Bab V
Manisnya Mangga Indramayu. (Edisi Kulah Kerja Nyata/KKN)
Oleh: Ahamd Khoibar, S.Ag.
“Ayo,
silahkan, mas-mas, mba-mba, dicicip mangganya, manis lho!” Itulah tawaran
seorang ibu separuh baya, yang baru saja saya kunjungi bersama teman-teman
sekelompok Kuliah Kerja Nyata/KKN.
Hari
itu, baru hari pertama saya dan kelompok KKN berada di lokasi. Tepatnya, di
kampung Blok Wideng, Desa Bondan, Kecamatan Kertasemaya, Kabupaten Indramayu
Jawa Barat.
Saya
sendiri, sebenarnya harus ikut KKN tahun
sebelumnya, periode 1993 di Kabupaten Purwakarta Jawa Barat. Karena ada satu
kendala, baru bisa ikut KKN tahun depannya bersama angkatan adik tingkat.
Di
minggu pertama, kegiatan saya adalah melakukan kunjungan, menemui tokoh
masyarakat, tokoh pemuda dan pihak-pihak lain yang dianggap perlu, untuk
menampung informasi dan masukan, sebagai bahan pertimbangan penyusunan program
KKN.
Selain
itu, tentu saja saya dan teman-teman berkunjung kepada tetangga terdekat di
sekitar tempat tinggal. Tujuannya, untuk menjalin kedekatan dengan warga, dan
diharapkan mereka dapat mendukung program-program yang akan digulirkan.
Awal-awal
kedatangan saya di kampung itu, bertepatan dengan sedang musim mangga berbuah.
Masya Allah, hampir semua rumah penduduk memiliki pohon mangga.
Banyaknya
pohon tergantung luas pekarangan atau tanah yang dimiliki. Jenis dan ukuran
mangga pun bervariasi, dari yang paling kecil sebesar bola kasti sampai yang
pailing besar seukuran toples kue. Kalau rasanya, jangan ditanya lagi, manisnya
luar biasa.
Kali
itu, saya benar-benar yakin, kalau mangga Indramayu itu laur biasa, super manis
dan unggul dibanding mangga daerah lain. Saya benar-benar melihat, merasakan
dan memetik langsung.
Begitulah
hari-hari saya pada minggu pertama berada di lokasi KKN. Setiap berkunjung ke
rumah warga, pasti disuguhi menu utama, yaitu mangga Indramayu. Mangga-mangga
itu dijejerkan berbaris sepanjang meja. Kalau mau pamit pulang, saya dipaksa
harus membawa mangga itu ke tempat tinggal saya.
Saya
dan teman-teman yang laki-laki, ditempatkan di rumah seorang penghulu (di sana
tugasnya menburus penikahan). Bapak pemilik rumah, kebetulan adik kandung Kepala Desa. Sementara yang perempuan,
ditempatkan di salah satu rumah penduduk, yang penghuninya
hanya seorang janda. Rumah itu tidak
jauh dari tempat tinggal mahasiswa yang laki-laki.
Rumah yang saya tempati ini, berdekatan dengan
rumah Kepala Desa, hanya terhalang oleh beberapa bangunan saja. Tempatnya cukup
terpencil, sepi dan agak jauh dari Balai Desa yang berlokasi dekat pasar.
Untuk
menuju ke Balai Desa, saya harus berjalan kaki, menyeberangi sebuah jembatan
kecil. Untuk sampai ke sana, butuh waktu 20-30 menit berjalan kaki.
Saya
tidak tahu alasan dan pertimbangan Kepala Desa, menempatkan saya dan
teman-teman di tempat terpencil. Mengapa tidak dekat Balai Desa misalnya.
Padahal, saya harus sering bolak-balik ke sana untuk konfirmasi program kerja.
Apakah
sengaja Kepala Desa menempatkan saya dan teman-teman ditempat terpencil, agar
terisolir dari keramaian orang? Atau, apakah Kepala Desa menyembunyikan sesuatu
dan takut rahasianya diketahui oleh mahasiswa KKN?
Itulah
pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam benak saya, ketika awal-awal kedatangan
saya di tempat itu. Saya mengingatkan diri sendiri, untuk tidak bersikap
su’uzdan, karena kenyataannya, Kepala Desa sangat baik terhadap saya dan
teman-teman. Kami selalu dilayani dengan hangat dan semua keperluan dibantu.
Pada
umumnya mayoritas penduduk Kecamatan Kertasemaya bekerja sebagai petani.
Rata-rata mereka memiliki sawah. Selain itu, ada juga yang berprofesi sebagai
penambang pasir di sungai besar Cimanuk. Untuk yang punya modal besar, tentu
saja menjadi bandarnya. Pasir-pasir itu rata-rata diangkut ke Jakarta untuk
proyek berbagai pembangunan.
