kitabisa
Rabu, 29 Juni 2022
Minggu, 22 Mei 2022
Benefits of Guava Leaves
1.
Prevent diarrhea. ...
6.
Lowering high blood pressure. ...
If you need guava leaves from
Indonesia, you can contact me at ahmadkhoibar10@gmail.com
or my WA: +6282283790651
Manfaat Daun Jambu Biji
1. Mencegah diare. ...
2. Menurunkan kolesterol. ...
3. Mencegah diabetes. ...
4. Mencegah kanker. ...
5. Mengobati flu. ...
6. Menurunkan tekanan darah
tinggi. ...
7. Meningkatkan kesuburan.
Rabu, 18 Mei 2022
Kamis, 06 Januari 2022
Memoar: Tangisan itu Berujung Senyuman Part 7 : Judul : The Real Tolerance of SD YPPI Perawang-Riau
Bab VII
The Real Tolerance of
SD YPPI Perawang-Riau
Tak terasa sampai hari ini, sudah 14 tahun lebih saya menjadi guru tetap yayasan di SD YPPI Perawang. Meskipun lokasinya cukup jauh dari Pekanbaru sebagai ibu kota Provinsi, namun sekolah ini cukup dikenal di wilayah Riau, terlebih di kabupaten Siak.
Yang
membuat sekolah ini cukup dikenal sekaligus disegani, karena segudang prestasi
yang telah ditorehkan oleh para siswanya, terutama dalam bidang akademik.
Setiap
tahunnya selalu ada siswa SD YPPI yang lolos seleksi olimpiade matematika atau
sains, mulai tingkat kabupaten sampai tingkat nasional. Bahkan, beberapa kali
menyabet medali di ajang olimpiade tingkat nasional. Padahal, persaingan untuk
lolos, sangatlah berat dan ketat.
Lawan-lawannya pun banyak dari sekolah-sekolah
elit dan ternama, terutama yang ada di Pekanbaru seperti, SD Santa Maria, SD
Global, SD Al Azhar, SD Darma Yuda, SD Islam Al Ittihad, SD Cendana Chevron, SD
Mutiara Duri dan masih banyak lagi sekolah bagus lainnya.
SD
YPPI sendiri bisa dibilang bukan termasuk sekolah elit, bila dilihat dari segi
fasilitas yang dimiliki dan dari besaran uang SPPnya. Fasilitasnya, memang bisa
dikatakan lengkap, tapi tidak mewah. Bahkan, boleh dibilang standar.
Sementara
uang SPP bulanan siswa, tidak mahal untuk ukuran sekolah swasta di daerah Riau.
Bahkan, sekolah-sekolah swasta lain, banyak yang jauh lebih mahal.
1
Januari 2007, pertama saya mengajar di SD YPPI. Untuk diterima menjadi guru di
sekolah ini cukup sulit. Yang namanya’KKN’ tidak berlaku di sini.
Proses seleksi terdiri dari dua tahap. Pertama, tes psiklogi secara tertulis dan kedua, tes wawancara langsung. Ketika sesi wawancara, ada enam orang yang hadir mewawancarai saya. Tiga orang dari pihak yayasan, kepala sekolah SD,

Dokumen Pribadi: Pemberian penghargaan dari Dinas Pendidikan kabupaten Siak kepadaTim Olimpiade SD YPPI mewakili Kab. Siak untuk tingkat Provinsi Riau.
(Tim olimpade Matematika dam Sains didampingi Kepala Sekolah & Guru Pembina. Mereka para pemenang olimpiade matematika dan sains tingkat Kabupaten Siak tahun 2018, sekaligus mewakili kabupaten Siak untuk tingkat Provinsi. Salah seorang lolos ke tingkat Nasional di Kota Padang Sumatra Barat).
kepala Sekolah SMP dan kepala
sekolah SMP. Masing-masing mengajukan pertanyaan kepada saya, mengenai berbagai
hal yang berkaitan dengan pendidikan, termasuk soal gaji.
Menurut
salah seorang panitia seleksi, hasil tes akan diberitahukan seminggu kemudian.
Jika dalam satu minggu tidak dikontak, berarti tidak diterima. Al hamdulilah,
baru tiga hari, datang seseorang mengantarkan sebuah surat ke kontrakan adik
saya, tempat saya menumpang sementara.
Ketika
saya buka surat itu, isinya menyatakan bahwa saya diterima sebagai tanaga
pendidik di yayasan tersebut. Sebelum dikeluarkan SK tetap yayasan, selama enam
bulan saya harus menjalani masa percobaan. Bila dinilai kurang memadai, bisa
saja SK tersebut tidak dikeluarkan atau tidak jadi diterima. Jadi, selama masa
percobaan ini, bisa dikatakan posisi belum aman.
1
Januari 2007, Senin pagi, pertama saya masuk sekolah. Kegiatan pertama saya
mengikuti upacara bendera. Saya berdiri di barisan para guru, menghadap barisan
para siswa. Sejenak saya terkesima menyaksikan begitu banyaknya siswa.
Pak
Agus, salah seorang guru yang berdiri di samping saya, seolah tahu saya sedang
terkesima dengan jumlah siswa sebanyak itu. Lalu, ia berbicara pelan dekat
telinga saya, “ini baru setengahnya pak Ahmad, ini baru shift pagi kelas 4,5
dan 6. Setengahnya lagi nanti shift siang, kelas 1,2 dan 3.” Mendengar
informasi dari pak Agus tadi, saya semakin terbelalak sambil menggelengkan
kepala.
Jumlah
siswa SD YPPI saat itu mencapai 2400 siswa. Terdiri dari dua shif seperti yang
diceritakan pak Agus tadi. Shif pagi mulai pukul 07.00 sampai pukul 12.15 kelas
4-6 dan shif siang mulai pukul 13.00 sampai pukul 17.15 kelas 1-3.
Setiap
tingkat ada 11 rombel atau kelas dan setiap kelas berjumlah rata-rata 37 siswa.
Sedangkan gurunya, di luar tenaga kependidika berjumlah 72 orang.
Saya
tidak tahu, apakah di Indonesia, ada Sekolah Dasar yang siswanya melebihi
jumlah siswa yang dimiliki oleh SD YPPI ini? Yang pasti saat itu, di Provinsi
Riau, inilah Sekolah Dasar/SD dengan jumlah siswa terbanyak.
Seiring
berjalannya waktu dan terkait peraturan pemerintah, dalam hal ini peraturan
Mendiknas, Selama lima tahun terakhir, penerimaan siswa baru setiap tahunnya
berangsur dibatasi. Tujuannya, untuk mengurangi jumlah rombel dan jumlah siswa
per kelasnya.
Jadi,
selama lima tahun terakhir ini, secara bertahap jumlah rombel maupun jumlah
siswa per kelas mulai berkurang. Kalau di awal-awal saya masuk, jumlah rombel
atau kelas mencapai 67 kelas, dengan jumlah siswa per kelasnya rata-rata 37
orang dan total jumlah siswa mencapa 2400 orang, maka saat ini (2021), sekolah
ini hanya memiliki 42` rombel, dengan jumlah siswa per kelas rata-rata 26
siswa. Sedangkan total jumlah siswa sekitar 1000 siswa. Bahkan, kabarnya, masih
akan ada pengurangan untuk satu, dua tahun kedepan.
Akibat
dari pengurangan siswa ini, tentu saja berdampak pada jumlah rombongan
belajar/rombel atau kelas. Berkurangnya jumlah kelas berakibat berkurang banyak
jumlah jam mengajar.
Hal
ini tentu menyebabkan kelebihan guru. Konsekuensinya, selama lima tahun
terakhir ini, harus ada dua atau tiga orang guru yang dirumahkan setiap
tahunnya.
Jadi,
dalam menjalankan tugas, saya dan teman-teman guru yang masih dipertahankan,
merasa was-was dan tidak tenang. Terkadang menjadi beban pikiran,
jangan-jangan, tahun depan dapat giliran dirumahkan alias dipecat.
Itulah
nasib guru swata. Kapanpun tidak dibutuhkan, bisa langsung diberhentikan. Jadi,
bagi yang merasa sering tidak hadir dan kinerjanya kurang bagus, harap
bersiap-siap angkat kaki dari sekolah ini, meskipun masih betah.
Dokumen pribadi. Tim Pengajar SDS YPPI Perawang
Kab. Siak Riau.
Dokumen pribadi. Tim Pengajar SDS YPPI Perawang Kab. Siak Riau.
Apapun
ceritanya, saya merasa beruntung dan bersyukur bisa bergabung dengan keluarga
besar Yayasan Pendidikan Persada Indah/YPPI Perawang. Selain itu, saya juga
beruntung bisa menjadi guru di daerah kabupaten Siak-Riau.
Adapun yang menjadi alasan utamanya adalah,
karena saya digaji dengan layak. Selain gaji bulanan, yayasan memberi THR
sebulan gaji setiap hari raya. Kemudian sebelum peraturan harus bergabung
dengan BPJS, saya mendapat asuransi kesehatan yang layak, jaminan sosial tenaga
kerja, dana pensiun dan SHU koperasi sekolah setiap tahun.
Selain
semua yang didapatkan dari yayasan tersebut di atas, saya pun mendapat
tunjangan dari Pemda kabupaten Siak, yang bernama dana rombel. Kalau dulu,
namanya honor daerah.
Dana
ini merupakan bantuan rutin Pemda Siak untuk sekolah-sekolah swasta. Adapun
jumlahnya, tergantung banyaknya jumlah rombel yang dimiliki oleh sebuah
sekolah.
