Senin, 06 Desember 2021

Memoar : Tangisan itu Berujung Senyuman Part 3 sub judul: Tinta emas Generasi Awal Ma'had Arafah

 

                                 1   Dukumen pribadi.               Awal-awal pembangunan Pondok Pesantren Arafah.

Bab III

Tinta Emas Generasi Awal Ma’had Arafah.

            “Sekarang, tolong jelaskan satu per satu, apa alasan kalian keluar dari pondok Pabelan?” Sebuah permintaan dari kang Iif pada saya dan teman-teman yang sama-sama mantan santri Pondok  Pabelan, Muntilan, Magelang Jawa Tengah.

            Malam itu, baru saja saya sampai di kampung Rancapanggung Desa Mukapayung Kec. Cililin, Kab.Bandung (sekarang Kabupaten Bandung Barat). Saya dan kelima teman saya berkumpul di rumah orang tua teman saya, Muhammad Nur Iman ( Alluhu yarham).

             Muhammad Nur Iman, kebetulan adik sepupu kang Iif. Sementara, Pak Haji Abidin, ayah Nur Iman, yang juga paman kang Iif, termasuk salah satu pendiri yayasan Arafah, tempat saya akan melanjutkan mondok. Kang Iif sendiri, posisinya sebagai ketua yayasan.

            Satu per satu kami memberikan alasan, mengapa keluar dari pondok Pabelan. Semuanya mendapat pertanyaan, seperti sedang diintrogasi.

            Setelah dianggap cukup, kang Iif meminta saya dan teman-teman untuk menerapkan semua ilmu yang didapat di Pondok Pabelan, di Yayasan Arafah yang ia pimpin, karena yayasan Arafah baru dirintis

            Tahun-tahun pertama saya mondok di Pabelan, memang luar biasa. Sistem berjalan seperti di induknya, pondok Gontor Ponorogo Jawa Timur. Dari mulai bangun tidur sampai menjelang tidur lagi, semua kegiatan terjadwal.

            Setelah berjalan tiga tahun mondok dan ketika masuk tahun keempat, saya merasakan adanya perubahan di pondok ini. Sayangnya perubahan itu berupa penurunan di berbagai bidang seperti, kedisiplinan sudah tidak ketat lagi, seperti di awal-awal saya masuk,  pelanggaran-pelanggaran santri kurang disikapi dengan tegas atau lebih longgar dari sebelumnya.

            Ternyata bukan saya saja yang merasakan hal itu, rupanya kawan-kawan yang lain pun sama. Akibat dari penurunan kualitas ini, banyak santri yang mengundurkan diri sebelum waktunya, termasuk saya dan beberapa orang kawan. Tapi, saya dengar kabar, lima tahun kemudia setelah itu, pondok Pabelan kembali stabil. Bahkan sampai hari, alhamdulullah Pondok Pabelan mengalami kemajuan cukup pesat.

*****

            Pondok Pesantren Arafah yang lebih dikenal dengan Ma’had Arafah, terletak di desa Mukapayung, kecamatan Cililin, kabupaten Bandung (Sekarang, Kabupaten Bandung Barat). Pondok ini dibangun di atas tanah perbukitan yang bernama Pasir Jati. Di bagian paling puncak bukit, bangunan pertama berdiri, yaitu masjid. Peletakan baru pertamanya, dilakukan oleh K. H.  E. Z Muttaqin. Beliau salah seorang ulama terkenaldi Jawa Barat dan juga mantan rektor Universitas Islam Bandung/UNISBA. Peletakan batu pertama tersebut, sekaligus meresmikan Pesantren atau Ma’had Arafah.

            Ketika pertama kali saya masuk Pondok ini, belum banyak bangunan yang berdiri. Selain masjid, baru ada sekitar 4 ruangan kelas, kantor guru, ruang koperasi, 2 ruang asrama kosong dan dua ruang kamar mandi yang belum jadi.

            Semua bangunan diatas, merupakan sumbangan dari kampus UNISBA. Waktu itu kampus Universitas Islam bergengsi itu, sedang melakukan rehab besar-besaran. Lalu, bekas bangunan yang masih berguna, disumbangkan ke Ma’had Arafah.

            Di dalam ruangan kelas, sudah ada beberapa meja dan kursi belajar dari kayu. Sementara lantai ruangan kelas masih berupa tanah.

            Suasana pesantren masih sangat gersang. Pohon-pohon palm yang mirip pohon kurma, ditanam di sekitar Pesantren. Namun, baru tumbuh beberapa centi meter saja. Semua masih serba tanah merah. Jika musim kemarau, banyak debunya. Sementara bila musim hujan, tanah merah itu cukup licin dan lengket menempel pada alas kaki.

            Walaupun demikian, dari halaman masjid, terhampar pemandangan yang sangat indah. Di sebelah barat dan utara Pesantren, terhampar luas danau lintasan waduk Saguling. Di atasnya berjejer pondokan-pondokan kayu para peternak ikan jala terapung.

            Jika musim kemarau tiba, air danau itu surut, sehingga dasar danau yang berupa puing-puing rumah penduduk, yang terkena proyek pembangunan PLTA Saguling, terlihat kembali. Di sebelah timur dan selatan Pesantren, tampak berbaris pegunungan hijau.

            Saat itu, 1987, satuan pendidikan formal di Ma’had Arafah, baru terdiri dari Madrasah Tsanawiyah (SMP) dan Madrasah Aliyah (SMA). Madrasah Tsanawiyah merupakan kelanjutan dari Madrasah Tsanawiyah Uswatun Hasanah, yang sudah lama berdiri dan lokasinya sudah terendam oleh danau Saguling. Sementara Madrasah Aliyah baru berdiri setengah tahun.

            Sebelum saya dan teman-teman dari Pondok Pabelan masuk Ma’had Arafah, program kepesantrenan belum berjalan. Semenjak saya dan teman-teman lain masuk, program kepesantrenan mulai diterapkan, sebagaimana permintaan kang Iif selaku ketua yayasan.

            Ruang asrama yang tadinya kosong, mulai saya tempati bersama-sama  teman-teman baru saya di Aliyah. Waktu itu baru lima orang yang menempati asrama. Mereka semua siswa laki-laki yang rumahnya jauh dari Pesantren. Sementara asrama putri dibuka tahun berikutnya.

            Untuk menjalankan amanah yang dipesankan kang Iif selaku ketua yayasan, sebisa mungkin saya berikan pengalaman dan ilmu yang saya dapat dari Pondok Pebelan, walaupun belum banyak.

