Rabu, 22 Desember 2021

Memoar: Tangisan itu Berujung Senyuman Part V : Manisnya Mangga Indramayu (Edisi KUliah Kerja NYata/KKN)

 

Bab V

Manisnya Mangga Indramayu. (Edisi Kulah Kerja Nyata/KKN)

Oleh: Ahamd Khoibar, S.Ag.

            “Ayo, silahkan, mas-mas, mba-mba, dicicip mangganya, manis lho!” Itulah tawaran seorang ibu separuh baya, yang baru saja saya kunjungi bersama teman-teman sekelompok Kuliah Kerja Nyata/KKN.

            Hari itu, baru hari pertama saya dan kelompok KKN berada di lokasi. Tepatnya, di kampung Blok Wideng, Desa Bondan, Kecamatan Kertasemaya, Kabupaten Indramayu Jawa Barat.

            Saya sendiri,  sebenarnya harus ikut KKN tahun sebelumnya, periode 1993 di Kabupaten Purwakarta Jawa Barat. Karena ada satu kendala, baru bisa ikut KKN tahun depannya bersama angkatan adik tingkat.

            Di minggu pertama, kegiatan saya adalah melakukan kunjungan, menemui tokoh masyarakat, tokoh pemuda dan pihak-pihak lain yang dianggap perlu, untuk menampung informasi dan masukan, sebagai bahan pertimbangan penyusunan program KKN.

            Selain itu, tentu saja saya dan teman-teman berkunjung kepada tetangga terdekat di sekitar tempat tinggal. Tujuannya, untuk menjalin kedekatan dengan warga, dan diharapkan mereka dapat mendukung program-program yang akan digulirkan.

            Awal-awal kedatangan saya di kampung itu, bertepatan dengan sedang musim mangga berbuah. Masya Allah, hampir semua rumah penduduk memiliki pohon mangga.

            Banyaknya pohon tergantung luas pekarangan atau tanah yang dimiliki. Jenis dan ukuran mangga pun bervariasi, dari yang paling kecil sebesar bola kasti sampai yang pailing besar seukuran toples kue. Kalau rasanya, jangan ditanya lagi, manisnya luar biasa.

            Kali itu, saya benar-benar yakin, kalau mangga Indramayu itu laur biasa, super manis dan unggul dibanding mangga daerah lain. Saya benar-benar melihat, merasakan dan memetik langsung.

            Begitulah hari-hari saya pada minggu pertama berada di lokasi KKN. Setiap berkunjung ke rumah warga, pasti disuguhi menu utama, yaitu mangga Indramayu. Mangga-mangga itu dijejerkan berbaris sepanjang meja. Kalau mau pamit pulang, saya dipaksa harus membawa mangga itu ke tempat tinggal saya.

            Saya dan teman-teman yang laki-laki, ditempatkan di rumah seorang penghulu (di sana tugasnya menburus penikahan). Bapak pemilik rumah, kebetulan adik kandung  Kepala Desa. Sementara yang perempuan, ditempatkan di salah satu rumah penduduk, yang penghuninya

      bloggermangga.com    
                  Pikiran-rakyat.com            

hanya seorang janda. Rumah itu tidak jauh dari tempat tinggal mahasiswa yang laki-laki.

             Rumah yang saya tempati ini, berdekatan dengan rumah Kepala Desa, hanya terhalang oleh beberapa bangunan saja. Tempatnya cukup terpencil, sepi dan agak jauh dari Balai Desa yang berlokasi dekat pasar.

            Untuk menuju ke Balai Desa, saya harus berjalan kaki, menyeberangi sebuah jembatan kecil. Untuk sampai ke sana, butuh waktu 20-30 menit berjalan kaki.

            Saya tidak tahu alasan dan pertimbangan Kepala Desa, menempatkan saya dan teman-teman di tempat terpencil. Mengapa tidak dekat Balai Desa misalnya. Padahal, saya harus sering bolak-balik ke sana untuk konfirmasi program kerja.

            Apakah sengaja Kepala Desa menempatkan saya dan teman-teman ditempat terpencil, agar terisolir dari keramaian orang? Atau, apakah Kepala Desa menyembunyikan sesuatu dan takut  rahasianya  diketahui oleh mahasiswa KKN?

            Itulah pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam benak saya, ketika awal-awal kedatangan saya di tempat itu. Saya mengingatkan diri sendiri, untuk tidak bersikap su’uzdan, karena kenyataannya, Kepala Desa sangat baik terhadap saya dan teman-teman. Kami selalu dilayani dengan hangat dan semua keperluan dibantu.

            Pada umumnya mayoritas penduduk Kecamatan Kertasemaya bekerja sebagai petani. Rata-rata mereka memiliki sawah. Selain itu, ada juga yang berprofesi sebagai penambang pasir di sungai besar Cimanuk. Untuk yang punya modal besar, tentu saja menjadi bandarnya. Pasir-pasir itu rata-rata diangkut ke Jakarta untuk proyek berbagai pembangunan.

            Sepanjang jalan, dari arah sungai Cimanuk menuju jalan raya Kabupaten, cukup rusak dan bekas tumpahan pasir tercecer di mana-mana. Saya tidak tahu, apakah para bandar pasir di sana, tidak memberikan uang konpensasi kepada pihak Desa untuk perbaikan jalan. Atau, sebaliknya, mungkin para bandar pasir itu sudah memberikan uang konpensasi kepada pihak Desa, tetapi tidak digunanakan sesuai peruntukannya. Yang jelas, saya tidak mau berspekualsi soal ini.

            Anak-anak sekolah yang orang tuanya tidak punya motor, kalau pulang atau pergi sekolah, biasanya menumpang truk-truk pasir yang banyak berseliweran.