Saya
menilai, Pemda kabupaten Siak sangat fokus dalam peningkatan bidang pendidikan,
kesehatan dan bidang keagamaan. Khusus untuk bidang pendidikan dan keagamaan,
sudah cukup banyak program dan kucuran dana yang dikeluarkan. Bahkan, tidak hanya guru yang mengajar
di sekolah-seklah formal saja, tetapi semua guru yang mengajar di MDA/MDTA/TPA,
takmir/garim masjid, semua mendapat tunjangan dari Pemda Siak, asalkan
identitas yang bersangkutan tercata namanya.
SD
YPPI merupakan sebuah yayasan yang bernaung di bawah PT. Indah Kiat Pulp &
Paper (Grup Sinar Mas). Saat ini yayasan membawahi empat unit jenjang
pendidikan, mulai TK, SD, SMP dan SMK.
Saya sendiri ditempatkan di SD. saya mengajar
Pendidikan Agama Islam bersama enam orang guru agama Islam yang lain (saat ini tinggal
5 orang). Selain itu saya mengajar muatan lokal Arab Melayu dan terkadang
diperbantukan mengajar materi bahasa Inggris.
SD
YPPI merupakan sekolah dasar umum. Siswanya terdiri dari berbagai suku dan
agama, seperti suku Minang, suku Batak, suku Jawa, suku Melayu dan etnis
keturunan Cina. Sedangkan berdasarkan agama, terdiri dari Islam, Budha dan
Kristen. Adapun penganut mayoritas, siswa beraga Islam.
Dalam
pergaulan sehari-hari, para siswa yang berlainan suku dan agama itu, berbaur
menjadi satu. Komposisi dalam kelas pun becampur. Ada yang tiga agama sekaligus
dalam satu kelas, ada yang dua agama dan ada yang satu agama saja. Semuanya,
tergantung pada kondisi.
SD
YPPI mengangkat guru agama dari semua agama yang ada di sekolah tersebut.
Seluruh guru agama, baik guru agama Islam, Kristen maupun Budha, sering
berkumpul bersama jika menghadapai hari-hari besar keagamaan. Kadang-kadang
diselingi makan bersama dan bersenda gurau. Menurut saya, ini sebuah
pemandangan yang jarang ditemukan.
Jika
masuk jam pelajaran agama, untuk siswa yang beragama Islam, belajar agama tetap
di dalam kelas atau di mushalla. Sementara yang beragama Kristen dan Budha
masuk ke ruang agama masing-masing yang sudah disediakan oleh pihak sekolah.
Ketika
terjadi perselisihan atau pertikaian di antara siswa, hampir tidak pernah
disebabkan oleh masalah agama atau suku. Perselisihan terjadi biasanya
disebabkan oleh hal-hal yang bersifat umum, seperti mengejek nama orang tua
atau karena dorong-dorongan yang umumnya terjadi pada anak-anak.
Saya,
bersama guru agama yang berlainan agama, memang sepakat untuk bertindak tegas,
terhadap siswa yang berselisih karena agama dan suku.
Setiap hari Jum’at pagi, Sekolah mengadakan siraman rohani, biasa disingkat SR. Seluruh siswa yang beragama Islam, duduk rapi di halaman sekolah. Yang laki-laki, duduk rapih sesuai kelas masing-masing di bagian depan. Sementara yang
perempuan, duduk seperi yang
laki-laki di bagian belakang. Acara bervariasi, kadang membaca yasin berjamaah,
membaca shalawat nabi, membaca dzikir, penampilan puisi, lagu religi, tilawah,
tahfidz serta mendengarkan tausiah dan nasihat dari guru. Suara lantunan
shalawat dan dzikir pun terdengar menggema.
Di
dalam ruangan agama Kristen, juga dilakukan hal yang sama sesuai ajaran dan
keyakinan mereka. Lagu-lagu rohani dilantunkan dengan nyaring dan penuh semangat.
Sementara, di sampingnya, di ruangan agama Budha, sedang dibacakan
kalimat-kalimat suci mereka dengan suara nyaring juga, sambil merapatkan kedua
telapak tangan dan memejamkan mata.
Ketika
saya tidak sedang bertugas mengisi acara siraman rohani, sesekali saya
berkeliling untuk mengamati kegiatan. Dari tengah lapangan sekolah, terdengar
gemuruh suara siswa-siswa yang beragama Islam sedang membacakan shalawat atau
dzikir. Lalu, ditimpal dengan suara lantunan lagu-lagu rohani siswa-siswa yang
beragam Kristen. Para siswa yang beragama Budha pun, tidak mau ketinggalan,
mereka membacakan kalimat suci dengan suara nyaring juga. Semua saling
bersahutan karena jarak mereka berdekatan.
Saya
rasa ini sebuah pemandangan spiritual yang luar biasa. Meskipun mereka berbeda,
namun mereka mampu menampilkan harmoni kedamaian dan sebuah tontonan mulia yang
jarang ditemukan di tempat lain.
Hasil
olimpiade matematika tahun 2018/2019 tingkat Provinsi Riau, alhamdulillah,
ketiga-tiganya diwakili siswa SD YPPI yaitu Keila, Melani dan Nicholas. Keila
yang juga anak kandung saya, keturunan suku Sunda beragam Islam, Melani,
keturunan Cina beragam Kristen, sementara Nicholas, keturunan Cina beragama
Budha. Meskipun mereka berbeda latar belakang suku dan agama, mereka tidak pernah
berselisih masalah agama. Mereka hidup rukun dan damai.
Menjelang
olimpiade tingkat Provinsi Riau, Dinas Pendidikan Kabupaten Siak, mengundang
mereka bertiga, untuk melakukan pembinaan di kota Siak selama satu minggu. Untuk
pembinanya, didatangkan seorang dosen dari Universitas Riau. Dosen tersebut sudah
berpengalaman menangani team olimpiade matematika.
Di
Siak, mereka bertiga tinggal di sebuah hotel dan didampingi oleh guru pembina,
pak Surya Saputra. Keila, satu kamar dengan Melani. Sementara Nicholas satu kamar
dengan salah seorang peserta olimpiade bidang sains, yang kebetulan anak
laki-laki.
Ketika
saya dan istri berkunjung ke sana, mereka bercerita, setiap hari Melani
mengingatkan keila untuk shalat. Bahkan, ia setiap hari membangunkan Keila untuk
shalat subuh.
Begitulah
sikap toleransi yang diwujudkan dalam sikap keseharian. Sungguh betapa indah
dilihatnya. Dari ketiga siswa itu, alhamdulillah, Nicholas lolos tingkat Provinsi
dan sekaligus mewakili Provinsi Riau untuk olimpiade tingkat nasional, yang
diselenggarakan di kota Padang Provinsi Sumatra Barat.
Inilah
wujud sikap toleransi yang sesungguhnya. Ya, inilah the real tolerance, yang benar-benar nyata diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari, bukan hanya sekedar retorika penghias bibir dan juga
bukan kumpulan teori basi.
Dulu,
semasa saya masih kecil, saat masih sekolah di SD, di kampung halaman,
toleransi diajarkan hanya sebatas pada buku pelajaran tentang kerukunan umat
beragama. Sementara realitanya, saya sebagai anak muslim, tak pernah dan sulit
bergaul dengan orang-orang non muslim.
Saya
lihat, kehidupan sudah terkotak-kotak seolah tersekat oleh tembok yang kokoh.
Anak-anak yang beragama Kristen, sekolah di komunitas mereka sendiri. Demikian
juga dengan anak-anak yang beragama Islam, Hindu dan Budha. Sekolah-sekolah
negeri hampir kebanyakan dipenuhi oleh siswa-siswa yang beragama Islam.
Orang-orang
keturunan Cina, punya komunitas sendiri dalam berbagai hal. Demikian juga di
lingkungan masyarakat, semuanya serba terkotak-kotak. Tidak pernah ada
pembauran seperti yang kulihat di tanah Melayu ini, khususnya di kota Perawang.
Satu
hal yang membuat hati ini teriris bercampur marah, saat saya menyaksikan
prilaku, yang justru kontadiktif dengan suasana yang sudah terbangun di sekolah
ini.
Prilaku
yang dimaksud, berupa seringnya muncul orang-orang yang tidak bertanggung jawab
melecehkan simbol-simbol agama. Pelecehan-pelecehan itu dipublikasikan lewat
media sosial, yang tentu saja mudah diakses oleh para siswa.
Yang
lebih menyedihkan lagi, ada semacam sikap pembiaran dari pihak yang berkuasa.
Selain itu, ada kesan kurang tegas aparat terhadap terhadap pelaku-pelaku
pemecah belah bangsa ini.
Bila
sikap pembiaran oleh penguasa dan kurang tegasnya aparat berwenang terhadap
prilaku pelecehan agama, seperti yang sudah-sudah, saya khawatir, nilai-nilai
toleransi yang sudah saya bangun dengan susah payah, bersama teman-teman lintas
agama di tempat saya mengajar, akan sia-sia semuanya dan tak berarti apa-apa.
Ibarat sebuah pohon yang sudah dipupuk, disiram dan dirawat sejak kecil,
ternyata, ketika sudah tumbuh besar, ia dirusak, dipatahkan bahkan ditebang.
( Memoar adalah sepenggal
perjalanan hidup seseorang/tokoh. Demikian juga tulisan ini merupakan sepenggal
atau satu episode perjalanan hidup penulis. Harpan penulis, semoga memoar
sederhana ini dapat bermanfaat dan memberi inspirasi buat sahabat "KItabisa")
Nantikan Memoar: Tangisan itu
Berujung Senyuman Part 8 /Part terakhir dengan judul :
Dalam Sehari Makan di 3 Negara
Kontak
Penulis/Blogger : 0822 8379 0651
Kamis, 30 Desember 2021
Memoar: Tangisan itu Berujung Senyuman Part 6 : Jalan Terjal Sang Guru Honorer oleh : Ahmad Khoibar
Part: 6
Jalan
Terjal Sang Guru Honorer.