            Bersama teman-teman, mantan santri Pabelan yang lain, saya susun jadwal kepesantrenan. Setelah shalat subuh diadakan kajian ilmu al Qur.an dan hadits. Selelah shalat ashar, diisi materi muthala’ah, tajwid dan latihan percakapan bahasa Arab dan Inggris. Setelah shalat Isya, dua kali seminggu, diadakan muhadharah berupa latihan pidato. Waktu itu, latihan pidatonya, masih berbahasa Indonesia.

            Jika ustadz yang bertugas mengisi materi terlambat atau tidak hadir, saya sering berinisiatif menggantikan ustadz tersebut. Tentu saja sesuai kemampuan saya sendiri.

            Salah satu oleh-oleh saya dari Pondok Pabelan, kemampuan saya bermain gitar, hasil belajar dari seorang sahabat asal Kuningan Jawa Barat, bernama Dadang Kusnandar.

            Dengan bekal kemampuan bermain gitar, di waktu-waktu tertentu, saya mengadakan pentas seni budaya berupa pembacaan puisi, drama dan penampilan lagu-lagu religi yang saya iringi dengan gitar.

            Walaupun perjalanannya tersendat-sedat, alhamdulillah program yang saya rancang berjalan lancar, terlebih setelah kehadiran dua orang ustadz muda. Yang satu Ustadz Saefuddin, alumni Pondok Pesantren Pabelan dan kedua, Ustadz Syafiq, alumni Pondok Gontor Ponorogo. Meskipun, baru 6 orang santri yang baru menempati asrama, namun seluruh santri yang masih pulang pergi dari rumah, diwajibkan mengikuti semua jadwal kepesantrenan.

            Kehadiran ustadz Drs.Ahmad Hidayat, yang dikenalkan dengan Ma’had Arafah oleh K.H Josep Saefuddaulah, menambah amunisi besar bagi kemajuan program-program Ma’had waktu itu. Sementara, K.H Josep Saifuddaulah merupakan relasi kang Iif sudah sejak lama. Beliau diminta untuk mengisi kajian kitab Al Maraghi sebulan sekali di Ma’had Arafah, yang diikuti oleh keluarga besar Arafah dan sebagian masyarakat sekitar.

            Selain itu, beliau diminta untuk menjadi salah seorang sesepuh dan pembina Ma’had Arafah, di tengah kesibukan beliau sebagai salah seorang dosen di kampus UNISBA juga memimpin pesantrennya sendiri di Cicalengka Kabupaten Bandung. Nama pesantrennya, Husainiyah.

            Ustadz Ahmad hidayat, merupakan sosok yang penuh wibawa, pekerja keras disiplin dan ilmunya cukup “mumpuni”.Beliau seorang alumni UNISBA binaan K.H Josep Saifuddaulah. Pengisi materi ba’da subuh dan ba’da ashar, hampir sepenuhnya diisi oleh beliau.

            Mengingat yayasan Arafah belum dapat memberikan honor yang layak, dua kali dalam seminggu, beliau harus pulang pegi ke Bandung kota, yang jaraknya cukup jauh dari Ma’had. Di sana beliau melanjutkan kegiatan sebelumnya, yaitu mengajar privat bimbingan agama ke rumah-rumah dan sesekali mengisi acara pengajian.

            Pulang mengajar privat dari Bandung Kota, terkadang larut malam baru sampai. Namun, meskipun begitu, beliau tidak pernah terlambat memimpin shalat subuh berjamaah di masjid, sekaligus menyampaikan materi kepada para santri.

            Karena struktur tanah di depan asrama putri masih bergelombang dan miring, Di bulan suci ramadhan, setelah pengajian ba’da subuh, beliau memimpin langsung para santri bergotong royong. Saya, bersama santri-santri yang lain, meratakan tanah merah yang keras dan licin, dengan sebuah alat yang mereka sebut “garpu”.

            Setelah tanah kering itu dicongkel dengan garpu, lalu kami ratakan dengan drum bekas minyak tanah. Drum itu saya isi penuh dengan air. Kemudian saya dorong ramai-ramai sampai menggelinding maju mundur, layaknya sebuah stum yang sedang meratakan jalan.

            Alhamdulillah dengan cara itu, halaman asrama putri menjadi rata, walaupun harus memakan satu korban, salah seorang santri, kakinya tertusuk garpu itu hingga menembus sepatu. 

            Meskipun sedang berpuasa, saya perhatikan ustadz Ahmad dan para santri melakukan gotong royong dengan rasa senang dan terasa ringan. Tampak dari raut wajah-wajah meraka, aura keikhlasan.

            Lain ceritanya dengan sesepuh yang satu ini. Namanya pak Abdurrahman Shaleh. Kebetulan juga sahabat dari almarhum ayah saya.

 

                                                        Dokumen pribadi.   Santri Ma’had Arafah.

        Para santri biasa memanggilnya, pak Oman. Kini beliau telah dipanggil oleh yang maha kuasa. Saat itu posisinya di yayasan, sebagai kepala sekolah Madrasah Tsanawiyah.

            Selain ilmu agamanya cukup luas, beliau memiliki keterampilan membuat furniture seperti, lemari, meja, kursi dan lain-lain. Dengan keahliannya tersebut, selain mengajar, beliaulah yang membuatkan meja, kursi dan lemari untuk kepentingan Ma’had Arafah.

            Beliau hanya meminta biaya untuk bahan-bahannya saja, tanpa mengambil keuntungan sedikit pun. Bahkan, tidak jarang beliau harus mengeluarkan uangnya sendiri bila ada kekurangan.

            Hampir setiap hari, beliau pulang ke rumahnya menjelang maghrib, kerena selepas mengajar, beliau habiskan waktunya untuk kepentingan Pesantren. Terkadang memperbaiki jendela atau pintu yang rusak, memperbaiki atap yang bocor dan selalu ada saja yang beliau kerjakan.

            Kang Iif sendiri, sebelum terjun langsung di yayasan Arafah, ia seorang jurnalis dan pengusaha yang cukup sukses di kota Bandung. Untuk sebuah visi dan misi yang mulia, ia jual semua asetnya, lalu secara total ia abdikan dan wakafkan diri dan hartanya untuk kemajuan Pesantren.