            Di Kampung Blok Wideng tempat saya tinggal, saya temukan beberapa hal unik, yang tidak ditemukan di kampung-kampung lain yang ada di sekitarnya. Keunikan itu di antaranya, setiap habis maghrib, anak-anak kecil hingga anak remaja, tidak boleh lagi ada yang keluar dari kampung itu.

            Satu-satunya akses jalan ke luar kampung adalah sebuah jembatan yang menghubungkan Kampung Blok Wideng dengan kampung lain. Jadi setiap habis maghrib, selalu ada beberapa orang  laki-laki dewasa yang berjaga di jembatan itu.

            Sehabis shalat isya, Anak-anak kecil hingga anak remaja tidak boleh ada yang keluyuran. Semuanya harus pulang ke rumah masing-masing. Orang-orang dewasa akan berpatroli keliling kampung. Ada semacam pengelompokan usia dalam pergaulan sehari-hari.

            Di kampung ini, tampak sekali perbedaan kelompok senior dan junior, layaknya kehidupan di pondok pesantren. Saya melihat, hal ini cukup positif. Kebiasaan ini, saya anggap sebagai barang langka dan sulit ditemukan di tempat lain.

            Mengapa demikian?  Karena pada umumnya, di kebanyakan tempat, orang dewasanya sudah tidak atau kurang peduli lagi terhadap adik-adik juniornya yang lebih muda, malah tidak sedikit yang secara sadar atau tidak, mereka memberi contoh prilaku negatif kepada generasi di bawahnya.

            Saya tidak tahu sejak kapan tradisi unik ini berlangsung. Apakah ada kesepakatan tertulis atau mengalir begitu saja secara temurun-temurun. Saya berpikir, kalau tradisi ini diterapkan di seluruh wilayah di tanah air ini, maka prolematika kenakalan remaja akan jauh bisa ditekan.

            Pada suatu malam saat acara Isra mikraj, anak-anak SD dan para remaja usia SMP, tampil mengisi acara. Ada yang tilawah al Qur’an, baca puisi, baca shalawat dan menyanyikan lagu religi. Semuanya, tanpa iringan musik sama sekali. Saya sendiri dan teman-teman tampil membacakan asmaul husna.

            Sebagai orang yang menyukai musik dan biasa bermain gitar, saya merasa malam itu, penampilan terasa garing dan kurang greget. Dari beberapa sumber informasi yang saya dengar, ternyata di kampung itu dilarang ada alat musik, terlebih

 

                                                                    mediasuaranasional.blogspot.com                                                                


 klikwarta.com

alat musik modern. Saya pun belum tahu mengapa alat musik dilarang di kampung itu.

            Dalam pemahaman saya saat itu, pada dasarnya alat-alat musik itu bebas nilai. Artinya, alatnya itu sendiri belum bisa dihukumi, halal atau haram. Tetapi, bagaimana dan untuk apa alat musik itu digunakan, akan menentukan hukum berikutnya, apakah ia menjadi pahala atau menjadi dosa, apakah ia haram atau halal.

            Di kampung itu, ada beberapa tokoh pemuda senior yang bergelar sarjana, bahkan ada yang alumni IAIN/UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Lalu, saya temui mereka satu per satu. Dengan santun, saya ajak mereka bertukar pikiran tentang musik dan alat musik.

            Rupanya disimpulkan, tujuan mereka melarang alat musik, hanya sekedar untuk membatasi anak-anak remaja agar tidak berlebihan dan tidak mengikuti gaya hidup para pemusik yang jauh dari nilai-nilai agama.

            Setelah berdiskusi panjang lebar, akhirnya saya diizinkan membawa gitar. Keesokan harinya, saya pulang ke Bandung untuk mengambil gitar, sekalian ada urusan yang harus diselesaikan.

            Ketika saya kembali ke lokasi dengan membawa sebuah gitar, ada beberapa warga yang kebetulan saya lewati rumahnya, menatap dengan tatapan agak sedikit aneh. Sementara, anak-anak remaja, khususnya yang laki-laki malah kegirangan, karena baru kali itu ada orang yang membawa gitar ke kampung itu.

            Semenjak ada gitar, anak-anak remaja yang laki-laki semakin sering main ke posko tempat kami tinggal. Ada yang hanya sekedar ingin mendengarkan saya bernyanyi dan bermain gitar, dan ada juga yang ingin mencoba memainkannya. Mereka kelihatan nyaman bermain gitar, karena merasa tidak akan ditegur senior-seniornya bila berada di tengah-tengah kami.

  

      

                                                                                        antarafoto.com

            Menjelang dua minggu lagi peringatan maulid nabi saw, saya kumpulkan anak-anak yang masih sekolah di SD, untuk latihan bernyanyi lagu-lagu religi diiringi gitar. Tentu saja sudah seizin para tokoh pemuda di situ. Lagunya saya ciptakan sendiri.

            Betapa girang dan senangnya anak-anak itu, karena mungkin baru pertama kali latihan bernyanyi diiringi gitar langsung. Untuk tempat latihan, saya pinjam salah satu ruangan kelas Madrasah. Selama beberapa kali latihan, anak-anak yang tidak ikut bergabung dalam grup, ramai-ramai menyaksikan kami latihan dari jendela kaca ruangan kelas.

            Alhamdulillah, penampilan anak-anak di acara puncak peringatan maulid nabi saw, berjalan sukses. Rupanya, anak-anak di sana cukup berpotensi, jika diarahkan dan dilatih dengan baik. Saya mendapat sambutan hangat dan pujian dari warga.

            Di Desa Bondan ini, yang banyak saya jumpai, hanya anak-anak kecil dan anak-anak remaja. Paling tua usia anak SMP. Kalaupun ada remaja putri yang umurnya, seumuran anak SMA, bisa dibilang barang langka. Anak-anak perempuan seumuran itu, biasanya sudah punya dua atau tiga anak atau dia seorang janda. Informasi ini saya dapatkan dari pak penghulu, pemilik rumah yang saya tempati. Lalu, pada kemana yang lainnya?