Oleh: Ahmad Khoibar
Menjelang
selesai kuliah, Juli 1996 saya mulai menjadi
guru honorer di salah satu SMP Negeri dekat tempat tinggal saya. Kegiatan
tambahan di rumah, saya membuka les
bahasa Inggris. Selain itu, saya juga menjadi guru privat ke beberapa rumah.
Pekerjaan itu masih saya jalani sampai berumah tangga.
Saat
itu, Juli 1996, awal ajaran baru dimulai. Dengan pakaian seragam PDL baru yang
dikasih pihak sekolah, saya pun merasa bangga mengawali tugas pertama mengajar,
sebagai guru honorer di SMP Negeri I Cisarua, Kabupaten Bandung. (saat ini
Kabupaten Bandung Barat).
Hari
Senin pagi, semua warga sekolah berkumpul di halaman sekolah untuk mengikuti
upacara bendera. Saya berdiri di barisan para guru. Saya tertegun melihat deretan
barisan siswa yang cukup banyak.
Ada
sekitar seribuan lebih tercatat sebagai siswa SMP Negeri I Cisarua waktu itu.
Karena jumlah siswanya banyak, saat itu dibagi dua rombongan belajar. Kelas 2
dan 3 masuk pagi, mulai pukul 07 sampai pukul 12.10, sementara kelas 1, masuk
pukul 01 siang sampai pukul 05:15 sore. Saat itu belum ada istilah kelas 7,8
dan 9.
Ketika
upacara bendera selesai, wakil Kepala Sekolah memperkenalkan saya kepada
guru-guru dan seluruh siswa yang hadir di lapangan upacara. Kehadiran saya
disambut hangat oleh para siswa, karena waktu itu saya masih muda dan lajang.
Umur saya waktu itu 24 tahun. Biasanya anak-anak SMP lebih suka dengan guru
yang masih muda dan lajang.
Kenyataannya
memang saya rasakan. Saya cukup dekat dengan anak-anak. Pada jam istirahat,
Saya sering ikut nimbrung duduk dengan mereka, ngobrol sana sini,
terkadang main gitar bersama. Jika ada kegiatan ekstra di luar jam pelajaran,
saya sering turut hadir.
Pada
awalnya, saya mau melamar menjadi guru honorer di Madrasah Tsanawiyah, tempat
ayah saya bertugas sebelum masa pensiunnya. Di sana, saya bisa mengajar
pelajaran Bahasa Arab sesuai jurusan saya di kampus.
Tetapi,
salah seorang saudara saya yang bekerja sebagai kepala Tata Usaha di SMP negeri
I Cisarua, meminta saya untuk mengajar PAI di sana. Alasannya, di sekolah itu
kekurangan guru agama Islam.
Dari seribuan siswa, hanya ada dua orang guru agama. Yang satu, mantan guru agama PNS di situ dan satu lagi, tugas aslinya guru agama PNS di sebuah SD
Negeri, tetapi sore harinya menjadi
guru honor di SMP. Jadi, tiga orang guru agama di SMPN I Cisarua waktu itu,
termasuk saya, semuanya berstatus guru honorer.
Menghadapi
siswa seusia anak-anak SMP memang tidak mudah. Mereka masih labil, mudah
terpengaruh, serba ingin mencoba sesuatu, belum punya filter diri yang kuat dan
sedikit ego. Tentu saja saya harus menyiapkan berbagai teknik dan strategi
setiap memasuki kelas.
Kendalanya
adalah, alokasi waktu pelajaran agama di SMP waktu itu, hanya 2 jam pelajaran (2x45
menit) per minggu. Sementara berbagai pengaruh negatif, mulai dari tayangan
televisi dan lingkungan pergaulan cukup kuat.
Memang,
di tahun-tahun itu, internet belum booming seperti sekarang. Tetapi,
kedua pengaruh yang saya sebut di atas tadi sangat kuat. Sialnya, kalau ada
prilaku menyimpang atau tindakan amoral yang dilakukan siswa, biasanya
guru-guru agama yang menjadi sorotan dan limpahan kesalahan.
Saat
itu, bukannya saya dan guru-guru agama ingin lari dari tanggung jawab, Tapi
coba bayangkan, guru agama di sekolah hanya 90 menit per minggu membimbing
mereka. Kalau dihitung dari pagi sampai siang, paling-paling hanya 5 jam saja. Selebihnya
para siswa menghabiskan waktu di luar sekolah. Tentu, pengaruh negatifnya jauh
lebih kuat.
Pertama
kali masuk, saya ditugaskan mengajar di 9 kelas. Dalam satu kelas ada sekitar
35 siswa. Karena sekolah umum, dalam satu kelas bercampur siswa laki-laki dan
perempuan.
Lain
orang lain karakter. Tentu saja dari 35 siswa di kelas, ada berbagai macam
karakater. Ada yang super pendiam, penurut, bawel, pintar, lambat, super usil, yang hobinya mengadu dan ada yang
pandai cari muka.
Tentu
saja, saya pun harus menghadapi mereka dengan berbagai pendekatan. Namun, pada
umumnya, anak-anak seusia itu paling senang didengarkan keluhannya. Selain itu,
sedikit pujian atas prestasi mereka, dapat melejitkan rasa percaya diri mereka.
Intinya, saya berusaha masuk ke dunia mereka.
Karena
saya punya kemampuan bermain gitar, meskipun tidak kategori mahir, terkadang
saya masuk kelas membawa gitar. Sebelum pelajaran dimulai saya lantunkan sebuah
lagu yang disesuaikan dengan tema pelajaran yang akan dibahas. Misalnya, saat akan membahas tema iman kepada
rasul-rasul Allah, saya lantunkan dulu sebuah lagu berjudul ‘Rindu Rasul’ karya
Bimbo. Terkandang saya ditemani siswa yang pandai bernyanyi.
Selain
itu, sesekali saya bacakan sebuah puisi yang berkaitan dengan tema pembahasan.
Dengan cara-cara seperti di atas, alhamdulillah anak-anak didik merespon dengan
semangat dan mereka terhindar dari kejenuhan belajar.
Yang
agak menggelitik, selama saya mengajar di SMP, kadang ada beberapa guru
perempuan yang sudah berumah tangga, ‘curhat’ mengutarakan masalah rumah tangga
mereka pada saya. Mereka bilang, ketika berbicara dengan saya, suasananya
nyaman dan selalu memberi solusi.
Saya
pun heran, ‘kok’ bisa mereka bicara seperti itu. Padahal saya belum berumah
tangga saat itu. Mungkin, kalau saya sudah menikah dan menghadapi masalah yang
sama, belum tentu juga saya juga mampu menyelesesaikan.
Saat-saat
paling menyenangkan bagi guru-guru honorer waktu itu, ketika uang kelebihan jam
mengajar cair dari pemerintah. Biasanya cair sekali enam bulan. Alasannya, kalau guru-guru PNS dibayar
hanya kelebihan jam mengajar dari jam wajib mengajar, sementara guru honorer,
dibayar secara keseluruhan jam mengajarnya.
Misalnya,
seorang guru PNS mengajar 30 jam pelajaran, maka ia hanya dibayar 4 jam pelajaran dikali 6 bulan,
mengingat jam wajib mengajar 24 jam pelajaran. Untuk guru honorer, misalnya ia
mengajar 36 jam pelajaran, maka itulah yang dibayar, 36 Jam Pelajaran dikali
enam bulan.
Kalau
diuangakan, waktu itu saya mendapat sekitar 600 ribu rupiah per enam bulan. Uang
sejumlah itu, lumayan besar untuk ukuran guru honorer, karena sama dengan enam
bulan honor mengajar.
Di
bulan-bulan awal bertugas, saya begitu semangat dalam mengajar dan merasa
bangga menjadi guru. Alasannya, pertama, saya bisa mengamalkan ilmu yang saya
dapat dan kedua, saya tidak menjadi salah satu, dari sekian banyak pengangguran
baru di negeri ini.
Sudah
bukan rahasia lagi, di negeri ini banyak pengangguran, termasuk para
sarjananya. Saya tidak tahu penyebabnya, apakah karena kegagalan pemerintah
mengurus rakyatnya, atau karena sistem pendidikan yang salah, atau karena
mental generasi mudanya yang hanya memiliki mental pekerja dan tidak ada
keinginan menjadi wirausaha.
Yang
pasti, sepanjang ingatan saya, selama di bangku sekolah, mulai SD sampai
perguruan tinggi, saya tidak pernah diajarkan ilmu kecerdasan finansial atau
bagaimana cara mengolah kegagalan menjadi sebuah kesuksesan.
Kebanggaan
menjadi guru, ternyata hanya bertahan beberapa tahun saja dalam jiwa saya.
Secara perlahan tapi pasti, rasa bangga itu mulai menurun, memudar dan akhirnya
sirna. Selanjutnya, yang saya rasa hanya minder
dan rendah diri di hadapan orang, apalagi saat bertemu teman-teman lama,
yang berbeda profesi dan berpenghasilan besar.
Hal
lain yang membuat saya minder
jadi guru honorer, ketika setiap pergi dan pulang sekolah, saya harus super
sabar menunggu angkutan umum lewat, bersama para siswa. Jika dapat angkutan,
saya pun harus duduk berdesak-desakkan dengan mereka.
Yang
lebih terasa pahit lagi, kalau ada wali murid yang menjemput anaknya dengan
roda empat, kemudian, ia berlalu begitu
saja, cuek melewati saya yang lagi berdiri menunggu angkutan umum, .