            Di Pesantren, ia hanya menempati sebuah rumah kecil sampai menghembuskan nafasnya yang terakhir di sana. (Semoga Allah Swt menempatkan beliau di tempat yang mulia. Amin)

            Beliau adalah seorang visioner yang memiliki pandangan jauh ke depan. Terkadang, bagi sebagian orang, tidak mudah memahami gagasan-gagasan beliau, jika diukur dengan keberadaan Pesantren Arafah saat itu, yang masih serba sulit, darurat dan sederhana.

            Memanfaatkan masa lalunya yang banyak memiliki relasi dari berbagai kalangan, ditambah kepiawaiannya dalam melobi dan bernegosiasi, tidak jarang beliau menghadirkan orang-orang “penting” dan “berpengaruh” ke Pesantren. Tentu saja dari kunjungan para tokoh dan melalui presentasi beliau, sedikit banyak, sumbangan pun berdatangan, baik dalam bentuk uang, barang maupun kerja sama pelatihan SDM untuk para ustadz dan santri.

            Berbeda dengan kang iif, bapak Abdul Kohar, yang lebih dikenal dengan panggilan Mang Oan dan sedikit temperamen ini, memiliki cara tersendiri dalam mengabdikan dirinya kepada Pesantren.

            Setiap pagi, beliau menyusun batu berukuran sedang sepanjang jalan mulai pintu gerbang pesantren sampai ke depan ruang kelas. Subhanallah, meskipun tampak sederhana, tetapi hasil keringat beliau, sangat membantu meringankan dan mempermudah akses jalan, bagi siapa pun yang melewatinya. Terlebih jika di musim hujan, karena tanah merah bukit Pasir Jati ini, selain licin juga sangat lengket.

            Yang tak kalah menarik, apa yang dilakukan Uwa saya, Wa Udin. Beliau termasuk salah seorang jamaah masjid Arafah. Beliau merasa tidak punya ilmu yang bisa diberikan dan tidak punya harta yang dapat disumbangkan. Tetapi, tidak menghalanginya untuk turut ambil bagian proyek syurga ini.

            Dengan kemampuannya memasak, selama beberapa waktu, Wa Udin mewakafkan dirinya di dapur Pesantren. Setiap hari ia memasak dan menyiapkan makan para ustadz. Imbalan yang beliau terima, hanya dapat turut makan bersama para ustadz dan sedikit membawa pulang untuk anak istrinya di rumah.

            Begitu juga dengan para pengajar atau para ustadz. Saat itu, yayasan belum dapat memberi imbalan yang layak. Mereka, ada yang berasal dari alumni Madrasah Tsanawiyah Uswatun Hasanah, dari penduduk setempat, bahkan ada yang sengaja pulang pergi dari Bandung kota. 

                                                    Dokumen pribadi.    Majlis Guru/Dewan Asatidz Ma’had Arafah.

Mereka mengajar sesuai kesanggupan. Ada yang hanya satu hari dalam sepekan, dua hari atau tiga hari berturut-turut, disesuiakan dengan kegiatan masing-masing di luar.

            Secara materi, mereka tidak mendapatkan apa-apa. Mereka hanya mendapatkan makan dengan lauk pauk ala kadarnya. Kalaupun, sesekali ada rezeki, itu pun tidak seberapa. Belum ada tunjangan macam-macam dari pemerintah seperti sekarang.

            Intinya, semua pihak mulai dari pengurus yayasan, para pendiri, para ustadz, para santri dan sebagian penduduk setempat, berlomba-lomba memberikan yang terbaik untuk Pesantren ini. Mereka melangkah dalam satu visi dan misi yang sama, memajukan Pesantren, menebar ilmu dan mencetak generasi Qur’an Sunnah yang berakhlak mulia.

            Sebagian besar pendiri dan perintis Pesantren, kini sudah kembali ke sisi-Nya, menghadap sang Pencipta, termasuk beberapa orang alumni. Jasad mereka sudah tiada, tubuh mereka sudah menjadi tulang belulang, Tetapi, wangi ketulusan hati mereka, masih tercium aromanya hingga kini. Dengan masing-masing kemampuan yang dimiliki, mereka telah menabur bekal, untuk dituai kelak di akhirat.

            Pak syarif Mahmud (Kang Iif), Pak Abdurrahman Shaleh (Pak Oman), Pak Haji Abidin, Pak Abdul Kohar (Mang Oan), Pak Haji Adung (Wa Adung), pak Anwar Shaleh (Kang Aan), Pak Rahmat, Pak Dayat, Ustadz Ahmad hidayat, Wa Udin, Pak Amin, Pak Abdul Halim, Pak Siraj, Ustadz Basyirin, Pak Carma, Pak Sujana, Pak Teten, Kang Nurdin, Kang Zaini, Kang Hafid, kang Yayan, kang Iim, ustadz Saifuddin, ustadz Syafiq dan semua yang tidak tersebut namanya, baik yang masih ada maupun yang sudah meninggal, yang pernah turut andil menambur amal kebajikan di Pesantren ini, kalian adalah, guru-guru kehidupan saya, kalian adalah inspirasi saya.

            Sebuah pertunjukkan realita bertema ketulusan telah dipertontonkan, sebaris syair tembang keikhlasan telah dilantunkan dan sebingkai lukisan kebersamaan telah dipamerkan.

            Dokumen pribadi.       Sebagian dari para pendiri dan perintis Ma’had Arafah.

Harapan saya, semoga hamba-hamba Allah yang saat ini, masih diberi kesempatan mengabdi di Pesantren Arafah dan para alumni yang sudah bertebaran jauh seperti saya, bisa tetap mewarisi cahaya ketulusan dan mutiara keikhlasan seperti jejak-jejak para pendahulu.

            Para generasi awal itu, telah mengajarkan saya makna sebuah ketulusan dan keikhlasan dalam tindakan nyata, bukan dalam kata-kata dan bukan dalam retorika semata.

            Di awal masuk, 1987, generasi awal siswa Madrasah Aliyah Arafah, berjumlah 22 orang, dan yang berhasil sampai tamat, 1990, hanya 15 orang. Sementara, 3 orang sudah pergi menghadap sang Maha Kuasa, Allah Azza Wajalla.

(Memoar ini, khusus saya dedikasikan untuk ketiga sahabat, sekaligus saudara saya, sebagai bagian dari generasi awal Ma’had Arafah: “Dadang Darul Arqam, Muhammad Nur Iman dan Zaenal Muttaqin,” semoga kalian mendapat tempat yang mulia di sisi-Nya. Amin).