            Menurut info dari penduduk setempat, kebanyakan gadis-gadis itu merantau ke kota-kota besar, terutama ke Jakarta. Bahkan, banyak yang menjadi TKW ke luar negeri. Pantas saya dan teman-teman pernah melihat ada  beberapa rumah yang cukup bagus, tetapi, penghuninya hanya seorang laki-laki dewasa dan anak-anak.

            Dalam hati saya bertanya, apa kira-kira pekerjaan gadis-gadis itu di kota besar, karena tidak sedikit, orang tua yang tidak tahu pekerjaan putrinya di kota besar.

            Pernah saya dan teman KKN saya, Anjar, berkunjung ke salah seorang pegawai Desa. Rumah itu sepi. Sambil duduk saya pandangi sekeliling rumahnya. Di dinding tertempel tiga buah foto berbingkai. Ketiga orang dalam foto itu, orangnya berlainan.

            Tanpa menunggu pertanyaan, bapak berperawakan kurus ini menjelaskan, kalau ketiga wanita yang ada di foto itu adalah putri-putrinya. Semuanya kerja di Jakarta.

            Dengan santainya, bapak itu menawarkan anak-anaknya kepada saya. Ia bilang, silahkan pilih, mau yang mana. Kalau adek berminat, biar anak bapak, suruh bapak pulang.

            Mendengar tawaran itu, saya hanya tersenyum, karena awalnya saya mengira bapak itu bercanda. Ternyata setelah dilihat dari mimik mukanya, tawarannya itu menunjukkan tanda keseriusan. Saya dan teman saya Anjar, hanya tersenyum dan sesaat saling pandang.

            Hal unik lainnya yang saya temukan di lokasi KKN, pada satu kesempatan, saya ditugaskan oleh kelompok saya, untuk menyampaikan proposal kegiatan kepada kepala kantor Kemenag kabupaten Indramayu. Kebetulan bapak yang punya rumah, hari itu mau pergi juga ke Indramayu kota. Akhirnya, saya dapat tumpangan naik motor bersama bapak itu.

            Sesampainya di kantor Kementrian Agama, saya dikejutkan oleh deretan orang-orang yang sedang mengantri. Dengan rasa penasaran, saya bertanya kepada salah seorang pegawai kantor itu.

            Percaya atau tidak, kata pegawai kantor itu, rupanya orang-orang itu sedang mengantri daftar perceraian. Sekali lagi, antara percaya dan tidak, saya mendengar dan melihatnya.

            “Kenapa bisa sebanyak ini pak?” Tanya saya kembali kepada pegawai itu. “ Di sini dari dulu sudah terbiasa seperti ini dek, kalau musim kemarau, atau bukan musim panen, tingkat perceraian cukup tinggi. Sebaliknya, kalau musim panen, yang tinggi, tingkat perkawinan.” Demikian jawaban pegawai tadi.

            Sambil menggeleng-gelengkan kepala, mendengar jawaban dari pegawai tadi, dalam hati saya berkata:”Rupanya ini penyebab antrian panjang itu. Sepanjang hidup saya, baru kali ini menyaksikan pemandangan seperti ini. Pernikahan dan perceraian bisa ditentukan oleh musim.” Memang saat itu bisa dibilang sedang musim kemarau dan belum musim panen.

            Pengalaman yang terakhir ini, bisa dibilang super unik, aneh, lucu bercampur haru. Karena bapak pemilik rumah yang saya tempati ini, seorang penghulu atau dalam istilah formalnya P3N, yang bertugas mencatat pernikahan, maka adik pak Kades ini, sering dipanggil masyarakat untuk memimpin acara pernikahan.

            Demikian juga dengan hari itu. Seseorang datang menemui bapak, meminta untuk datang ke rumahnya. Tak lama setelah tamu itu pergi, bapak bergegas mengganti pakaian, dan saya mendapat giliran menemani bapak.

            Sesampainya di rumah orang yang mengundang bapak tadi, saya melihat, hanya beberapa orang saja, mungki tidak lebih dari 20 orang. Saya tidak melihat mereka berpakaian bagus, tidak ada tempat hantaran untuk pengantin wanita dan tempat mas kawin atau mahar. Yang ada malah deretan makanan siap santap.

            Akad nikah akan segera dimulai. Calon mempelai adalah seorang duda dan janda. Keduanya masih tampak muda belia. Ketika calon mempelai laki-laki itu

    

                                                                                    radarcirebon.com                                                                              

                                                                                            m.suarakarya.id

ditanya soal mas kawin atau mahar oleh bapak, lagi-lagi saya tidak percaya dengan penglihatan saya sendiri dan membuat kening saya sedikit mengkerut.

            Calon pengantin laki-laki mengeluarkan uang satu lembar senilai 10 ribu rupiah. “Sah, sah, sah”, demikian kata yang terlontar dari saksi nikah dan beberapa orang yang menyaksikan.

            Masih belum hilang rasa kaget saya, bapak yang kebetulan duduk di samping saya, menepuk paha saya, meminta saya memimpin doa penutup acara. Lalu, saya memimpin do’a sesingkat-singkatnya.

            Saya baca dua, tiga kalimat do’a khusus untuk kedua mempelai, lalu saya tutup dengan do’a sapu jagad:”Rabbanaa aatinaa fiddunyaa hasanah wa fil’aakhirati hasanah wqinaa adzaabannaar.”

            Melihat kejadian yang janggal ini, muncul berbagai pertanyaan dalam benak saya, semurah inikah sebuah nilai pernikahan di mata mereka? Dan serendah inikah martabat kaum wanita di mata mereka? 