Alih-alih menawarkan tumpangan, basa-basi pun tidak.
Soal
honor, jangan ditanya. Kalau tidak ada cashbon di koperasi sekolah, saya baru
dapat honor utuh. Berapa utuhnya? 100 ribu rupiah per bulan. Kalau pas
kebetulan ada cashbon, yang diterima tinggal sisanya saja.
Dalam
kesendirian kadang saya merenung, kenapa ada orang yang mau jadi tenaga honorer
dengan upah paling tinggi 200 ribu rupiah per bulan selama bertahun-tahun?
Di sekolah tempat saya mengajar, rupanya ada
sekitar 8 orang tenaga honorer. Dua orang di antaranya sudah cukup lama
mengabdi. Yang satu, sebagai guru, sudah 10 tahunan dan satu lagi sebagai staf
TU, sudah hampir15 tahun.
Saya
tahu, impian mereka satu, yaitu ingin diangkat jadi pegawai negeri sipil (PNS).
Kalau sekarang ASN. Sering muncul pertanyaan dalam benak saya, apakah kalau
tidak menjadi ASN, lantas kehidupan mereka akan berakhir, sehingga harus rela
mengorbankan waktu begitu lama , dalam kubangan penantian yang tidak pasti?
Atau, apakah kalau tidak jadi ASN,
lantas dunia ini akan kiamat? Atau, apakah tidak ada pekerjaan lainnya yang
lebih menjanjikan kesejahteraan, ketimbang harus makan hati dan mengorbankan
waktu berbelas-belas tahun?
Karena
saya merasa honor terlalu kecil, tahun 2000 saya berhenti mengajar di SMP. Selanjutnya saya mengajar di tiga SD
sekaligus sampai tahun 2005.
Honor
yang saya dapat ketika mengajar di SMP 100 ribu rupiah per bulan. Sementara
dari tiga SD, saya dapat honor 300 ribu rupiah . Dari les di rumah, saya terima
kira-kira sekitar 500 ribuan/ bulan dari 20-25 siswa dan dari les privat
sekitar 200 ribuan. Jika ditotal, semua kurang lebih satu jutaan rupaih.
Waktu
itu, guru honorer masih boleh datang ke sekolah sesuai jadwal mengajar. Di SD,
saya mengajar bahasa Inggris. Karena pelajaran ini baru masuk kurikulum SD,
kelas yang diajar pun, baru kelas 4-6.
Alokasi
waktu pelajaran bahasa Inggris di SD, dua jam pelajaran dalam satu minggu.
Setiap tingkat hanya ada satu kelas. Jadi, untuk satu sekolah, bisa dibuat
jadwal satu hari dalam sepekan. Karena itu, saya bisa mengajar di tiga sekolah
sekaligus. Honor yang saya terima, tentu saja sangat jauh dari layak.
Berkali-kali lipat jauh, jika dibanding dengan guru pegawai negeri sipil (PNS).
Sempat
di ruangan TU sekolah, secara tak sengaja saya melihat daftar gaji PNS waktu
itu. Ternyata yang paling kecilnya saja, gaji pokonya sudah mencapai 1,5 juta
rupiah. Padahal dalam menjalankan tugas tidak ada yang berbeda, bahkan biasanya
guru honorer lebih sibuk.
Ketika
saya masih lajang, penghasilan gabungan dari honor mengajar di sekolah, buka
les bahasa Inggris dan mengajar privat, meskipun tak banyak, tapi terasa masih
cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Terlebih, sejak kecil saya sudah terbiasa
hidup apa adanya dan tidak biasa membeli barang-barang mahal.
Iyalah
cukup, karena waktu itu saya belum
memikirkan biaya makan, tempat tinggal dan kebutuhan rumah tangga lainnya.
Semuanya masih numpang sama orang tua.
Beban
ekonomi mulai terasa berat ketika saya mulai berumah tangga. Di awal-awal
berumah tangga, beban itu belum terasa, karena uang pemberian dari
saudara-saudara saya dan simpanan pribadi istri saya masih ada.
Setelah
beberapa bulan berjalan, beban hidup ini mulai terasa. Istri saya terpaksa
harus pandai mengatur uang penghasilan saya yang tak seberapa itu.
Saat
itu istri saya masih kuliah semester 4. Setiap hari ia harus pergi ke kampus,
dua kali naik angkutan umum. Kalau pulang pergi, berarti empat kali. Tentu
membutuhkan ongkos. Jika kuliah sampai sore, tentu harus bawa uang lebih untuk
sekedar mengganjal perut di siang hari. Sedikitnya ia harus bawa bekal uang
25-30ribu rupiah
Selain
itu, saya juga harus memikirkan biaya makan sehari-hari dan kebutuhan pribadi
istri. Yang namanya sudah berumah tangga, tentu saya tidak bisa terus
merepotkan ibu saya. Minimal saya harus mencukupi keperluan sendiri dan istri.
Kalau
ibu saya, alhamdulilah, untuk keperluan sehari-harinya, dapat peninggalan uang
pensiun dari almarhum ayah saya. Selain itu, ibu membuka warung kecil-kecilan di rumah.
Beban
itu semakin terasa lagi, ketika istri saya mulai mengandung, karena ia harus
rutin memeriksakan kandungannya ke bidan. Belum lagi harus rutin minum susu ibu
hamil.
Sebenarnya,
biaya periksa kehamilan ke bidan tak mahal, bahkan mungkin bisa dibilang murah.
Waktu itu, biaya sekali periksa kira-kira 30-35 ribu rupiah. Tapi, karena
minimnya penghasilan saya, semuanya jadi terasa berat.
Satu
hal lagi, yang cukup mengiris hati saya, pernah beberapa hari, sama sekali tak
ada uang pegangan di kantong saya. Sampai-sampai popok buat si kecil yang baru
lahir pun, tak sanggup saya beli. Akhirnya saya harus berkali-kali mengganti
kain, kalau ia pipis atau bab.
Setiap
kali Zahra, anak saya, deman, saya dan istri berupaya menyembuhkan sendiri
dengan sering-sering mengkompres seluruh badanya menggunakan air hangat.
Kalaupun terpaksa harus dikasih obat, ya, paling-paling dikasih obat demam yang
dibeli dari warung dengan harga murah.
Jika
saya tidak lagi buru-buru pergi ke sekolah, saya sempatkan mengantar istri
sampai ke pinggir jalan, untuk menunggu angkutan umum lewat. Kebetulan rumah
orang tua saya tidak jauh dari jalan raya.
Menunggu
angkutan umum, tidak bisa dipastikan waktunya. Kadang-kadang lama, tapi kalau
lagi mujur, bisa sebentar. Itupun di dalamnya sudah penuh penumpang.
Setelah
istri saya berangkat, saya sering menarik nafas panjang sambil mengelus dada.
Saya sedih dan merasa berdosa, karena setelah menikah dengan saya,
modalkecil.blogspot.com
kehidupannya menjadi berubah
drastis. Yang semula senang, semua keinginan selalu terpenuhi dan dimanja di
keluarganya, tapi kini ia harus menjalani fase hidup yang serba irit,
pas-pasan, bahkan boleh dibilang serba kekurangan.
Ketika
saya mengajar di SMP selama empat tahun, jaraknya tidak terlalu jauh. Lokasi
sekolah di pinggir jalan raya. Jadi, untuk sampai di sana, cukup ongkos 2 ribu
saja.
Berbeda
saat saya mengajar di tiga SD. Semua lokasi cukup jauh dan semua lokasi masuk
ke perkampungan. Angkutan umum ada, tapi harus menunggu lama. Kalau naik ojek,
ongkosnya lumayan berat buat ukuran isi kantong saya saat itu dan tak sesuai dengan honor yang saya dapat.
Pilihannya,
tentu saja tak ada pilihan. Untuk menuju salah satu sekolah tempat saya
mengajar, saya harus berjalan kaki. Tujuannya, jelas untuk menghemat uang.
Perjalanan cukup memeras keringat, kurang lebih 6 atau 8 km jaraknya.
Untuk
menghemat waktu, saya pilih jalan memotong. Sebenarnya masih jauh juga.
Bedanya, jalan yang saya lalui ini sepi. Saya lalui Jalan setapak menyusuri
pinggiran sungai. Kalaupun ada rumah penduduk, hanya beberapa saja.
Sejak
kecil saya tidak terbiasa sarapan pagi. Kalaupun sesekali ada makanan yang masuk ke dalam perut, paling-paling,
sepotong roti atau pisang goreng. Itu pun jarang. Kalau dipaksakanan sarapan
berat nasi atau semacamnya, perut saya malah tidak enak.
Ketika
pagi hari berangkat mengajar dengan berjalan kaki, sarapan atau tidak, rasanya
tak ada masalah buat saya. Badan masih tetap segar. Tapi, ketika hari menjelang
siang, jam-jam istirahat anak sekolah, perut saya mulai keroncongan. Kalau kebetulan ada uang di saku,
saya beli jajanan di tempat anak sekolah biasanya jajan, atau pesan mie rebus
di tempat penjaga sekolah. Kalau tak ada uang, ya, terpaksa pura-pura kenyang
saja.
Saat
pulang, pukul 12.15, saya lalui jalan
yang sama. Berbeda dengan waktu berangkat. Sepanjang jalan pulang, udara terasa panas dan
keroncongan di perut saya alias lapar semakin menjadi-jadi.
Disepanjang
Jalan yang saya lalui, berjejer pohon bambu yang tinggi batangnya. Ketika
tertiup angin, terdengar suara riak-riak daunnya.