 

                                                                                    Perawang-Siak-Riau, Maret 2020

( Memoar adalah sepenggal perjalanan hidup seseorang/tokoh. Demikian juga tulisan ini merupakan sepenggal atau satu episode perjalanan hidup penulis. Harpan penulis, semoga memoar sederhana ini dapat bermanfaat dan memberi inspirasi buat sahabat "KItabisa")

Nantikan Memoar: Tangisan itu Berujung Senyuman Part 4 dengan judul :

Liku-Liku Meraih Gelas Sarjana

Kontak Penulis/Blogger : 0822 8379 0651

Rabu, 01 Desember 2021

Memoar: Tangisan itu Berujung Senyuman Part 2 oleh: Ahmad Khoibar

 


Wongso.online

Bab II
Pabelan, Oh Pondokku.

            Sebuah episode baru dalam kehidupan saya dimulai. Selepas SD saya harus rela berpisah dengan kedua orang tua dan keempat adik saya. Berbekal sejuta harapan dan untaian doa orang tua serta kerabat, saya berangkat ke Pondok Pesantren untuk menuntut ilmu.

            Saya tertarik masuk Pondok, setelah melihat saudara-saudara sepupu saya dari keluarga ayah yang telah lebih dulu masuk Pondok. Baru setahun di Pondok, mereka sudah pandai berpidato, bahkan menggunakan bahasa Arab dan Inggris.

            Alhamdulillah keinginan saya tersebut didukung penuh oleh kedua orang tua waktu itu. Namun, kebanyakan saudara dari ibu saya kurang merespon, karena pemahaman mereka terhadap agama masih sangat minim.

            Selain itu, di tanah kelahiran saya, yang merupakan kampung asli ibu saya, pada umumnya,  masyarakatnya masih awam tentang pemahaman agama dan tentang Pesantren saat itu.

            Dalam pemikiran mereka, kalau masuk Pesantren, tidak bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Kalau sudah tamat paling-paling hanya bisa mengajar ngaji dan jadi imam di masjid.  Atau, dalam benak mereka, anak yang masuk Pesantren itu pasti anak nakal yang susah diatur oleh orang tuanya. Jadi, seingat saya, sayalah orang pertama yang masuk Pesantren di kampung saya.

            Memang secara historis, menurut cerita orang-orang tua di sana, kampung halaman saya, tepatnya di kampung Barukai Desa Jambudipa, Kecamatan Cisarua yang berada di bagian utara wilayah Kabupaten Bandung (sekarang Kabupaten Bandung Barat),  termasuk daerah merah dulunya.

            Selain itu, di kampung halaman saya cukup lama berkembang ajaran kepercayaan. Sehingga berpengaruh pada pemahaman generasi berikutnya terhadap ajaran agama Islam

            Seiring berjalannya waktu, nuansa keagamaan mulai berkembang. Masjid-masjid dan sekolah-sekolah keagamaan seperti Madrasah Tsawaiyah, Madrasah Aliyah, MDTA dan TPA secara bertahap berdiri. Itu pun diramaikan dan diaktifkan oleh para pendatang. Para pendatang ini rata-rata berprofesi sebagai pedagang dan ustadz yang berasal dari daerah-daerah yang dikenal religius, seperti dari Tasikmalaya, Garut dan Cililin.

            Berdasarkan kondisi di atas, justru kedua orang tua saya lebih bersemangat untuk memasukkan saya ke Pondok Pesantren. Pertimbangan mereka, selain agar saya menguasai ilmu agama, jika sekolah di kampung, mereka khawatir pergaulan dan lingkungannya kurang kondusif.

            1984 saya lulus SD. Ayah , ibu,  paman dan adik bungsu saya yang masih bayi turut mengantar saya ke Pondok. Perjalanan memakan waktu 10 samai 12 jam menuju Pondok Pesantren yang dituju.

            Pondok Pesantren itu bernama Pabelan sesuai dengan nama kampung Pondok itu berada. Ia berlokasi di kampung Pabelan Desa Mungkid Kecamatan Muntilan Kabupaten Magelang Jawa Tengah. Pondok itu tidak jauh dari Candi Mendut dan dari salah satu tujuh keajaiban dunia yaitu Candi Borobudur.

            Karena berangkat dari rumah pagi, sampai di lokasi sekitar jam 8 malam. Ketika pagi hari, baru mulai tampak situasi yang sebenarnya.

             Pohon akasia, bougenvile, melinjo, rambutan, belimbing dan pohon kelapa yang batangnya menjulang tinggi, memenuhi kawasan Pesantren, sehingga membuat suasana terasa teduh. Sebuah kantin dan dapur induk berdiri di bagian tengah, sekaligus membatasi asrama putra dan putri.

            Saat itu tidak ada dinding pembatas antara asrama putra dan putri, juga tidak ada pembatas antara Pesantren dengan rumah penduduk. Sebagian rumah penduduk malah bertebaran di dalam lokasi Pondok, sebagian di sebelah jalan sebagai batas Pondok.

            Sebuah masjid tua bergaya bangunan masjid Demak berdiri tepat di tengah-tengah Pondok. Tiang-tiang penyangganya berukuran besar terbuat dari kayu jati. Sebuah beduk dan kentongan berukuran besar terletak di sudut masjid. Beduk dan kentongan itu merupakan salah satu alat hiburan sekaligus rebutan para santri putra.

             Setiap kali memasuki waktu adzan maghrib. Para santri berebut ingin memukul beduk pertanda adzan akan dimulai. Lalu, menjelang iqamah, kembali para santri berebut untuk memukul kentongan.

            Tiga hari pertama saya di Pondok, diawali dengan kegiatan yang namanya Ta.aruf atau perkenalan. Kegiatan diikitu oleh seluruh santri baru, gabungan santri putra dan santri putri.

            Santri putra berada di dalam beranda masjid. Setengah beranda lagi diisi santri purti. Di tengahnya dibatasi oleh sebuah kain yang cukup lebar.

           

            Fahimna.or.id                                                                          Wongso.online

            Santri putra berebut duduk di barisan paling pinggir dekat beranda, agar bisa berdekatan dengan santri putri. Ada beberapa yang memanfaatkan untuk saling menyelipkan kertas hanya sekedar untuk kenalan.

            Pemandu acara, dipimpin oleh kakak-kakak pengurus santri putra, yang biasanya sudah duduk di kelas 6. Acara pokoknya, pengarahan berturut-turut selama tiga hari oleh pimpinan Pondok, Kiayi Haji Hamam Ja’far.