            Memang seorang wanita tidak bisa dibeli atau digantikan dengan barang semahal apapun nilainya. Tapi, bukankah Rasulullah saw dan para sahabatnya, memberi mahar atau mas kawin kepada seorang wanita dengan sebesar-besarnya sesuai kemampuan?

             Memang, pada beberapa kasus, ada salah seorang sahabat nabi yang memberi mahar dengan membaca salah satu surah dai Al qur’an. Tetapi,tentu saja ini berbeda konteksnya.

            Tingginya tingkat perceraian yang dipengaruhi oleh musim panen atau paceklik, berarti erat kaitannya dengan masalah ekonomi. Sementara, sejatinya, pernikahan itu sesuatu yang sakral.

             Ada tujuan yang jauh lebih mulia, dibanding sekedar pemenuhan kebutuhan biologis dan ekonomi. Dari kasus-kasus ini, tidak bijak rasanya mencari kambing hitam atau siapa yang harus disalahkan.

            Di sini, barangkali dituntut peran semua pihak yang berkompeten seperti, para penyuluh agama, para da’i, muballig, ustadz dan para penggiat dakwah lainnya, untuk bersinergi memberikan pemahaman dan kesadaran kepada masyarakat, agar dapat menempatkan sebuah pernikahan pada tempat yang sakral.


( Memoar adalah sepenggal perjalanan hidup seseorang/tokoh. Demikian juga tulisan ini merupakan sepenggal atau satu episode perjalanan hidup penulis. Harpan penulis, semoga memoar sederhana ini dapat bermanfaat dan memberi inspirasi buat sahabat "KItabisa")

 

Nantikan Memoar: Tangisan itu Berujung Senyuman Part 6 dengan judul :

 

Jalan Terjal Sang Guru Honorer

 

Kontak Penulis/Blogger : 0822 8379 0651

 

Selasa, 14 Desember 2021

Memoar: Tangisan itu Berujung Senyuman Part 4 : Liku-Liku Meraih Gelar Sarjana Oleh : Ahmad Khoibar

 

Bab IV

Liku-Liku Meraih Gelar Sarjana.

Oleh: Ahmad Khoibar

            Sebuah hadiah terindah saya persembahkan untuk ayah tercinta yang sedang terbaring, dirawat di rumah sakit Yudistira Cimahi – Jawa Barat. Hadiah itu berupa sebuah koran  yang memuat nama saya, diantara deretan ratusan nama calon mahasiswa baru yang lulus tes dan diterima di kampus IAIN Sunan Gunung Djati Bandung (Sekarang UIN).

            Ketika saya perlihatkan koran itu, ayah yang sudah tiga hari terbaring di rumah sakit, tampak tersenyum bahagia. Saya berharap kabar baik itu dapat meringankan sakit dan sedikit menghibur ayah.

            1991, saya diterima di Fakultas Tarbiyah, jurusan Bahasa dan Sastra Arab IAIN Sunan Gunung Djati Bandung . Sebenarya,  jurusan ini dibawah Fakultas Adab. Saat itu SK Fakultas belum turun, 3 tahun kemudian SK baru diterbitkan.

            Selama menjadi mahasiswa saya memilih tinggal di tempat kos dekat kampus. Alasannya, Jarak dari rumah saya ke kampus lumayan jauh dan selalu macet di perjalanan.

             Rumah saya berlokasi di daerah Bandung Barat bagian utara, sementara kampus berada di ujung timur kota Bandung. Karena sehari-hari kemacetan kota sangat parah, butuh waktu 2 sampai 2,5 jam perjalanan dari rumah saya ke kampus.

             Itu dalam satu kali perjalanan. Kalau pulang pergi, berarti sedikitnya memakan waktu 4 jam. Jika 25 hari (hari efektif), berarti 100 jam hanya terbuang di jalan. Waktu sebanyak itu tentu saja lebih bermanfaat bila digunakan untuk membaca buku atau mengerjakan tugas-tugas kuliah.

             Beberapa orang teman saya ada yang tinggal di masjid-masjid menjadi marbot atau garim. Banyak keuntungan yang didapat jika mahasiswa tinggal di masjid. Pertama, bisa mengamalkan ilmu dengan mengajar ngaji anak-anak, Kedua, ibadah sehari-hari selalu terjaga, ketiga, selalu dapat makan gratis dan keempat, tidak usah bayar kos.

            Bagi teman-teman yang tinggal di dalam kota, mereka pulang pergi dari rumah. Kalaupun sedang banyak tugas kuliah dan harus bermalam, biasanya mereka menginap di tempat kos teman.

            Tidak sedikit mahasiswa yang berasal dari keluarga sederhana atau biasa-biasa secara ekonomi, seperti saya. Banyak cara dan upaya yang dilakukan agar mereka tetap bisa kuliah.

            Contoh, salah seorang teman saya, punya kemampuan membuat box speaker. Jadi, di kamar kosnya banyak tumpukan lapisan papan dan peralatan lainnya sebagai bahan box speaker. Para konsumen pertamanya, tentu saja teman-teman yang ia kenal terlebih dulu, lalu meluas ke yang lain.

            Ada lagi teman yang punya keahlian reparasi TV. Kebetulan satu asrama dengan saya. Jadi, setiap ada TV yang baru selesai diperbaiki, saya bersama teman-teman yang lain, menikmati dulu TV tersebut sebagai uji coba sebelum diambil pemiliknya. Jadi, kami selalu berganti-ganti TV.

             Tidak kalah dengan pembuat box speaker dan ahli reparasi TV, teman yang satu ini punya keahlian menjahit pakaian. Ia dari rumahnya membawa mesin jahit. Lagi-lagi, konsumen pertamanya teman-teman terdekat atau yang dikenal dulu, lalu merembet ke yang lain, karena satu sama lainnya saling  memberi informasi.