Sepanjang
jalan, dari arah sungai Cimanuk menuju jalan raya Kabupaten, cukup rusak dan
bekas tumpahan pasir tercecer di mana-mana. Saya tidak tahu, apakah para bandar
pasir di sana, tidak memberikan uang konpensasi kepada pihak Desa untuk
perbaikan jalan. Atau, sebaliknya, mungkin para bandar pasir itu sudah
memberikan uang konpensasi kepada pihak Desa, tetapi tidak digunanakan sesuai
peruntukannya. Yang jelas, saya tidak mau berspekualsi soal ini.
Anak-anak
sekolah yang orang tuanya tidak punya motor, kalau pulang atau pergi sekolah,
biasanya menumpang truk-truk pasir yang banyak berseliweran.
Di
Kampung Blok Wideng tempat saya tinggal, saya temukan beberapa hal unik, yang
tidak ditemukan di kampung-kampung lain yang ada di sekitarnya. Keunikan itu di
antaranya, setiap habis maghrib, anak-anak kecil hingga anak remaja, tidak
boleh lagi ada yang keluar dari kampung itu.
Satu-satunya
akses jalan ke luar kampung adalah sebuah jembatan yang menghubungkan Kampung
Blok Wideng dengan kampung lain. Jadi setiap habis maghrib, selalu ada beberapa
orang laki-laki dewasa yang berjaga di
jembatan itu.
Sehabis
shalat isya, Anak-anak kecil hingga anak remaja tidak boleh ada yang keluyuran.
Semuanya harus pulang ke rumah masing-masing. Orang-orang dewasa akan
berpatroli keliling kampung. Ada semacam pengelompokan usia dalam pergaulan
sehari-hari.
Di
kampung ini, tampak sekali perbedaan kelompok senior dan junior, layaknya
kehidupan di pondok pesantren. Saya melihat, hal ini cukup positif. Kebiasaan
ini, saya anggap sebagai barang langka dan sulit ditemukan di tempat lain.
Mengapa
demikian? Karena pada umumnya, di
kebanyakan tempat, orang dewasanya sudah tidak atau kurang peduli lagi terhadap
adik-adik juniornya yang lebih muda, malah tidak sedikit yang secara sadar atau
tidak, mereka memberi contoh prilaku negatif kepada generasi di bawahnya.
Saya
tidak tahu sejak kapan tradisi unik ini berlangsung. Apakah ada kesepakatan
tertulis atau mengalir begitu saja secara temurun-temurun. Saya berpikir, kalau
tradisi ini diterapkan di seluruh wilayah di tanah air ini, maka prolematika
kenakalan remaja akan jauh bisa ditekan.
Pada
suatu malam saat acara Isra mikraj, anak-anak SD dan para remaja usia SMP,
tampil mengisi acara. Ada yang tilawah al Qur’an, baca puisi, baca shalawat dan
menyanyikan lagu religi. Semuanya, tanpa iringan musik sama sekali. Saya
sendiri dan teman-teman tampil membacakan asmaul husna.
Sebagai
orang yang menyukai musik dan biasa bermain gitar, saya merasa malam itu,
penampilan terasa garing dan kurang greget. Dari beberapa sumber
informasi yang saya dengar, ternyata di kampung itu dilarang ada alat musik,
terlebih
mediasuaranasional.blogspot.com
alat musik modern. Saya pun belum
tahu mengapa alat musik dilarang di kampung itu.
Dalam
pemahaman saya saat itu, pada dasarnya alat-alat musik itu bebas nilai.
Artinya, alatnya itu sendiri belum bisa dihukumi, halal atau haram. Tetapi,
bagaimana dan untuk apa alat musik itu digunakan, akan menentukan hukum
berikutnya, apakah ia menjadi pahala atau menjadi dosa, apakah ia haram atau
halal.
Di
kampung itu, ada beberapa tokoh pemuda senior yang bergelar sarjana, bahkan ada
yang alumni IAIN/UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Lalu, saya temui mereka satu
per satu. Dengan santun, saya ajak mereka bertukar pikiran tentang musik dan
alat musik.
Rupanya
disimpulkan, tujuan mereka melarang alat musik, hanya sekedar untuk membatasi
anak-anak remaja agar tidak berlebihan dan tidak mengikuti gaya hidup para
pemusik yang jauh dari nilai-nilai agama.
Setelah
berdiskusi panjang lebar, akhirnya saya diizinkan membawa gitar. Keesokan
harinya, saya pulang ke Bandung untuk mengambil gitar, sekalian ada urusan yang
harus diselesaikan.
Ketika
saya kembali ke lokasi dengan membawa sebuah gitar, ada beberapa warga yang
kebetulan saya lewati rumahnya, menatap dengan tatapan agak sedikit aneh.