            Di sela-sela acara inti, kakak-kakak pengurus santri mensosialisaikan seluruh kegiatan dan peraturan-peraturan Pondok. Selain itu, santri baru diperkenalkan dengan yel-yel dan lagu kebangsaan Pondok berjudul: ‘Oh pondokku.’

            Meski tiga hari berturut diisi oleh orang yang sama, tapi saya tidak merasa bosan. Alasannya, karena Kiayi Hamam Ja’far merupakan sosok penuh wibawa. Suaranya menggelegar seperti proklamator Bung Karno.

            Ketika beliau meyampaikan nasehat, selalu diselingi dengan candaan dan gurauan. Fasih berbicara bahasa Arab dan Inggris. Pokoknya, para santri selalu dibuat terkesima setiap kali beliau berbicara.

            Asrama santri berupa bangunan-bangunan panjang. Sebagian masih terbuat dari papan, bilik dan bambu, dan sebagian lagi sudah dibangun permanen. Demikianjuga dengan ruang-ruang kelas.                                                      

    


                                                                        Fahimna.or.id

                                                                K.H. Hama Ja'far ( Alm )


                                                                     archnet.org

Dalam satu kamar terdiri dari 15 sampai 25 orang santri, tergantung besar kecil kamarnya. Setiap kamar didampingi oleh 2 orang kakak kelas yang sudah duduk di kelas 5.

            Pondok tidak menyediakan ranjang atau tempat tidur. Untuk alas, santri membeli kasur masing-masing. Ketika jam tidur, kasur-kasur itu langsung digelar di lantai. Pagi-pagi, petugas piket kamar menyusun kasur-kasur itu secara bertumpuk.

            Untuk lemari pakaian, saya dan santri lainnya membeli sebuah tempat yang yang disebut ‘kotak’, semacam lemari kecil yang terbuat dari bahan triplek tebal. Ukurannya, ada yang sedang, ada juga yang tinggi. Kotak-kotak ini, bisa dibeli di koperasi Pesantren atau di rumah-rumah penduduk yang memproduksi barang itu.

            Untuk makan, Pondok menyediakan tiga kali dalam sehari. Mengingat banyaknya jumlah santri, Pondok menyediakan beberapa dapur santri. Tapi, yang paling besar berada di dapur induk sekaligus berdekatan dengan kantin.

            Di dapur umum, berderet meja-meja berikut bangkunya yang terbuat dari beton. Ia ditembok secara permanen. Dengan bahan seperti itu, tentu saja meja-meja makan itu bisa bertahan lama.

            Di dinding kantin terpangpang  dua baris tulisan besar: ‘Makan untuk Hidup, Bukan Hidup untuk Makan’ dan ‘ Lauk yang Paling Enak Adalah Lapar.’ Sebuah motto yang singkat, namun memilki makna yang sangat dalam.

            Dapur induk itu sendiri menghadap ke salah satu asrama santri putri. Jadi, buat santri yang sudah mulai kasmaran, sambil makan bisa sekaligus ‘nampang’ dan ‘ngeceng’ santri putri. Sehingga, ada istilah yang cukup populer ketika itu: ‘Kala Cinta Berlabuh di Dapur Induk.’ Sebuah ‘plesetan’ dari judul lagu terkenal zaman itu: ‘Kala Cinta Berlabuh di Dermaga.’

            Ketika lonceng makan dibunyikan, ribuan santri berbaris dalam antrian untuk mengambil nasi sendiri-sendiri. Sementara untuk lauk-pauknya, beberapa pengurus santri putri ditugaskan untuk membagikan.

            waktu itu biaya makan per bulan hanya 20 ribu rupiah. Bila diukur dengan nilai kurs rupiah waktu itu, bisa dikatakan masih termasuk murah, dibanding iuran makan di Pondok-Pondok Pesantren lainya.

            Karena iuran makan cukup murah, tentu saja lauk yang disediakan Pondok pun cukup sederhana. Yang paling sering disajikan, gulai tahu, tempe dan ‘tewel’, semacam gulai nangka. Kalaupun dapat ikan dan ayam, mungkin hanya sekali-sekali saja.

            Bagi santri yang punya kelebihan uang jajan, biasanya mereka membawa nasi ke warung-warung penduduk yang ada di sekitar dan di dalam Pondok. Mereka membeli lauk tambahan di warung-warung itu. Bahkan banyak santri yang ‘ngebon’ dulu alias ‘ngutang’ jika bekal sudah habis. Mereka membayar setelah kiriman wesel dari orang tua datang.

            Di minggu-minggu pertama, setiap makan saya membawa sebuah piring, cangkir dan sendok, lalu makan sendiri seperti teman-teman yang lain. Tapi, saya melihat banyak santri lama yang makannya tidak sendiri-diri lagi. Mereka makan berkelompok-kelompok. Ada yang berdua-berdua, bertiga bahkan sampai ada yang empat orang dalam satu kelompok. Mareka makan menggunakan sebuah nampan besar.

            Akhirnya saya pun mengikuti cara makan santri-santri lama tersebut. Saya dan tiga orang teman saya makan dalam satu nampan besar. Rupanya ada kenikmatan tersendiri makan dengan cara seperti itu. Mungkin, bagi sebagian orang yang melihat, terkesan agak jorok, karena semua lauk dan kuah dicampur jadi satu, lalu, saya makan bersama-sama menggunakan tangan.

            Untuk mandi, di setiap asrama di sediakan deretan kamar mandi santri. Tetapi, terkadang airnya macet dan sering aromanya kurang sedap, akibat pengaruh kotoran pipa yang yang sudah lama menempel. Belum lagi antrian cukup panjang. Atrnatifnya, banyak santri putra yang mandi sore di sungai. Waktu itu, belum ada larangan mandi di sungai.

            Di sebelah timur Pondok, terdapat aliran sungai cukup besar. Bila di musim kemarau, airnya jernih dan dangkal. Batu-batu berukuran besar dan lebar berjejer. Jarak dari Pondok tidak jauh, cukup waktu 10 menit untuk sampai di sana.

             Setiap Jum’at, hari libur Pondok. Seusai gotong royong membersihakan asrama, saya dan teman-teman biasanya pergi ke sungai. Selain untuk mandi, sekalian mencuci pakaian.

            Karena waktu cukup panjang, pakaian yang saya cuci, langsung dijemur di atas batu-batu besar itu. Jadi, ketika pulang ke Pondok, pakaian yang dicuci sudah kering.