            Sejak tahun pertama masuk kampus, saya bersama teman-teman satu jurusan, bahkan dengan lintas jurusan, sering berkumpul-kumpul di rumah kosan. Selain senda gurau dan canda tawa, tak jarang ketika berkumpul, kami berdiskusi mulai dari hal-hal yang remeh temeh sampai urusan yang bertema berat, seperti tentang idiologi negara, soal pemerintahan dan masalah-masalah sosial yang terjadi di masyarakat saat itu.

            Tapi, kalau saya perhatikan tidak sedikit juga mahasiswa yang kerjaannya jalan-jalan, shoping dan nonton di bioskop. Waktu itu belum musim internet.

            Begitulah gaya hidup kami sebagai kaum, yang kebanyakan orang menyebut  kaum intelektual. Tema-tema ringan seperti masalah gaya atau selera, bisa  menjadi panjang kali lebar jika kami diskusikan.

            Mahasiswa UIN, rata-rata berasal dari sekolah keagamaan seperti Madrasah Aliyah dan Pesantren, Walaupun ada juga yang lulusan sekolah umum seperti SMA dan sejenisnya. Namun tidak banyak. Latar belakang pemahaman ilmu fikih (tata cara ibadah) pun tentu berbeda-beda.

            Inilah mungkin yang membedakan, ketika mahasiswa berkumpul dalam perbedaan dengan masyarakat awam. Saya dan teman satu kelas atau teman satu kos sering memiliki perbedaan dalam masalah fikih. Perbedaan ini tentu saja dilatarbelakangi oleh tempat pendidikan sebelumnya dan lingkungan keluarga.

            Di dalam shalat  misalnya, saya tidak melafalkan niat, sementara teman saya melafalkannnya. Di dalam shalat subuh, saya tidak membaca doa qunut, sementara teman saya melakukanya, dan banyak lagi perbedaan-perbedaan tata cara ibadah seperti yang selama ini terjadi di tengah masyarakat.

           

youtube.com
jurnalposmedia.com

                        Jika di tengah masyarakat, perbedaan-perbedaan seperti di atas bisa menjadi pemicu terjadinya perselisihan paham, bahkan sampai ke bentrokan fisik. Sementara,  di lingkungan kami (mahasiswa), malah menjadi perekat dan media untuk mengasah wawasan dan logika. Bahkan, sesekali menjadi bahan candaan.

            Misalnya, kawan yang biasa menggerak-gerakkan telunjuk ketika tasyahud dalam shalat, bertanya kepada kawan yang biasa mengusap muka setelah salam terakhir, “kenapa kamu selalu mengusap muka setiap selesai salam, bukankah akhir shalat itu membaca salam sambil menolehkan muka ke kanan dan ke kiri? Yang biasa mengusap muka pun punya jawaban unik, “karena saya pusing melihat kamu menggerak-gerakkan telunjuk ketika shalat.

            Celotehan di atas merupakan salah satu contoh dari sekian banyak candaan yang terjadi. Tentu saja tujuannya untuk mencairkan suasana supaya tidak terjadi ketegangan.

            Intinya, dalam masalah perbedaan fikih atau biasa disebut khilafiyah, di antara kami saling mengerti dan memahami. Selama itu bukan dalam perbedaan masalah yang pundamental atau prinsif, hal itu sah-sah saja, asalkan ada dalil atau dasar hukumnya.

            Selain berdiskusi, kami pun tak ketinggalan ikut demontrasi mahasiswa yang biasanya diadakan serempak lintas kampus. Tentu saja, tema yang diusung mengkritik kebijakan-kebijakan pemerintah yang dinilai merugikan dan membodohkan masyarakat, seperti menolak perjudian massal. Waktu itu terkenal program judi yang dilegalkan pemerintah, yang dikenal dengan SDSB (sumbangan dana sosial berhadiah).

            Saya sendiri, selain sibuk ikut diskusi-diskusi dan demontrasi, masih punya kegiatan tambahan. Karena orang tua saya bukan dari kalangan ‘berada’, untuk menutupi keperluan kuliah, saya harus mencari tambahan pemasukan.

                                                            Dokmen pribadi.      Sebagian mahasiswa Sastra Arab angkatan 1991

            Banyak yang saya lakukan, mulai dari mengajar privat baca qur’an, menjual majalah dengan cara jual “paksa” pada teman-teman sekelas, menerima pesanan snack buat acara kegiatan mahasiswa, sampai menjual poto copy jadwal pertandingan bola Persib Bandung di Bundaran Cibiru, tak jauh dari kampus.

            Saya tawarkan lembaran foto copy itu kepada para penumpang angkot (angkutan kota). Alhamdulillah, untuk sekedar makan dan beli diktat kuliah bisa dipenuhi dari situ.

            Pernah pada suatu hari,  perbekalan benar-benar habis. Saya dan dua teman saya mengamen berkeliling perumahan yang agak jauh dari kampus. Saya bermain gitar sambil bernyanyi, teman saya, Aris, meniup harmonika dan satu lagi, Unas, sebagai tim hore dan pengumpul uang.

            Sampailah kami bertiga pada sebuah warung, disitu banyak pemuda yang sedang  duduk-duduk. Saya pun minta izin mengamen di warung itu. Dari kerumunan pemuda itu, ada salah seorang laki-laki yang sudah berumur. Di Tangannya tampak gambar tato. Laki-laki itu memegang sebuah parang. Namun, kepalanya ikut mengangguk-angguk mengikuti irama lagu yang saya nyanyikan. Selama bernyanyi saya merasa agak was-was dan hati terasa ciut.