Dalam
perjalanan yang melelahkan ditemani rasa lapar, suara riak daun bambu itu
serasa terdengar, seperti sebuah irama yang menyanyikan nada sumbang. Nada itu
seoalah-olah berkata: ”Ya, rasakan saja anak muda, itu kan pilihan hidupmu,
jadi guru honorer.”
Lain
lagi rasanya, di saat saya melewati orang-orang yang lagi duduk-duduk, di
beranda rumah yang saya lewati. Saya tidak tahu apa makna pandangan mereka.
Siniskah? Ibakah? Atau kasihankah? Yang pasti, saya merasa tatapan mereka itu,
lain, dan saya selalu merasa minder setiap mengalami moment yang sama.
Tatapan
orang-orang itu, seakan-akan berbicara:”Sudahlah mas, berhenti sOkaja jadi guru
honorer. Cari kerjaan lain yang jauh lebih menjanjikan. Masa sekolah
tinggi-tinggi hanya dapat lelah dan uang recehan?”
Ya,
saya pun heran. Kenapa saya sebaper dan sesensitif ini. Apakah
ini efek dari rasa lelah, lapar, dan honor mengajar yang sangat kecil? Jujur,
harus saya akui, jawabannya, Iya.
Sampai
lima tahun rumah tangga saya berjalan, hampir dihiasi dengan warna pilu dan
kesedihan. Tak terhitung, entah sudah berapa puluh kali Istri saya meneteskan
air mata. Tak banyak yang bisa saya lakukan, kecuali menyemangati istri saya
agar ia tetap sabar.
Saya dan istri mulai sering tersenyum bahagia,
meski di tengah kesulitan, setelah kehadiran buah hati, Zahra. Apalagi saat ia
mulai bawel dan mulai bisa diajak berkomunikasi sambil bermain.
Seteleh
tiga tahun berumah tangga, saya mengontrak sebuah rumah yang tidak jauh dari
rumah ibu saya. Tujuannya agar bisa menampung anak les lebih banyak. Selain
itu, tentu saja agar saya bisa belajar mendiri.
Untuk
menambah pemasukan, saya bersama istri membuat agar-agar. Agar-agar itu saya
titip di warung-warung terdekat. Karena lumayan laku, pembuatan agar-agar
diperbanyak, supaya bisa lebih banyak lagi warung yang bisa saya titipi. Proses
pembuatan agar-agar biasanya malam-malam. Kalau tidak sempat, saya harus bangun
pukul 3 pagi untuk membuatnya.
Karena
kesibukan baru ini, saya putuskan resign dari dua SD tempat saya
mengajar. Jadi saya hanya mengajar di satu sekolah saja.
Tak
terasa sudah setengah tahun, tinggal di rumah kontrakan itu. Warung-warung yang
biasa saya titipi agar-agar, tak hanya di kampung saya, tapi sudah mulai ke
laur kampung.
Saya
pikir-pikir waktu itu, kalau naik angkutan umum terus, tentu kurang efektif.
Pertama, karena memakan waktu. kedua, banyak warung yang lokasinya harus masuk
ke gang-gang. Dan ketiga, saya tidak bisa membawa agar-agar lebih banyak,
karena cuma bisa ditenteng pakai kantong
kresek saja. Akhirnya, saya sepakat dengan istri saya untuk kredit motor.
Untungnya,
seorang kawan pengajian istri saya, berbaik hati mau meminjamkan uangnya satu
juta rupiah, untuk DP sepeda motor. Butuh waktu 1 hari untuk proses survei dan
tiga hari kemudian, motor Supra Fit baru diantar ke rumah. Cicilannya 470.000
rupiah per bulan. Semua proses dipermudah karena pemilik show roomnya, tetangga
saya sendiri.
Selain
menghemat waktu, dengan adanya motor baru, saya bisa menambah lagi
warung-warung yang bisa dititipi agar-agar. Sebagai tempat menyimpan agar-agar,
di belakang motor, saya gantung tas barang yang terbuat dari kain tebal,
layaknya tukang pos atau sales motor keliling.
Kegiatan
di rumah kontrakan bertambah sibuk dengan adanya produksi moring. Ia
kepanjangan dari cimol kering, salah satu makanan khas kota Garut. Ide membuat
moring sendiri, datang dari Amih, ibu mertua saya.
Membuat
moring, berbeda dengan dengan membuat agar-agar yang serba simpel dan cepat.
Banyak proses yang harus dilalui dan cukup menyita waktu. Selain membutuhkan
beberapa orang tenaga, suasana di rumah pun agak kotor. Banyak bekas terigu dan
tepung yang menempel di mana-mana.
Jadi,
sebelum anak-anak les datang, pukul 2 siang, saya harus sudah merapikan dan
membersihkan ruangan. Jadwal les anak-anak ada dua shift, Shift pertama pukul 2
siang dan shift kedua pikul 4 sore.
Warung-warung
yang biasa saya titipi agar-agar, kini sekaligus saya titipi moring. Kalau
agar-agar diantar pagi, sorenya langsung diambil, sementara moring diambil
seminggu sekali.
Setiap
sore hari, saya berkeliling mengambil agar-agar yang dititip di warung-warung.
Karena warung yang dititipi lumayan banyak, saya sering masih di jalan, ketika
adzan maghrib berkumandang. Di saat kebanyakan kaum muslimin menunaikan shalat
maghrib berjamaah di masjid, malah saya masih mengitung uang recehan hasil
penjualan agar-agar.
Karena
kesibukan mencari tambahan rezeki, saya jarang shalat fardhu berjamaah di
masjid. Bahkah, bisa dikatakan tidak pernah, kecuali shalat jum’at. Memang yang lima waktu, tidak pernah saya
tinggal, tetapi saya selalu melakukannya di rumah, itu pun waktunya jarang tapat
waktu. Membaca al qur’an tidak rutin lagi, hanya sesekali saja saya baca.
Bersedekah pun bisa dihitung jari, karena terasa berat dan merasa selalu
kekurangan. Shalat malam, tidak pernah saya lakukan, hanya shalat dhuha yang
sekali-kali saya kerjakan.
Waktu
itu saya tak peduli lagi dengan gelar saya sebagai sarjana, lulusan IAIN (UIN)
Sunan Gunung Djati Bandung, lulusan Fakultas Adab, jurusan Bahasa dan Sastra
Arab. Yang ada dalam pikiran saya saat itu, bagaimana caranya saya bisa
mendapat tambahan penghasilan dan meringankan beban hidup.
Alhamdulillah
semenjak berjualan agar-agar dan moring, pengasilan saya bertambah. Sebagian
keuntungan disimpan untuk bayar cicilan motor dan sebagiannya lagi untuk
mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Memasuki
bulan ketiga, bayaran cicilian motor mulai tersendat-sendat. Meski akhirnya
terbayar, namun mulai terasa berat mengumpulkan uang 470 ribu per bulan.
Management
keuangan saya sungguh kacau dan berantakan. Usaha moring hanya bertahan
beberapa bulan saja.
Adapun
penyebab utama yang membuat kondisi keuangan saya tidak stabil, dikarenakan hutang-hutang
yang melilit saya kepada sejumlah orang.
Awalnya, menjelang pernikahan, rencana keuangan saya banyak yang meleset.
Sementara, pernikahan saya tidak mungkin lagi ditunda. Umur saya waktu itu
sudah masuk kepala tiga. Selain itu, saya sudah menyanggupi untuk turut
membantu biaya pesta pernikahan, meskipun tidak banyak.
Setelah
dikumpul, dari sedikit uang simpanan saya, pemberian dari saudara-saudara,
ditambah uang ibu dan adik saya yang tinggal serumah, ternyata kekurangannya
masih banyak.
Akhirnya,
tidak ada jalan lain. Saya harus sembunyikan jauh-jauh rasa malu. Pergi kesana-
kemari, menemui saudara-saudara yang lain dan teman-teman yang bisa dipinjami
uang.
Alhamdulillah,
saat itu semuanya percaya dan mereka mau membantu saya sesuai kemampuan
masing-masing, dari yang ratusan ribu sampai yang jutaan rupiah. Pernikahan
saya pun berjalan lancar sesuai rencana.
Itulah
awal carut-marut kondisi keuangan saya. ya, itulah penyebabnya, hutang-piutang.
Karena hutang-hutang itulah, yang seharusnya saya menikmati kebahagiaan
pernikahan di tahun-tahun pertama, malah banyak diwarnai dengan tangisan istri
saya.
Tak
saya pungkiri, memang ada kebahagiaan dalam rumah tangga saya, tapi rasanya
kebahagiaan itu tidak lepas, seakan sebuah parit yang tersumbat salurannya. Silih berganti orang menagih hutang,
baik datang langsung ke rumah maupun via telepon. Hidup saya seperti seorang
buronan. Gali lobang, tutup lobang. Pinjam sini untuk bayar sana. Keluar siang
hari tidak nyaman, bila malam telah larut, baru agak sedikit tenang.
Saya
benar-benar menyesal sudah salah dalam mengambil langkah awal. Hutang-hutang
ini benar-benar merenggut kebahagian saya, bahkan tidak hanya kebahagiaan saya
saja, tapi banyak pihak yang turut terenggut kebahagiaannya.
Istri,
anak, ibu dan adik-adik saya, mereka menjadi pihak yang paling merasakan
dampaknya. Kadang saya tak sanggup menatap wajah ibu, saat sesekali menatap
saya. Saya merasakan, betapa ibu sangat iba terhadap keadaan saya.
Di
tengah malam, dalam shalat tahajjudnya, saya sering menjumpai ibu menangis,
menengadahkan tangan, memohon kebaikan untuk anak-anaknya kepada yang Maha
Pemurah.