            Di pinggiran sungai terdapat beberapa mata air yang cukup jernih airnya. Banyak santri putra yang biasa mandi di mata air itu. Kalau tidak mau mengantri, banyak juga yang mandi di sungainya langsung.

            Saya tidak tahu, mengapa waktu itu Pondok tidak melarang santri-santri putra mandi di sungai. Kalau dipikir-pikir, cukup beresiko juga apalagi di musim hujan.     Bila musim hujan tiba, aliran sungai yang biasanya jernih dan dangkal itu, bisa tiba-tiba berubah menjadi kotor dan deras, bisa membawa hanyut apa saja yang dilaluinya. Air deras itu semacam air bah yang tiba-tiba datang dari hulunya.

            Memang sih, selama tiga tahun lebih saya di Pondok, belum pernah ada  insiden santri hanyut, tapi seandainya itu kejadian, saya tidak tahu bagaimana bentuk tanggung jawab pihak Pondok kepada orang tua santri.

******

            Saat itu Pondok Pesantren Pabelan termasuk Pondok Cabang Gontor yang  cukup populer. Bahkan menurut salah seorang ustadznya, saat itu Pondok  Pabelan berada di urutan terbaik kedua, di antara puluhan cabang Gontor yang ada di seluruh tanah air.

            Ada ribuan santri yang belajar di Pondok Pabelan ini. Mereka berasal dari seluruh pelosok tanah air, bahkan ada santri dari luar negeri, dari Malaysia dan Thailand.

            Jadi, sebenarnya, sejak dulu saya sudah belajar toleransi bahkan menjalaninya dalam kehidupan nyata. Meskipun satu agama, tapi sukunya berbeda-beda. Sehari-hari saya bergaul dengan teman-teman santri yang berbeda suku. Ada santri dari Jakarta, Sumatra, Sulawesi, kalimantan, NTB, NTT, Madura, Bali dan tentu saja Jawa.

            Di waktu-waktu senggang, saya sering bertukar informasi dan berbagi cerita tentang daerah masing-masing. Di pondok ini, saya layaknya berada di negara Indonesia mini. Berbeda-beda, tapi satu tujuan yaitu menuntut ilmu, dan menempa diri

            Karena Pondok Pabelan merupakan cabang Pondok Modern Gontor, kurikulum yang digunakan pun 100% menggunakan kurikulum Gontor. Saat itu, penerimaan santri baru tidak dibatasi usia. Jadi, ketika belajar di kelas, dalam satu kelas yang seangkatan, bisa bercampur usianya.

            Yang tamatan SD, SMP dan SMA bisa berada dalam satu kelas, kecuali pengaturan asrama. Untuk asrama dipisahkan antara santri tingkatan SMP dengan santri tingkatan SMA.

            Percampuran usia dalam satu kelas ini, sebenarnya ada plus minusnya juga. Positifnya, santri yang sudah lebih tua umurnya bisa membimbing santri yang lebih muda dan memberikan pengalaman baik.

            Sedangkan negatifnya, jika santri yang lebih tua ini punya perangai yang kurang baik atau negatif, maka ia dapat mempengaruhi santri yang lebih muda, terlebih santri yang baru lulus SD. Mereka masih labil dan sangat mudah dipengaruhi. Saya tidak tahu apa dasar dan alasan kebijakan ini. 

            Ketika itu, Pondok Pabelan selain dikenal dengan keunggulan santrinya dalam berbahasa, terutama bahasa Arab dan Inggris, juga dikenal dengan kedisiplinannya. Mulai jam 04.30 pagi, kakak pengurus sudah membangunkan para santri melalui mikropon, untuk shalat berjamaah subuh.

            Pakaian wajib ke masjid, harus mengenakan sarung, baju kemeja, memakai kopiah hitam dan mengenakan sabuk. Jika kedapatan tidak lengkap, maka akan dikenakan iqab atau hukuman.

            Setelah shalat subuh, para santri tadarrus masing-masing. Setelah itu bersiap-siap mandi. Lalu, dilanjutkan dengan sarapan pagi. Kemudian belajar di ruang kelas sampai pukul 12 siang. Pulang sekolah, shalat dzuhur berjamaah, lalu dilanjutkan makan siang.

            Kegiatan Pondok dimulai lagi mulai pukul 2 siang di kelas masing-masing sampai menjelang ashar. Setelah shalat ashar berjamaah, kegiatan santai sampai menjelang waktu maghrib.

            Biasanya para santri berolah raga, mulai dari main tenis meja, bulu tangkis dan main bola voli. Bagi santri yang kurang suka berolah raga, biasanya duduk-duduk di asrama, sebagian lagi ada yang bermain gitar.

            Menjelang maghrib, seluruh santri harus sudah bersiap-siap mengikuti shalat maghrib berjamaah. Seluruh petugas bagian keamanan yang terdiri kakak-kakak kelas, akan berpatroli mengelilingi asrama untuk merazia santri yang terlambat. Setelah shalat maghrib, beberapa menit melakukan tadarrus masing-masing, lalu dilanjutkan dengan makan malam.

            Masuk waktu isya seluruh santri wajib shalat isya berjamaah di asrama/ kamar masing-masing. Yang menjadi imam sekaligus memimpin doa setelah shalat, santri yang mendapat giliran. Jadi, setiap santri akan mendapat giliran menjadi imam sekaligus memimpin do’a tanpa kecuali.

            Setelah selesai shalat isya, dilanjutkan dengan pemberian mufradat atau kata-kata baru, baik bahasa Arab maupun bahasa Inggris oleh kakak pendamping kamar. Selain itu, santri dilatih percakapan singkat kedua bahasa itu.

            Seusai latihan bahasa kurang lebih 30 menit, dilanjutkan dengan belajar masing-masing  untuk pelajaran besoknya. Kegiatan ini diawasi langsung oleh kakak pendamping kamar.

            Waktu belajar sampai bunyi lonceng istirahat pukul 9 malam. Bunyi lonceng itu akan terdengar 9 kali. Dari Pukul 9 sampai pukul 10 malam acara santai kembali. Santri boleh jajan ke kantin, duduk-duduk depan asrama, bermain gitar dan aktifitas bebas lainnya.

            Ketika terdengar suara lonceng 10 kali, tepat pukul 10 malam, seluruh santri wajib menghentikan seluruh kegiatan dan wajib tidur. Semua lampu akan dimatikan dari pusat kendali listrik.