            Selepas satu lagu, laki-laki itu malah minta tambah lagu lain. Hati saya sedikit lebih tenang pada saat menyanyikan lagu yang kedua. Setelah selesai bernyanyi, laki-laki seram itu memberi kami uang sambil berkata: “Nah, ini baru ngamen. Kalau yang sudah-sudah, pengamen yang datang ke sini suka sambil mencuri dek”

            Begitulah hari-hari yang saya jalani di kampus bersama kawan-kawan seperjuangan. Tiada hari tanpa diskusi, tanpa bersenda gurau.

            Menjelang selesai kuliah, di tahun-tahun terakhir, diskusi kami semakin intens. Saat itu tema yang diangkat lebih sering soal masa depan. Kami membahas bagaimana mempersiapkan diri setelah selesai kuliah nanti.

            Sudah bukan rahasia lagi, saat itu jumlah pengangguran cukup tinggi, termasuk para sarjana. Saya dan kawan-kawan, tidak ingin terperosok ke lubang yang sama, seperti yang dialami para pendahulu kami, yaitu masuk ke dalam kubangan pengangguran intelek.

            Berangkat dari hipotesa dan dasar pemikiran di atas, secara serius kami berdiskusi. Mungkin lebih tepatnya, kami bermusyawarah, saling memberi masukan untuk menyiapkan program usaha bersama.

            Saat itu, kami berkomitmen untuk merintis sebuah usaha sejak kami menjelang selesai kuliah. Tujuannya, agar selepas kuliah nanti, kami sudah punya kegiatan usaha alias tidak menganggur.

********

            Semester demi semester saya lalui dengan lancar dan satuan kredit semester/ SKS pun sudah hampir selesai. Saya dan teman-teman pun mulai sibuk mengajukan proposal judul penelitian untuk skripsi.

            Berkali-kali proposal saya ditolak. Demikian juga, dengan beberapa orang teman saya. Bagi teman yang sudah disetujui proposalnya, mereka langsung tancap gas menyusun bab 1.

            Syarat untuk meraih gelar sarjana harus menempuh dua kali sidang. Pertama sidang komprehensif, semacam tes wawasan dan tertulis untuk semua mata kuliah. Kedua, sidang munaqasah atau sidang skripsi. Untuk syarat mengikuti sidang komprehensif harus sudah menuntaskan semua mata kuliah.

            Saat itu ada satu mata kuliah yang mengganjal saya untuk ikut sidang kemprehensif. Ada satu tugas yang dianggap belum lengkap, sehingga nilainya belum keluar. Ketika saya menghubungi dosen bersangkutan di rumahnya yang tidak jauh dari kampus, rupanya, selama beberapa hari beliau berada di luar kota, sedang ada urusan pengawasan di sebuah Pesantren. Tepatnya di daerah Tasikmalaya.

            Saya pun segera meluncur ke sana dengan bekal secarik kertas bertuliskan alamat tempat ia sedang bertugas. Kebetulan saya belum mencatat nomor telepon rumah beliau.

            Setelah memakan waktu kira-kira tiga jam lebih perjalanan, sampailah saya di daerah Tasikmalaya. Saya bergerak menuju alamat, sesuai yang tertera pada secarik

kertas itu. Namun, setiap orang yang saya tanya, semuanya menggelengkan kepala. Mereka tidak tahu tepatnya lokasi alamat itu.

            Sudah hampir 4 jam saya berkeliling mencari alamat itu, tapi belum ada hasilnya. Kalau zaman sekarang, mungkin tinggal SMS, WA atau share location, mungkin sangat mudah menemukan alamat tersebut. Tapi, saat itu belum musim HP. Ada telepon rumah saja sudah lumayan. Itu pun baru orang-orang tertentu saja.

            Karena sudah masuk waktu ashar dan badan terasa lelah, saya singgah di sebuah mushalla kecil di situ. Lalu, ikut shalat berjamaah bersama beberapa orang jamaah di situ.

            Seusai shalat, di saat para jamaah lain sudah pada pulang, ada satu jamaah yang masih tinggal dan ia menghampiri saya. Mungkin bapak yang satu ini melihat saya seperti orang kebingungan, sehingga ia menanyakan tujuan saya.

            Ketika saya sampaikan nama dosen dan alamat sesuai yang tertulis di kertas itu, laki-laki setengah baya itu memberitahukan bahwa mushalla dan rumah di sebelahnya, rumah orang tua dari dosen yang saya cari. Masya Allah, Dia menunjukkan kekuasaan-Nya. Padahal bukan alamat ini yang saya cari.

            Masih kata jamaah tadi, alamat yang saya cari jaraknya jauh dari tempat itu dan berlainan arah. Akhirnya, saya menjumpai orang tua dosen saya. Lalu, orang tua itu menyuruh saya mengunggu. Katanya, selama beberapa hari bertugas di daerah itu, anaknya, yang juga dosen saya, setiap hari pulang dan tidur di situ.

            Sekitar pukul 05.30 sore, akhirnya dosen saya tiba di rumah orang tuanya. Beliau kaget melihat saya ada di situ. “ Kok bisa, kamu kan mencari alamat Pesantren ini Mad?” Tanyanya penasaran. “ saya juga bingung pak, sudah berjam-jam keliling nggak ketemu-ketemu alamat bapak bertugas. Eh malah nyasar ke tempat ini.” Jawab saya. Ternyata,  banyak cara Tuhan dalam mempertemukan  setiap orang, bahkan terkadang cara-cara itu sulit kita pahami.

            Singkat cerita, saya dikasih amplop berisi data perbaikan nilai, berikut beberapa tugas tambahan. Nilai itu disetorkan kepada bagian administrasi untuk direkap.

            Akhirnya, setelah nilai seluruh mata kuliah masuk, saya dizinkan mengikuti ujian komprehensif dan alhamdulillah mendapat nilai memuaskan. Langkah berikutnya untuk meraih gelar sarjana, yaitu menyusun skripsi dengan diawali pengajuan proposal judul skripsi. Tahap ini merupakan tahap terberat yang harus dilewati oleh setiap mahasiswa.