Sebenarnya,
kalau saya tidak terlilit hutang, dengan seluruh kegiatan yang ada, saya masih
bisa mencukupi kebutuhan rumah tangga, apalagi awal-awal berumah tangga. Tapi,
karena hutang inilah yang menghancurkan semuanya.
Dalam
kesendirian saya di malam hari, saat mata sulit terpejam, saya tekadkan,
setelah keadaan sulit ini terlewati, saya tak mau lagi berurusan dengan yang
namanya hutang. Bahkan sempat saya tulis surat untuk adik saya yang masih
lajang, yang bekerja di perantauan, tepatnya di Riau.
Dalam
surat itu, intinya saya tekankan, jangan sampai mengawali rumah tangga atau
mengawali apapun dengan hutang. Karena, bila sudah masuk ke dalam jeratan
hutang, baik hutang langsung sama orang atau bentuk kredit, maka akan sulit
keluar. Entah berapa lama akan tersiksa hidup ini. Siang tidak nyaman, malam
pun sulit tidur dengan nyenyak, karena terus memikirkan hutang.
Selain
itu saya katakan, jangan pernah meminjam uang kepada orang, kalau tidak terbayang dari mana untuk membayarnya.
Sebab, gara-gara hutang ini, kalau meleset, bisa kehilangan sahahat-sahabat
terbaik dan saudara-saudara. Ingat, hutang benar-benar pemutus tali
sillaturrahmi.”
Sebenarnya
nasihat itu ditujukan untuk diri saya sendiri, tapi saya tidak mau adik-adik
saya dan saudara-saudara yang lain,
mengalami apa yang saya alami.
Di
saat kontrakan rumah habis waktunya, tidak ada uang simpanan sedikit pun,
terlebih yang punya rumah, menaikkan harga kontraknya. Akhirnya saya putuskan
untuk tidak melanjutkan kontrak rumah itu. Saya kemasi barang-barang, kembali
menumpang di rumah ibu saya.
Semenjak
kembali ke rumah ibu saya, anak-anak les pun berkurang kembali, mengingat
tempat yang sempit dan berada di dalam gang. Sementara produksi agar-agar,
masih tetap kujalani, karena, selain modalnya tidak banyak, proses pembuatannya
cepat, juga masih bisa diandalkan untuk kebutuhan makan sehari-hari.
Hari
demi hari keadaan ekonomi saya semakin sulit. Dunia terasa begitu sempit. Semua
ihtiyar yang dilakukan rasanya tidak
sesuai harapan.
Kadang
saya sering bertanya kepada diri sendiri, ada apa ini? Mengapa semuanya terasa
serba salah? Padahal setiap hari saya sudah berusaha, mulai jam 4 pagi sampai
malam.
Di
saat matahari mulai naik, di sebuah mushalla kecil milik pak Haji Ahmad, tepat
di depan rumah ibu saya, melalui shalat dhuha, saya sering bermunajat, bersujud
dan bersimpuh kepada yang Maha Kaya dan Maha Penyayang. Harapan saya tentu saja
ingin diberi kemudahan segala urusan dan segera keluar dari prahara hutang dan
kesulitan ekonomi ini.
Tak
terasa terkadang saya meneteskan air mata. Saya perbanyak membaca istighfar
atas segala dosa dan kedzaliman yang saya perbuat kepada banyak orang, baik
yang terasa mupun yang tak terasa. Terkadang saya lanjutkan dengan membaca
beberapa ayat suci.
Di
tempat inilah zona nyaman saya. Ada setitik ketenangan yang saya dapat. Sambil
menggendong dan mengajak main cucu kesayangannya, sesekali ibu memperhatikan
saya dari loteng/Lantai atas rumah, yang tampak ke mushalla itu.
***
Malam
itu cukup lama istri saya berbicara di telepon dengan seorang laki-laki.
Rupanya, tanpa sepengetahuan saya, ia menelpon adik saya, Yusep, yang sudah
lama bekerja di PT Indah Kiat Perawang- Riau.
Istri
saya berinisatif menanyakan peluang
pekerjaan di sana kepada adik saya, terutama di dunia pendidikan. Rupanya, adik
saya sangat antusias, ketika istri saya mengabarkan bahwa saya mau ke sana.
Padahal, saya sendiri belum pernah membahas rencana ini dengan istri saya
sebelumnya.
Dengan
semangat menggebu-gebu, adik saya bilang, peluang pendidikan di sana sangat
terbuka dan prospeknya bagus. Malah ia meminta saya langsung mengirimkan surat
lamaran.
Tiga
hari kemudian, adik saya nelpon lagi. Kali ini ia berbicara dengan saya dan
istri. Ia bilang, sebaiknya saya datang langsung ke perawang-Riau. Tujuannya,
kalau nanti ada panggilan, saya bisa langsung wawancara.
Selama
beberapa hari, saya dan istri membahas hasil obrolan dengan Yusep di telepon kemarin, secara
panjang lebar. Saya dan istri berdiskusi, mempertimbangan dari berbagai sisi,
terkadang hingga larut malam
Bagi
saya sendiri, kata merantau, tak pernah terbersit setitik pun dalam benak saya
sebelumnya. Alasannya, karena sejak beberapa tahun yang lalu, kedua adik
laki-laki saya sudah pergi merantau ke pulau Sumatra.
Ayah
saya meninggal, November 1999. Sebagai anak sulung dan satu-satunya anak
laki-laki yang masih ada di kampung, saya harus jaga ibu saya. Meskipun saat
itu masih ada dua adik perempuan saya yang masih tinggal bersama ibu, tapi,
cepat atau lambat, mereka akan keluar, turut suami masing-masing.
Itulah
yang terbersit dalam pikiran saya saat itu. Karena itu, sejak awal, saya ingin
mengembangkan kegiatan dan menetap di kampung halaman. Selain itu, sejak tamat
SD, saya sudah meninggalkan rumah, masuk Pondok Pesantren Pabelan di daerah
Muntilan-Magelang Jawa Tengah.
Sampai saya kuliah, saya tidak pernah menetap
di kampung. Menjelang selesai kuliah, saya baru benar-benar kembali menetap di
rumah, bersama ayah, ibu dan adik-adik saya.
Akhirnya,
saya dan istri sepakat mengambil keputusan, bahwa saya harus merantau, menyusul
kedua adik saya di Riau. Kebingungan berikutnya muncul, dari mana cari uang
buat ongkos perjalanan, naik bis dari Bandung ke Jakarta dan tiket pesawat,
Jakarta- Pekanbaru.
Muncul
ide dari istri saya, tape recorder kesayangan satu-satunya, jadi solusi
terakhir. Istri saya menjual tapenya
kepada adik saya, Ika yang tinggal serumah.
Tibalah
saat yang sama sekali tak ingin saya alami. Malam itu, saya harus berangkat.
Jadwal penerbangan saya pukul.10.00 pagi. Agar tidak telat, saya harus
berangkat dari rumah pukul 12 malam.
Semua
sudah disiapkan oleh istri saya. Bawaan saya cuma satu tas saja. Isinya
beberapa stel baju, kain sarung, beberapa buah buku, dokumen penting dan
sedikit oleh-oleh dari ibu untuk adik saya di sana.
Pertama,
saya salami dan saya peluk kedua adik saya satu per satu. Mereka tak kuasa
meneteskan air mata. Lalu, saya beralih menyalami dan memeluk ibu saya agak
lama. Selama saya peluk, ibu melontarkan beberapa kalimat, mendoakan kelancaran
saya di perantauan.
Terakhir
saya peluk dan saya ciumi kening istri saya. Erat sekali istri saya memeluk
tubuh saya, seolah tak mau lepas. Perlahan-lahan saya lepaskan sambil saya
tepuk-tepuk bahunya.
Selanjutnya,
saya masuk kamar. Saya tatap wajah buah hati saya, Zahra, yang sudah tertidur
pulas. Saya sengaja tak membangunkannya, takut ia kaget melihat saya pergi.
Saya dekap tubuhnya agak lama, lalu saya ciumi pipi dan keningnya berkali-kali.
Tak terasa air mata saya menetes. Saya tak bisa membayangkan besok, apa
reaksinya ketika tahu saya sudah pergi.
Waktu
itu, umurnya sudah 2 tahun lewat 2 bulan. Jadi, dia sudah kenal dan dekat
dengan saya. Bahkan, kalau bangun tidur, is sering memanggil-manggil saya,
ayah.. ayah.. kata-katanya cukup jelas dan bawel.
Ibu
dan kedua adik saya ,hanya mengantarkan saya sampai pintu rumah. Saya tahu,
mereka, terutama ibu, tak ingin larut dalam kesedihan, sehingga tak
mengantarkan saya sampai ke pinggir jalan.
Lalu,
saya langkahkan kaki tanpa menolehkan lagi wajah saya ke arah belakang.
Sementara istri saya, mengantarkan saya sampai ke pinggir jalan raya. Kebetulan
tak jauh dari rumah ibu saya, hanya beberapa puluh meter saja.
Di
pinggir jalan, Kang Barok, tetangga saya sekaligus tukang ojek di pasar, sudah
menuggu dengan motornya. Hari sudah tengah malam, tentu tidak ada angkutan,
jadi ojeklah pilihannya. Saya minta tolong Kang Barok mengantar saya ke Bandung
kota, ke daerah pintu tol Kopo, untuk
menunggu bis tujuan Jakarta.
Sebelum
saya naik motor, lagi-lagi istri memeluk saya erat-erat. Kali ini tangisannya
semakin menjadi. Hati saya jadi semakin merasa berat untuk berangkat. Kang
Barok yang berdiri si samping saya, hanya terdiam dan sesekali melirik ke arah
saya.