            Saat itu, tenaga listrik berasal dari mesin-mesin genset yang dimiliki Pondok. Ia beroperasi mulai pukul 4 pagi sampai pukul 10 malam. Bila santri ada keperluan tengah malam, misalnya mau ke kamar mandi, ia harus membawa lampu tempel berbahan bakar minyak tanah.

            Karena saat itu Pondok Pabelan memiliki kurikulum sendiri dan tidak terintegritas dengan kurikulum pemerintah, maka jadwal pelajaran dilakukan secara terpadu, antara pelajaran umum dan pelajaran kepesantrenan disatukan.

            Selain kegiatan belajar di ruang kelas, dibawah bimbingan para ustadz dan di asrama oleh kakak-kakak pendamping, Pondok juga mengadakan berbagai ekstra kurikuler dan jadwal rutin untuk pengembangan skill santri.

            Latihan pidato bahasa Inggris diadakan setiap Minggu malam, sedangkan latihan pidato bahasa Arab setiap Kamis malam. Para santri di kelompokkan ke dalam beberapa ruang, sehingga di akhir semester dapat dilombakan antar ruang tersebut.

            Selain itu, ada ekskul beladiri karate, teater, grup kasidah modern dan grup band. Bahkan santri yang memiliki skill khusus, diberi kebebasan untuk memberikan ilmunya kepada santri-santri lainnya.

            Jadi, di Pondok ini, selain mendapat ilmu dari Pesantren, juga bisa mendapat ilmu dari sesama teman santri. Saya sendiri ketika di Pondok ini, mendapat oleh-oleh pandai bermain gitar dari teman saya bernama Dadang Kusnandar, santri asal Kuningan Jawa barat.

            Dalam rangka meningkatkan penguasaan bahasa Arab dan Inggris, Pondok mewajibkan santri-santrinya sehari-hari berbicara kedua bahasa itu. Jika kedapatan melanggar, maka akan dikenakan sanksi mulai dari menyapu halaman masjid sampai membersihkan WC.

             Sebagai pemutus perkaranya, dibuat semacam pengadilan bahasa yang disebut Mahkamah Lughah. Mahkamah ini, menunjuk beberapa orang mata-mata yang akan mengawasi santri berbicara. Setiap pelanggaran akan tercatat waktu, tempat dan isi pembicaraannya.

            Selain itu, setiap Jum’at, santri dizinkan pergi ke Candi Borobudur untuk mempraktikkan bahasa Inggris. Santri dibekali surat keterangan praktik bahasa Inggris, sehingga dibebaskan dari tiket masuk alias gratis.

            Setiap hari, selalu banyak turis asing dari berbagai negara yang berkunjung ke Candi Borobudur. Karena sebagian besar turis-turis ini memang sengaja datang untuk melancong atau jalan-jalan, biasanya mereka tidak keberatan, jika diajak berbicara dalam waktu lama.

            Hukuman fisik masih berlaku saat itu. Mulai dari menyapu halaman, membersihkanWC, rambut digunduli, ‘plak, plik, pluk’ hadiah tamparan pada pipi sampai dikeluarkan dari Pondok.

            Jenis hukuman atau iqab tergantung pada tingkat pelanggarannya. Pelanggaran berat seperti mencuri, pergi ke luar Pondok tanpa izin, berkelahi dan ketahuan pacaran. Akan disidangkan pada malam hari dan diberi sanksi, mulai dari digunduli, ditampar pipi sampai dikembalikan ke orang tua.

            Pada saat itu, santri yang kena hukuman tidak ada yang berani melapor kepada orang tua. Malah jika mendesak, pihak Pondok yang mengkonfirmasi. Dan, alhamdulillah, santri-santri yang pernah mendapat hukuman itu, kebanyakan menjadi orang-orang ‘suskses’ di episode kehidupan mereka berikutnya.

            Untuk menyalurkan bakat santri, setiap selesai ujian semester, menjelang libur, pengurus mengadakan berbagai acara, mulai lomba pidato (Arab, Inggris, Indonesia), lomba menyanyi tunggal, lomba melawak tunggal, pertandingan olah raga lomba PBB sampai pementasan kreasi seni dan teater. Selain itu diadakan juga lomba kebersihan antar kamar.

            Jadi,  kalau saat ini saya nonton acara Stand up Comedy di salah satu stasiun TV nasional, sebenarnya tidak aneh lagi, karena dari dulu saya sudah mengenal acara ini di Pondok Pabelan. Hanya mungkin, dulu istilahnya belum Stand up Comedy, tapi masih lawak tunggal.

            Waktu pendidikan di Pondok Pabelan sebenarnya, wajibnya 7 tahun. 6 tahun belajar dan 1tahun pengabdian. Namun, karena beberapa alasan, saya menjadi santri Pabelan hanya 3,5 tahun saja.

            Memasuki pertengahan tahun keempat, saya keluar dan melanjutkan mondok di Pesantren Arafah, tidak jauh dari tempat tinggal orang tua, sambil melanjutkan studi jenjang Madrasah Aliyah.

            Walaupun hanya 3,5 tahun saja saya mondok di Pabelan, namun banyak ilmu dan pelajaran yang di dapat dari Pondok ini. Saya mendapat ilmu-ilmu dasar bahasa Arab dan Inggris, juga ilmu-ilmu dasar kepesantrenan yang lainya seperti, ilmu Nahwu, Sharaf, tajwid, Balaghah (keindahan bahasa), mantiq (logika),  mahfudhat (kata-kata mutara Arab), Muthala’ah (kisah-kisah dalam bahasa Arab), dan ilmu hadits  yang manfaatnya terasa sampai saat ini.

            Yang juga tidak kalah penting, di Pondok ini juga saya mendapat pelajaran hidup yang tidak diajarkan di buku-buku pelajaran.

            Pertama: Terbiasa hidup disiplin, karena setiap aktifitas dari mulai bangun tidur sampai mau tidur lagi, semuanya terjadwal.

            Kedua: Terbiasa hidup mandiri dan sederhana. Mandiri, karena saya mengurusi sendiri semua keperluan sehari-hari. Mulai dari mencuci pakaian, menyetrika, merapikan pakaian, mencuci sepatu dan lain-lain.

            Sederhana, karena saya dibiasakan makan dengan lauk apa adanya. Sebelum pergi ke pondok, saya tidak suka tempe, setelah di Pondok lama-kelamaan jadi suka, karena hampir setiap hari makanan itu disajikan.