           

                            Dokumen pribadi.  Mahasiswa Sastra Arab angkatan 91 (Tahun pertama).

            Karena sudah tidak ada perkuliahan, saya putuskan untuk tinggal bersama orang tua di kampung. Kalaupun jauh ke kampus, saya tidak merasa berat lagi karena perginya hanya sesekali saja. Di kampung, saya sudah mulai merintis masa depan, dengan menjadi guru honorer di salah satu SMP Negeri, tidak jauh dari tempat tinggal saya.

            Hampir enam bulan saya tidak pernah ke kampus. Semakin lama tidak ke kampus, semakin malas dan berat langkah untuk menyelesaikan studi. Orang tua pun mulai bertanya-tanya kapan selesainya. Bahkan saya dengar ada beberapa kawan yang sudah lulus sidang munaqasah atau sidang skripsi.

            Suatu hari di saat jam kosong mengajar, saya sempatkan datang ke kampus. Memang sudah sulit bertemu dengan teman sekelas atau yang seangkatan. Mereka rata-rata sedang menyusun skripsi dan sudah banyak yang tidak tinggal di tempat kos lagi.

            Lalu, secara tak sengaja saya bertemu dengan dua orang teman sekelas saya yang sedang menyusun skripsi, bahkan sudah bab 4. Karena berjumpa teman-teman sekelas itulah, hati saya tergerak untuk kembali menyelesaikan studi.

            Saya tidak bisa membayangkan betapa kecewanya orang tua jika saya tak dapat menyelesaikan studi. Mereka sudah berjuang, bersusah payah membiayai saya.     Mereka berharap betul saya menjadi sarjana. Alasannya, pertama, saya anak nomor satu dalam keluarga. Kedua, mungkin hanya sayalah yang sanggup mereka kuliahkan.

            Selanjutnya, mereka berharap saya bisa membantu adik-adik saya. Dan memang, pada kenyataannya, hanya saya yang melanjutkan kuliah S1, sementara keempat adik saya, semuanya hanya tamatan SMA.

********

            Sesampainya di rumah, saya cari-cari lagi berkas proposal yang pernah ditolak dosen penguji. Lalu, dengan judul yang sama, saya perbaiki dan rapikan proposal itu dan tiga hari kemudian, saya kembali ke kampus untuk mengajukan proposal tersebut.

            Alhamdulillah, angin takdir baik menyapa saya. Tanpa banyak koreksi, proposal judul skripsi saya disetujui. Salah seorang petugas tata usaha jurusan, yang bertugas menentukan dosen pembimbing skripsi bertanya kepada saya: “Ahmad, kamu mau pilih yang mana, dosen pembimbing yang alamatnya dekat, tetapi sulit proses dan persetujuannya, atau dosen pembimbing yang alamatnya jauh, tapi mudah proses dan persetujunnya?” Sejenak saya berpikir, lalu saya jawab: “ Saya pilih yang kedua pak.”

            Waktu itu, saya pikir, biarlah berat di ongkos yang penting proses penyusunan skripsi cepat dan lancar. Karena, waktu itu saya sudah masuk tahun kelima atau semester 10. Akhirnya, petugas TU memberi saya dosen pemimbimg 1, seorang dosen senior, sekaligus seorang kiayi Haji lulusan Al Azhar Kairo yang tinggal di daerah Singaparna Tasikmalaya Jawa Barat. Sedangkan, dosen pembimbing 2, seorang ibu-ibu yang sedang melanjutkan studi program S2 di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (sekarang UIN).

            Tanpa membuang-buang waktu, kurang lebih dua bulan saya susun skripsi. Saat itu belum musim laptop. Komputer sudah mulai ada, tapi belum terlalu booming. Rata-rata mahasiswa yang masih menggunakan mesin tik.

            Karena skripsi saya berbahasa Arab, saya mengunakan tulisan tangan. Demikian juga semua teman di jurusan Sastra Arab, hampir semua masih mengunakan tulisan tangan. Program tulisan Arab di komputer masih jarang. Karena tulisan Arab saya termasuk kurang bagus, saya meminta tolong teman saya dan seorang adik tingkat untuk menuliskannya.

            Setelah dianggap selesai dan rapi. Langsung saya meluncur ke Tasikmalaya, menuju tempat tinggal dosen pembimbing 1. Lagi-lagi saya belum mencatat nomor telepon rumahnya.

            Menjelang waktu isya saya sampai di rumah beliau. Waktu itu beliau mau keluar bersama keluarganya. Tentu saja, beliau terganggu dengan kedatangan saya karena tidak ada janji sebelumnya. Saya pun menyadari akan hal itu. Akhirnya, saya disuruh kembali besok malamnya.

            Kebetulan kelaurga dari istri paman saya tinggal di daerah situ. Dengan susah payah saya mencari alamatnya. Alhamdulllah ketemu dan malam itu saya numpang menginap di rumah itu.

            Keesokan harinya, karena sudah ada janji, saya disambut hangat oleh dosen pembimbing saya. Meskipun banyak yang harus diperbaiki, namun semuanya diperiksa hari itu juga.

            Setelah memperbaiki dan merapikan materi skripsi sesuai yang diminta oleh dosen pembimbing 1, saya bertolak ke Jakarta untuk menemui dosen pembimbing 2. Sampai di Jakarta sekitar jam 9 malam.

            Cukup lama juga mencari alamat beliau, apalagi di Jakarta, tidak semua orang, ramah untuk ditanya-tanya alamat. Terkadang, ada orang ketika ditanya alamat, tanpa berpikir dulu tahu atau tidaknya, langsung menggelengkan kepala menjawab tidak tahu.

            Hari sudah malam, hujan mengguyur ibu kota malam itu. Alhamdulillah, walaupun agak susah, akhirnya ketemu juga alamat dosen pembimbing 2.