Sementara, anak-anak remaja, khususnya yang laki-laki malah kegirangan, karena
baru kali itu ada orang yang membawa gitar ke kampung itu.
Semenjak
ada gitar, anak-anak remaja yang laki-laki semakin sering main ke posko tempat
kami tinggal. Ada yang hanya sekedar ingin mendengarkan saya bernyanyi dan
bermain gitar, dan ada juga yang ingin mencoba memainkannya. Mereka kelihatan
nyaman bermain gitar, karena merasa tidak akan ditegur senior-seniornya bila
berada di tengah-tengah kami.
antarafoto.com
Menjelang
dua minggu lagi peringatan maulid nabi saw, saya kumpulkan anak-anak yang masih
sekolah di SD, untuk latihan bernyanyi lagu-lagu religi diiringi gitar. Tentu
saja sudah seizin para tokoh pemuda di situ. Lagunya saya ciptakan sendiri.
Betapa
girang dan senangnya anak-anak itu, karena mungkin baru pertama kali latihan
bernyanyi diiringi gitar langsung. Untuk tempat latihan, saya pinjam salah satu
ruangan kelas Madrasah. Selama beberapa kali latihan, anak-anak yang tidak ikut
bergabung dalam grup, ramai-ramai menyaksikan kami latihan dari jendela kaca
ruangan kelas.
Alhamdulillah,
penampilan anak-anak di acara puncak peringatan maulid nabi saw, berjalan
sukses. Rupanya, anak-anak di sana cukup berpotensi, jika diarahkan dan dilatih
dengan baik. Saya mendapat sambutan hangat dan pujian dari warga.
Di
Desa Bondan ini, yang banyak saya jumpai, hanya anak-anak kecil dan anak-anak
remaja. Paling tua usia anak SMP. Kalaupun ada remaja putri yang umurnya,
seumuran anak SMA, bisa dibilang barang langka. Anak-anak perempuan seumuran
itu, biasanya sudah punya dua atau tiga anak atau dia seorang janda. Informasi
ini saya dapatkan dari pak penghulu, pemilik rumah yang saya tempati. Lalu,
pada kemana yang lainnya?
Menurut
info dari penduduk setempat, kebanyakan gadis-gadis itu merantau ke kota-kota
besar, terutama ke Jakarta. Bahkan, banyak yang menjadi TKW ke luar negeri.
Pantas saya dan teman-teman pernah melihat ada
beberapa rumah yang cukup bagus, tetapi, penghuninya hanya seorang
laki-laki dewasa dan anak-anak.
Dalam
hati saya bertanya, apa kira-kira pekerjaan gadis-gadis itu di kota besar,
karena tidak sedikit, orang tua yang tidak tahu pekerjaan putrinya di kota
besar.
Pernah
saya dan teman KKN saya, Anjar, berkunjung ke salah seorang pegawai Desa. Rumah
itu sepi. Sambil duduk saya pandangi sekeliling rumahnya. Di dinding tertempel
tiga buah foto berbingkai. Ketiga orang dalam foto itu, orangnya berlainan.
Tanpa
menunggu pertanyaan, bapak berperawakan kurus ini menjelaskan, kalau ketiga
wanita yang ada di foto itu adalah putri-putrinya. Semuanya kerja di Jakarta.
Dengan
santainya, bapak itu menawarkan anak-anaknya kepada saya. Ia bilang, silahkan
pilih, mau yang mana. Kalau adek berminat, biar anak bapak, suruh bapak pulang.
Mendengar
tawaran itu, saya hanya tersenyum, karena awalnya saya mengira bapak itu
bercanda. Ternyata setelah dilihat dari mimik mukanya, tawarannya itu menunjukkan
tanda keseriusan. Saya dan teman saya Anjar, hanya tersenyum dan sesaat saling
pandang.
Hal
unik lainnya yang saya temukan di lokasi KKN, pada satu kesempatan, saya
ditugaskan oleh kelompok saya, untuk menyampaikan proposal kegiatan kepada
kepala kantor Kemenag kabupaten Indramayu. Kebetulan bapak yang punya rumah,
hari itu mau pergi juga ke Indramayu kota. Akhirnya, saya dapat tumpangan naik
motor bersama bapak itu.
Sesampainya
di kantor Kementrian Agama, saya dikejutkan oleh deretan orang-orang yang
sedang mengantri. Dengan rasa penasaran, saya bertanya kepada salah seorang
pegawai kantor itu.
Percaya
atau tidak, kata pegawai kantor itu, rupanya orang-orang itu sedang mengantri
daftar perceraian. Sekali lagi, antara percaya dan tidak, saya mendengar dan
melihatnya.
“Kenapa
bisa sebanyak ini pak?” Tanya saya kembali kepada pegawai itu. “ Di sini dari
dulu sudah terbiasa seperti ini dek, kalau musim kemarau, atau bukan musim
panen, tingkat perceraian cukup tinggi. Sebaliknya, kalau musim panen, yang
tinggi, tingkat perkawinan.” Demikian jawaban pegawai tadi.