            Ketiga: Memiliki sikap berani dan percaya diri. Secara terjadwal seluruh santri dilatih untuk tampil dihadapan orang banyak, terutama saat latihan berpidato. Manfaat latihan ini, saya jadi terbiasa berbicara di hadapan orang banyak.

            Keempat: Terbiasa mengatur keuangan. Setiap bulan orang tuan membekali saya uang 15 ribu rupiah. Jadi, jatah satu hari 5 ratus rupiah. Kalau dibandingkan dengan nilai rupiah sekarang( 2021), 5 ratus rupiah sebanding 10 ribu rupaih, sebulan berarti 300 ribu rupiah.

            Jadi, saya terlatih mengatur uang sejumlah itu agar cukup dalam sebulan. Uang itu harus cukup untuk jajan sehari-hari dan keperluan lain yang tak terduga, seperti untuk keperluan alat belajar dan mandi jika sewaktu-waktu habis.

            Kelima: Mengingat teman-teman berasal dari berbagai suku, bahkan ada yang dari luar negeri, maka saya terbiasa dengan segala macam perbedaan. Hal ini sangat membantu saya dalam bersosialisasi di perantauan.

            Sampai saat ini, Juli 2021, sudah 15 tahun saya tinggal di perantauan. Masyarakat di tempat saya merantau, terdiri dari bermacam suku dan agama. Ketika saya berada di tengah-tengah mereka, saya tidak kaget dan kaku lagi. Karena, sejak dulu saya sudah terbiasa berdampingan dengan teman-teman yang berbeda suku.

            Itulah pelajaran berharga yang tak ternilai dengan apapun, yang saya dapat dari Pondok, walau hanya 3,5 tahun di sana.

            Jadi, saat itu, tujuan setiap orang tua memasukkan anak-anaknya ke Pondok Pesantren, berharap agar menguasai ilmu agama. Selain itu,  juga berharap anak-anaknya dapat hidup mandiri, sederhana, disiplin dan punya mental yang kuat.

            Saat ini, saya melihat banyak Pondok Pesantren mewah (tidak semua) yang menawarkan fasilitas lengkap, layaknya sebuah apartemen atau hotel. Dengan uang masuk berbelas sampai berpuluh juta rupiah dan biaya bulanan jutaan rupiah. Mereka menyajikan makanan enak, jasa loundry pakaian santri dan fasilitas lainnya untuk memanjakan santri.

            Melihat kondisi di atas, sebagai mantan santri ‘jadul’, saya jadi berpikir dan bertanya-tanya, apakah tujuan dan misi utama Pesantren sudah berubah saat ini?  Dengan segala fasilitas dan layanan yang ditawarkan, saya melihat justru para santrinya menjadi manja dan kurang memiliki mental yang kuat.

            Hal ini saya alami, karena saya menyekolahkan anak saya di Pesantren semacam di atas. Demikan juga yang dialami oleh beberapa teman saya yang menyekolakan anaknya di Pesantren-Pesantren yang cukup ‘mewah’.        

            Anak-anak lebih cenderung dan dominan terisi kepalanya atau aspek kognitifnya saja. Mereka hebat di hafalan Al Qur’an, berbahasa Arab/Inggris dan menguasai berbagai mata pelajaran, tetapi lemah di sikap mental. Sikap-sikap seperti, disiplin, tanggung jawab, berani tampil, sederhana, peduli, sopan santun dan ramah, rasanya kurang muncul.

            Pondok Pesantren Pabelan sudah puluhan tahun berdiri. Tentu saja sudah melahirkan ribuan alumni. Mereka sudah bertebaran di mana-mana dan mendulang kesuksesan.          

            Banyak yang sudah menjadi dosen senior di beberapa Universitas dengan gelar Doctor. Seperti, DR. Dindin Solahudin di UIN Sunan Gunung Djati Bandung dan DR. Uki Sukiman di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Bahkan, ada beberapa yang sudah menjadi guru besar dan rektor seperi, DR. Komaruddin Hidayat Di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Selain itu, banyak juga yang sudah menjadi pimpinan Pondok Pesantren.

            Di bidang entertainment dan broadcasting, beberapa alumni juga turut meramaikanya seperti,  Mas Agus Haidir (almarhum), Mas Khairul Umam dan Mas Imam santoso (kabar terakhir Mas Imam menjadi penggiat obat herbal yang ditayangkan di beberapa stasiun TV). Tak ketinggalan juga Kang Shaleh Mara dengan sejumlah lukisan dan gambarnya.

            Sejumlah nama alumni di atas, hanya sebagian kecilnya saja. Tentu masih banyak alumni yang sudah meraih kesuksesan dalam bidangnya masing-masing.

            3,5 tahun bisa dikatakan kurun waktu yang tidak terlalu lama, tetapi meninggalkan sejuta jejak kenangan. Juga, menorehkan segudang pelajaran berharga dalam hidup saya, sebagai bekal menapaki episode kehidupan selanjutnya. Pertengahan 1987, saya meninggalkan Pondok Pabelan.

            Melalui Memoar ini, izinkan saya menghaturkan sebuah hadiah, berupa rangkaian kalimat do’a, khusus untuk sang guru kehidupan, K.H Hamam Ja’far, semoga apa yang telah beliau tanam, menjadi wasilah ditempatkannya beliau di tempat mulia di sisi-Nya dan diangkat derajat setinggi-tingginya.

            Untuk para ustadz dan kakak-kakak pendamping yang telah membina saya, walaupun sudah puluhan tahun kita tak pernah berjumpa lagi, semoga jasa-jasa kalian, tetap menjadi amal jariyah dan terus mengalir sampai ke alam barzah nanti. Aamiin.

                                                                       

(Memoar yaitu sepenggalan kisah perjalanan kehidupan seseorang yang berdasarkan pada kenyataan. Demikian juga tulisan di atas merupakan penggalan kisah perjalanan hidup penulis,. Harapan penulis tulisan ini dapat memberi inspirasi kepada semua Sahabat " Kitabisa". 

Nantikan Memoar : Tangisan itu Berujung Senyuman part 3 dengan judul: 

"Tinta Emas Generasi Awal Ma'had Arafah"


Contact Person Blogger/Penulis: Ahmad Khoibar
HP/WA : 082283790651

The Real Tolerance of SD YPPI

Free kinds of fhotos snd videos...

https://www.pexels.com/id-id/@ahmad-khoibar-115812776/