Akhirnya,
pelukan itu terlepas perlahan-lahan dan saya segera meluncur di tengah susana
dinginnya malam. Akhir September 2006, kutinggalkan tanah kelahiran saya, demi
sebuah cita dan harapan.
Alhamdulillah,
perjalanan lancar, dua jam sebelum terbang, saya sudah tiba di bandara. Saya
langsung check in, lalu menuju ruang tunggu.
Ketika
panggilan untuk penumpang pesawat Wings Air dengan tujuan Pekanbaru terdengar,
saya bersama penumpang lain yang satu tujuan bergegas menuju pesawat yang sudah
stand by. Lalu, saya cari tempat duduk sesuai dengan nomor yang tertera
pada tiket. Rupanya tempat duduk saya di paling ujung dekat jendela.
Sebelum saya matikan HP, saya kirim SMS untuk istri.
Saya kabari dia, kalau saya sudah masuk pesawat dan sebentar lagi mau terbang.
Selain itu, saya mohon do’a keselamatan dan saya minta kepada istri , agar
menyampaikan pesan ini untuk ibu dan adik-adik saya.
Pesawat
mulai bergerak maju perlahan, pertanda mulai take off. Suara bising
cukup mengganggu telinga saya. Laju pesawat lebih kencang lagi dan semakin
kencang. Akhirnya ia mulai mengudara.
Tak
terbayangkan sebelumnya dalam hidup saya, akan merasakan naik pesawat. Jantung
saya dag dig dug sedikit berdebar, merasa was-was. Lalu saya pejamkan mata sambil
berdoa mohon diberi keselamatan.
Saya
lihat kebawah lewat jendela. Daratan masih tampak. Lalu, kembali saya teringat
istri, buah hati, ibu dan adik-adik saya di kampung. Moment perpisahan
tadi malam kembali membayangi saya. Tak terasa air mata ini menetes kembali.
Kembali
saya melihat ke bawah, semakin lama daratan hampir tidak terlihat dan sampai
benar-benar tidak kelihatan lagi. Yang terlihat di kiri kanan, hanya gumpalan
awan putih.
Ketika
daratan benar-benar tak terlihat lagi, air mata saya semakin deras. Wajah ibu,
istri, si kecil Zahra dan kedua adik saya semakin jelas dalam bayangan saya.
Saya tetap melihat ke arah luar, karena malu jika saya ketahuan nangis oleh
penumpang yang duduk di samping saya.
Sambil
menerka-nerka seperti apa tempat yang akan kukunjungi nanti, kembali saya
kuatkan tekad saya. Dalam hati saya bicara:
“Saya harus mengubah nasib di tanah
rantau nanti. Bukankah Allah Swt mengingatkan, bahwa Dia tidak akan mengubah
suatu kaum, kecuali kaum itu yang mengubahnya.
Biarlah
hari ini, saya meninggalkan derai air
mata orang-orang yang saya sayangi di kampung, tapi suatu hari, saya harus
kembali dengan senyum kebahagiaan dan tawa kesuksesan.
Tujuan
utama saya merantau, harus terbebas dari jerat hutang yang telah merusak
kebahagian, sekaligus memisahkan saya dengan orang-orang yang saya cintai.
Di
ayat lain, Allah Swt juga menjanjijkan,
sesungguhnya bersama kesulitan, pasti ada kemudahan. Saya yakin dengan kalimat
suci-Mu wahai yang Maha Pemurah. Dengan
segala kemurahan dan kasih sayang-Mu kepada seluruh hamba, semua prahara ini
akan terlewati pada waktunya.
Bukankah
setelah jalan terjal, selalu ada jalan mulus? Bukankah setelah jalan mendaki,
selalu ada jalan menurun? dan bukankah setelah gelap, selalu ada terang? Tiada yang sulit bagi Engkau jika
menghendaki sesuatu, termasuk merubah kehidupan saya.” Itulah kalimati-kalimat
yang menghiasi hati dan pikiran saya selama di perjalanan, sehingga dapat
sedikit menghibur dan menguatkan diri.
Di
perantauan, tepatnya di Perawang -Riau, untuk sementara saya menumpang di rumah
kontrakan adik saya, Yusep. Ia bekerja di PT. Indah Kiat Pulp and Paper, Grup
Sinar mas, yang konon kabarnya, termasuk pabrik bahan baku kertas terbesar di
Asia Tenggara.
Rumah
kontrakan adik saya berada di komplek perumahan milik PT.Indah Kiat (waktu itu).
Orang-orang di sana biasa menyebut KPR I. Ada sekitar seribuan kepala keluarga
di komplek itu. Mayoritas pendukuknya karyawan PT. Indah Kiat. Tidak jauh dari
tempat tinggal saya, berdiri sebuah masjid cukup besar.
Saya
sendiri, selama beberapa hari tinggal di komplek itu, belum pernah shalat di
masjid. Saya selalu shalat sendiri di rumah.
Untuk
mengisi waktu luang, saya sering baca-baca buku yang saya bawa dari kampung.
Tapi, saat itu ada sebuah buku kecil, yang baru saja saya beli di sana. Buku
itu berjudul, “Pemuda, Masjid Menantimu.”
Saya belum sempat membaca isinya. Karena penasaran, saya mulai membacanya
dari halaman awal.
Buku
itu tidak terlalu tebal, sehingga dengan cepat saya menamatkannya. Masya Allah,
Allahu Akbar, selama saya membaca buku itu, saya merasa ditampar, disindir dan
ditelanjangi. Betapa banyak kemuliaan-kemuliaan yang ditawarkan Allah dan rasulnya,
bagi hamba-hamba-Nya yang selalu datang ke masjid.
Beberapa saat saya termenung, mengenang
perjalanan hidup saya ke belakang. Betapa saya merasa rugi dan menyesal, karena
selama bertahun-tahun di kampung, jarang mengunjungi rumah Allah ini, kecuali
shalat jum’at.
Mulai
hari itu, diawali dari shalat maghrib saya datang ke masjid untuk shalat
berjamaah. Ketika imam masjid melantunkan ayat-ayat suci dengan suaranya yang
merdu, subhanallah, ada getaran hati yang tak pernah saya rasakan sebelumnya.
Saya merasakan kedamaian dan ketenangan batin yang luar biasa. Perasaan itu
sulit diungkapkan lewat kata-kata.
Tak
terasa saya meneteskan air mata, mengingat kelalaian selama ini. Mulai saat
itu, Alhamdulillah, saya selalu shalat fardhu berjamaah di masjid.
Dokumen Pribadi : Halaman Masjid Nurul Islam KPR 1 Perawang_ Riau
Dokumen Pribadi: Masjid Nurul Islam KPR 1 Perawang-Riau
Masjid
itu bernama Nurul Islam. Setiap kali
datang waktu shalat, selalu ramai dengan jamaah. Bahkan, ketika dikumandangkan
iqamah, para jamaahnya berebut mencari shaf pertama.
Setiap
waktu shalat tiba, saya lihat puluhan motor, parkir berjejer di halaman masjid
yang cukup luas. Paling sedikit, ada sekitar 200 jamaah yang selalu shalat
berjamaah di masjid itu.
Berbeda
kontras dengan keadaan di kampung halaman saya. Walaupun di KTP mayoritas
tertulis beragam Islam, namun orang yang shalat fardhu berjamaah di masjid bisa
dihitung jari.
Kondisi
itu berlangsung puluhan tahun sejak saya kecil. Rata-rata orang yang shalat
berjamaah paling banyak dua shaf. Jumlahnya tidak lebih dari 20 orang. Itu pun yang
meramaikan masjid kebanyakan para pendatang.
Selain
saya sudah merutinkan shalat fardhu berjamaah di masjid, kebiasaan baru yang
saya lakukan di tanah rantau ini, saya mulai merutinkan berinfak, walau hanya
uang kecil.
Karena
belum sanggup tiap hari, minimal tiga hari dalam seminggu saya keluarkan uang
untuk infak di masjid. Kalau hari jum.at, saya mewajibkan diri untuk berinfak,
sesuai kemampuan yang ada saat itu.
Hati
ini mulai tergerak untuk berinfak,
ketika suatu subuh di bulan puasa, saya menyaksikan tausiah, di salah
satu tayangan stasiun TV swasta. Saat itu, yang menyampaikan tausiah, ustadz
kondang, Yusuf Mansur. Saat itu, beliau belum
Dukumen pribadi. Masjid Nurul Islam KPR I
Perawang-Riau.
terseret-seret arus politik dan
belum mendirikan paytren, sehingga belum ada kontradiktif di kalangan umat.
Dalam
ceramahnya yang begitu menyentuh, beliau sampaikan keutamaan-keutamaan infak,
berikut pengalaman dirinya dan orang lain yang merasakan kekuatan dahsyat infak
.
Di antara yang beliau sampaikan:” Di dalam
ayat Qur’an, kita diperintahkan untuk berinfak baik dalam keadaan lapang maupun
dalam keadaan sempit atau susah. Jika
orang mau berinfak dalam keadaan lapang, maka itu hal biasa. Tetapi, jika orang
mau berinfak dalam keadaan susah, maka itu hal luar biasa. Pahalanya pun luar
biasa, karena ini membutuhkan tekad yang kuat dan merupakan ujian keimanan.” Kemudian beliau menambahkan: ”jika
kita sudah melakukannya dengan benar-benar ikhlas, balasan berlipat dari Allah
swt, jangan ditunggu-tunggu, karena Allah itu selalu menepati janji-Nya.” Tentu
saja disampaikan dengan gaya bahasa dan logatnya yang khas betawi.
