setempat, berlomba-lomba memberikan yang terbaik untuk Pesantren
ini. Mereka melangkah dalam satu visi dan misi yang sama, memajukan Pesantren,
menebar ilmu dan mencetak generasi Qur’an Sunnah yang berakhlak mulia.
Sebagian
besar pendiri dan perintis Pesantren, kini sudah kembali ke sisi-Nya, menghadap
sang Pencipta, termasuk beberapa orang alumni. Jasad mereka sudah tiada, tubuh
mereka sudah menjadi tulang belulang, Tetapi, wangi ketulusan hati mereka,
masih tercium aromanya hingga kini. Dengan masing-masing kemampuan yang
dimiliki, mereka telah menabur bekal, untuk dituai kelak di akhirat.
Pak
syarif Mahmud (Kang Iif), Pak Abdurrahman Shaleh (Pak Oman), Pak Haji Abidin,
Pak Abdul Kohar (Mang Oan), Pak Haji Adung (Wa Adung), pak Anwar Shaleh (Kang
Aan), Pak Rahmat, Pak Dayat, Ustadz Ahmad hidayat, Wa Udin, Pak Amin, Pak Abdul
Halim, Pak Siraj, Ustadz Basyirin, Pak Carma, Pak Sujana, Pak Teten, Kang
Nurdin, Kang Zaini, Kang Hafid, kang Yayan, kang Iim, ustadz Saifuddin, ustadz
Syafiq dan semua yang tidak tersebut namanya, baik yang masih ada maupun yang
sudah meninggal, yang pernah turut andil menambur amal kebajikan di Pesantren
ini, kalian adalah, guru-guru kehidupan saya, kalian adalah inspirasi saya.
Sebuah
pertunjukkan realita bertema ketulusan telah dipertontonkan, sebaris syair
tembang keikhlasan telah dilantunkan dan sebingkai lukisan kebersamaan telah dipamerkan.
Harapan saya, semoga hamba-hamba
Allah yang saat ini, masih diberi kesempatan mengabdi di Pesantren Arafah dan
para alumni yang sudah bertebaran jauh seperti saya, bisa tetap mewarisi cahaya
ketulusan dan mutiara keikhlasan seperti jejak-jejak para pendahulu.
Para
generasi awal itu, telah mengajarkan saya makna sebuah ketulusan dan keikhlasan
dalam tindakan nyata, bukan dalam kata-kata dan bukan dalam retorika semata.
Di
awal masuk, 1987, generasi awal siswa Madrasah Aliyah Arafah, berjumlah 22
orang, dan yang berhasil sampai tamat, 1990, hanya 15 orang. Sementara, 3 orang
sudah pergi menghadap sang Maha Kuasa, Allah Azza Wajalla.
(Memoar ini, khusus saya dedikasikan
untuk ketiga sahabat, sekaligus saudara saya, sebagai bagian dari generasi awal
Ma’had Arafah: “Dadang Darul Arqam, Muhammad Nur Iman dan Zaenal Muttaqin,” semoga
kalian mendapat tempat yang mulia di sisi-Nya. Amin).
Perawang-Siak-Riau,
Maret 2020