Sambil
menggeleng-gelengkan kepala, mendengar jawaban dari pegawai tadi, dalam hati
saya berkata:”Rupanya ini penyebab antrian panjang itu. Sepanjang hidup saya,
baru kali ini menyaksikan pemandangan seperti ini. Pernikahan dan perceraian
bisa ditentukan oleh musim.” Memang saat itu bisa dibilang sedang musim kemarau
dan belum musim panen.
Pengalaman
yang terakhir ini, bisa dibilang super unik, aneh, lucu bercampur haru. Karena
bapak pemilik rumah yang saya tempati ini, seorang penghulu atau dalam istilah
formalnya P3N, yang bertugas mencatat pernikahan, maka adik pak Kades ini,
sering dipanggil masyarakat untuk memimpin acara pernikahan.
Demikian
juga dengan hari itu. Seseorang datang menemui bapak, meminta untuk datang ke
rumahnya. Tak lama setelah tamu itu pergi, bapak bergegas mengganti pakaian,
dan saya mendapat giliran menemani bapak.
Sesampainya
di rumah orang yang mengundang bapak tadi, saya melihat, hanya beberapa orang
saja, mungki tidak lebih dari 20 orang. Saya tidak melihat mereka berpakaian
bagus, tidak ada tempat hantaran untuk pengantin wanita dan tempat mas kawin
atau mahar. Yang ada malah deretan makanan siap santap.
Akad
nikah akan segera dimulai. Calon mempelai adalah seorang duda dan janda.
Keduanya masih tampak muda belia. Ketika calon mempelai laki-laki itu
radarcirebon.com
m.suarakarya.id
ditanya soal mas kawin atau mahar
oleh bapak, lagi-lagi saya tidak percaya dengan penglihatan saya sendiri dan
membuat kening saya sedikit mengkerut.
Calon
pengantin laki-laki mengeluarkan uang satu lembar senilai 10 ribu rupiah. “Sah,
sah, sah”, demikian kata yang terlontar dari saksi nikah dan beberapa orang
yang menyaksikan.
Masih
belum hilang rasa kaget saya, bapak yang kebetulan duduk di samping saya,
menepuk paha saya, meminta saya memimpin doa penutup acara. Lalu, saya memimpin
do’a sesingkat-singkatnya.
Saya
baca dua, tiga kalimat do’a khusus untuk kedua mempelai, lalu saya tutup dengan
do’a sapu jagad:”Rabbanaa aatinaa fiddunyaa hasanah wa fil’aakhirati hasanah
wqinaa adzaabannaar.”
Melihat
kejadian yang janggal ini, muncul berbagai pertanyaan dalam benak saya, semurah
inikah sebuah nilai pernikahan di mata mereka? Dan serendah inikah martabat
kaum wanita di mata mereka?
Memang
seorang wanita tidak bisa dibeli atau digantikan dengan barang semahal apapun
nilainya. Tapi, bukankah Rasulullah saw dan para sahabatnya, memberi mahar atau
mas kawin kepada seorang wanita dengan sebesar-besarnya sesuai kemampuan?
Memang, pada beberapa kasus, ada salah seorang
sahabat nabi yang memberi mahar dengan membaca salah satu surah dai Al qur’an.
Tetapi,tentu saja ini berbeda konteksnya.
Tingginya
tingkat perceraian yang dipengaruhi oleh musim panen atau paceklik, berarti
erat kaitannya dengan masalah ekonomi. Sementara, sejatinya, pernikahan itu
sesuatu yang sakral.
Ada tujuan yang jauh lebih mulia, dibanding
sekedar pemenuhan kebutuhan biologis dan ekonomi. Dari kasus-kasus ini, tidak
bijak rasanya mencari kambing hitam atau siapa yang harus disalahkan.
Di
sini, barangkali dituntut peran semua pihak yang berkompeten seperti, para
penyuluh agama, para da’i, muballig, ustadz dan para penggiat dakwah lainnya,
untuk bersinergi memberikan pemahaman dan kesadaran kepada masyarakat, agar
dapat menempatkan sebuah pernikahan pada tempat yang sakral.
( Memoar adalah sepenggal
perjalanan hidup seseorang/tokoh. Demikian juga tulisan ini merupakan sepenggal
atau satu episode perjalanan hidup penulis. Harpan penulis, semoga memoar
sederhana ini dapat bermanfaat dan memberi inspirasi buat sahabat "KItabisa")
Nantikan Memoar: Tangisan itu
Berujung Senyuman Part 6 dengan judul :
Jalan Terjal Sang Guru Honorer
Kontak
Penulis/Blogger : 0822 8379 0651