Sejak
saat itu, saya tidak pernah ragu dan berpikir-pikir lagi kalau mau berinfak.
Saya berusaha lawan, setiap bisikan hati yang menghalangi saya berinfak.
Maha
suci Allah yang tak pernah ingkar janji. Ketika baru tiga hari sampai di
Perawang, saya mulai mengajar di sebuah Sekolah Dasar Islam, yang baru beberapa
tahun berdiri. Gaji pun belum besar. Waktu itu gaji saya 350 ribu rupiah per
bulan. Menjelang hari raya idul Fitri, saya belum mendapatkan tunjangan apapun
dari yayasan, karena baru sebulan menjadi guru di sana.
Suatu
subuh, ketika saya pulang dari masjid, saya menjumpai dua orang anak laki-laki
yang sedang mencari barang rongsokan dan botol minuman bekas dari tong sampah
ke tong sampah Perumahan. Orang-orang di sana menyebutnya kara-kara.
Dengan
spontan saya keluarkan uang yang ada di kantong celana saya. Rupanya tidak
banyak. Uang itu hanya 3 ribu rupiah. Lalu, saya berikan uang itu kepada
mereka.
Menerima
uang yang tak seberapa itu, anak-anak itu mencium tangan saya, sambil
berkali-kali mengucapkan terima kasih. “Terima kasih om..terima kasih om.”
Kira-kira seperti itu mereka mengucapkan terima kasih. Lalu, saya tinggalkan
mereka tanpa sedikit pun mengharap balasan. Toh cuma uang 3 ribu rupiah.
Subhanallah,
tidak perlu menunggu dua atau tiga hari. Sore harinya, salah seorang guru dari
sekolah tempat saya mengajar, datang ke tempat saya. Lalu, ia memberikan sebuah
amplop. Ia bilang, amplop itu berisi sejumlah uang hasil patungan (kumpul-kumpul)
dari guru-guru lama, sebagai bentuk solidaritas pada guru baru.
Setelah
guru itu pulang, dengan rasa penasaran saya buka amplop itu. Subhanallah, saya
langsung bersujud syukur saat itu. Amplop itu berisi uang 150 ribu rupiah. Tak
terbayangkan sedikit pun, saya akan mendapat uang sebesar itu.
Mungkin
bagi orang lain, uang itu jumlahnya tak seberapa. Tapi, bagi saya yang baru
sampai di perantauan, uang itu cukup berarti, bisa dikirimkan untuk anak istri
di kampung.
Dan,
coba lihat, berapa kali lipat balasan yang Allah Swt berikan? Subhanallah, yang
diinfakkan cuma 3 ribu rupiah, tapi Allah Swt membalas, 150 ribu rupiah.
Artinya, 50 kali lipat Allah Swt membalas infak saya. Dengan kejadian ini, saya
semakin yakin akan janji-janji-Nya.
Shalat berjamaah di masjid dan berinfak, dua
kebiasaan baru yang amat sangat jarang saya lakukan sebelumnya ketika saya di
kampung. Semenjak tinggal di tanah Melayu ini, sesibuk apapun dan sebisa
mungkin, saya lakukan kedua amalan itu secara konsisten.
Alhamdulillah,
di bulan ketiga saya di perantauan, saya di terima menjadi guru di tempat yang
saya inginkan. Saya menjadi guru tetap di yayasan Persana Indah, sebuah yayasan
pendidikan yang bernaung di bawah PT. Indah Kiat.
Tidak
mudah untuk diterima di yayasan ini, karena harus melalui seleksi super ketat.
Yayasan waktu itu, baru menaungi tingkat
TK, SD dan SMP. Saya sendiri ditempatkan di tingkat SD.
Alhamdulillah,
di yayasan ini saya digaji cukup layak, hampir 30 kali lipat dari honor yang
saya dapat ketika masih di kampung. Selain gaji pokok, yayasan juga memberikan
THR satu bulan gaji setiap tahun. Kemudian, para gurunya mendapat asuransi
kesehatan, jaminan sosial tenaga kerja dan dana pensiun.
Selain
dari yayasan, setelah berjalan enam bulan bertugas, semua guru swasta di daerah
ini, mendapat tunjangan khusus dari pemda kabupaten Siak. Tunjangan ini dulu
bernama honor daerah. Sekarang namanya bantuan dana rombel.
Setetah
berjalan satu tahun dan status saya di yayasan sudah menjadi guru tetap, istri
dan kedua anak saya menyusul ke perantauan. Rupanya, ketika saya meninggalkan
kampung halaman, Allah Swt menganugerahi satu lagi keturunan. Dia perempuan
juga. Saya beri nama Keila.
Waktu
Keila dilahirkan saya tidak bisa pulang, karena selain belum ada dana untuk
biaya pulang, juga waktunya tidak memungkinkan. Uang yang ada saya kirimkan
untuk biaya persalinan dan acara aqiqah.
Ketika
di bawa ke Perawang, Zahra, putri saya yang pertama, sudah berumur hampir tiga
tahun, sementara Keila baru berumur enam bulan.
Alhamdulilah,
kehidupan saya di perantauan mengalami peningkatan yang cukup berarti. Jauh
dibanding ketika masih di kampung. Selain gaji dari yayasan berikut berbagai
tunjangannya, saya juga mendapat tunjangan dari pemda siak. Kegiatan les pun berangsur-angsur mulai
ramai. Selain jumlah siswa lumayan banyak, nilai nominalnya pun cukup layak,
sesuai standar di sini.
Seperti
keran-keran air yang dibuka, rezeki datang mengalir. Berbagai kemudahan
menghampiri saya. Setiap ide dan rencana yang muncul, berjalan dengan lancar.
Berkat
segala kemudahan dan kelancaran yang Allah Swt berikan, juga berkat doa tulus
ibu dan mertua saya tentunya, alhamdulilah, secara berangsur-angsur,
hutang-hutang saya mulai terlunasi. Kebutuhan rumah tangga pun tercukupi dan
bisa sedikit berbagi kepada saudara-saudara, baik yang ada di perantauan maupun
yang ada di kampung.
Dalam
sebuah kesempatan , saya mencoba mengevaluasi dan membandingkan kehidupan saya,
setelah merantau dengan saat masih di kampung. Saya bertanya kepada diri
sendiri, kenapa saat masih di kampung, kehidupan begitu susah dan serba salah.
Padahal, kalau dilihat dari segi usaha, kurang apa lagi.
Di
sana, saya lakukan beberapa kegiatan, mulai dari mengajar di sekolah, buka les
di rumah, mengajar privat ke rumah-rumah, ditambah jualan agar-agar dan moring.
Tapi, kok susahnya bukan main. Semakin hari bukan tambah cukup, tapi semakin
berat menjalani hari-hari.
Sementara
di sini, di perantauan ini, kegiatan rutin saya dan istri hanya satu, yaitu
mengajar, baik di sekolah maupun di rumah. Tapi, kok penghasilan, jauh berlipat
dari yang didapat ketika masih di kampung.
Akhirnya,
saya menemukan dua kata untuk jawabannya, yaitu masjid dan infak. Ketika di
kampung, saya jarang shalat fardu di masjid dan jarang berinfak. Barangkali dua
hal inilah yang menjadi penyebab utama semuanya menjadi sulit.
Seolah-olah
keran-keran rezeki itu tersumbat dan pintu-pintunya tertutup. Maka, dengan dua
kunci ini, semuanya menjadi mengalir dan terbuka.
Padahal,
ketika di kampung, kesulitan dan beban hidup itu, sedang berat-beratnya dan
memuncak, semestinya diimbangi dengan peningkatan hubungan yang baik dengan
yang Maha Pemberi rezeki, bukan sebaliknya malah menjauh.
Subhanallah,
Allah Maha Pemurah dan Menepati janji. padahal yang saya lakukan belum seberapa
dan masih jauh dari kesempurnaan ibadah.
Masih
banyak hamba-hamba Allah yang lain, yang jauh lebih baik ibadahnya. Sementara
saya hanya baru merutinkan shalat fardhu berjamaah di masjid dan membiasakan
infak walau tak banyak. Tapi, yang Allah Swt berikan, sangat melimpah bahkan di
luar yang saya duga.
Subhaanalaah,
walhamdulillaah, walaailaaaha illallaah wallaahu akbar. Terima kasih ya Allah,
semoga Engkau menetapkah hati hamba dan keluarga, tetap istiqamah dalam beribadah, sampai hembusan
nafas yang terakhir. Amin.
( Memoar adalah sepenggal
perjalanan hidup seseorang/tokoh. Demikian juga tulisan ini merupakan sepenggal
atau satu episode perjalanan hidup penulis. Harpan penulis, semoga memoar
sederhana ini dapat bermanfaat dan memberi inspirasi buat sahabat "KItabisa")
Nantikan Memoar: Tangisan itu
Berujung Senyuman Part 7 dengan judul :
The Real Tolerance of SD YPPI Perawang-Riau
Kontak
Penulis/Blogger : 0822 8379 0651
The Real Tolerance of SD YPPI
Free kinds of fhotos snd videos...
https://www.pexels.com/id-id/@ahmad-khoibar-115812776/
-
Fahimna.or.id Wongso.online Bab II Pabelan, Oh Pondokku. Sebuah episode baru dalam kehidupan saya dimulai. Selepas SD saya...
-
Bab VII The Real Tolerance of SD YPPI Perawang-Riau Tak terasa sampai hari ini, sudah 14 tahun lebih saya menjadi guru tetap ya...
-
1. Prevent diarrhea. ... 2. Lowers cholesterol. ... 3. Prevent diabetes. ... 4. Prevent cancer. ... 5. Treating the flu. ... 6. ...