            Ketika menatap saya tampak lusuh, cape, kehujanan, malam-malam, dan datang dari jauh, naluri keibuan dosen pembimbing saya muncul.

            Sebelum menanyakan skripsi saya, beliau menghidangkan dulu minuman hangat dan makanan ringan. Setelah itu baru ia memeriksa dan memperbaiki susunan daftar isi, tata bahasa, cara menulis daftar pustaka, cara menukil pendapat sumber dan semua yang berkaitan dengan tekhnik penyusunan skripsi.

            Beberapa hari kemudian, setelah saya perbaiki dan rapikan hasil  koreksian dan catatan dari kedua dosen pembimbing, saya masukan surat persetujuan / acc kedua pembimbng ke bagia TU. Lalu, kami menunggu satu bulan kemudian untuk menghadapi sidang skripsi.

            Sebulan kemudian tibalah hari yang menegangkan itu. Semua wajah mahasiswa yang sedang mengikuti sidang munaqasah atau sidang skripsi pagi itu tampak tegang. Pasalnya, ketua tim penguji merupakan dekan Fakultas, sekaligus dosen senior yang terkenal cukup ‘killer’ selama ini.

            Siapapun yang diuji oleh beliau, hampir semuanya tidak lulus satu kali. Tapi,  harus mengulang sidang dua kali, bahkan sampai tiga kali, baru dinyatakan lulus. Sementara jadwal dari satu sidang skripsi ke sidang berikutnya biasanya 4 bulan.

            Sampailah giliran saya untuk menghadapi saat-saat menegangkan itu. Setelah nama saya dipanggil untuk masuk ke dalam ruangan sidang, beberapa saat, saya berusaha menenangkan diri, dengan menarik nafas panjang tiga kali sambil dalam hati mengucap “laa haulaa walaa quwwata illa billaah” sebanyak-banyaknya saya bisa.

            Ketika saya dipersilahkan duduk di kursi yang terletak di hadapan para penguji, saya layaknya seorang pesakitan atau seorang tersangka kasus hukum yang akan menjalani persidangan. Di depan saya berjejer beberapa orang penguji dan tepat berhadapan dengan saya, penguji ‘killer’ yang ditakuti oleh para mahasiswa.

            Saya terus berjuang mengendalikan diri agar tenang dan tidak panik serta grogi. Dosen penguji itu pertama-tama melihat dan mengamati skripsi saya. Dibukanya sesaat, lalu ditutup lagi. kemudian, sesekali memandang wajah saya. Saya tetap berusaha tenang.

            Sambil membuka kembali skripsi saya, beliau mulai memaki-maki saya dengan suara agak tinggi. Beliau katakan: “Skripsi macam apa ini, kok calon sarjana buat karya ilmiah asal-asalan.” Dan, banyak lagi kata-kata beliau yang bisa membuat down siapapun.

            Tapi, alhamdulilah, selama kurang lebih dua menit beliau berkata-kata, saya diberi ketegaran dan cukup tenang. Saya menanggapi semuanya dengan sedikit senyum dan mengiyakan apa yang beliau katakan.

            Akhirnya, beliau sedikit tersenyum sambil berujar: “ Ini baru pemanasan belum mulai. Sekarang silahkan presentasikan penelitian kamu!” Perintah ini mulai menggunakan bahasa Arab. Saya merasa lega mendengar itu. Rupanya di awal tadi beliau hanya menguji dan menggertak mental saya.

            Saya pun langsung mempresentasikan isi skripsi saya. Tentu saja menggunakan bahasa Arab, karena menjadi syarat utama. Belum sampai sepuluh menit saya menjelaskan inti dan kesimpulan skripsi saya, tiba-tiba beliau memotong dan mengatakan: “khallaas, tafaddhal ukhruj!”( Sudah, silahkan keluar!)

            Tentu saja saya kaget tiba-tiba disuruh keluar. Saya tidak mengerti makna kalimat itu, apakah dinyatakan lulus, atau malah tidak lulus dan harus mengulang lagi 4 bulan kemudian.

            Lalu, saya coba menyakinkan, “ a Haadza shahiih?”(Apakah ini serius?) Tanya saya. Kemudian beliau pun menjawab kembali: “Na’am tafaddhal ukhruj!” (Ya, silahkan anda keluar!)

            Saya pun segera meninggalkan ruangan sidang dengan penuh tanda tanya dalam hati. Peserta sidang yang sedang menunggu giliran di luar, sedikit bertanya-tanya, mengapa proses sidang saya begitu cepat. Saya menanggapi pertanyaan teman-teman hanya dengan menggelengkan kepala, sambil meninggkalkan kampus menuju tempat kos teman saya.

            Selama beberapa hari saya menginap di tempat kos adik kelas saya untuk menunggu hasil keputusan sidang. Tiga hari kemudian, saya berjumpa dengan salah seorang adik kelas satu jurusan. Dia spontan bilang: “Kang, selamat ya, akang lulus memuaskan, nilai sidang A.”

            Mendengar itu saya hanya tersenyum dan menanggapi kata-kata adik kelas itu: “wah, kamu jangan bercanda, kalaupun saya ditakdirkan sekali lulus dengan bapak itu, dapat nilai B saja sudah luar biasa.” Namun, adik kelas itu berkali-kali meyakinkan saya, bahwa info itu benar dan dia bilang melihat sendiri pengumumannya sudah ditempel di papan informasi depan kantor jurusan.

             Lama kelamaan, saya jadi penasaran. Lalu saya meluncur menuju ruang jurusan dan ternyata apa yang disampaikan adik kelas saya itu benar. Seolah tak percaya dengan apa yang saya lihat, saya baca berulang-ulang pengumuan kelulusan itu.

            Setelah benar-benar yakin saya lulus, apalagi memuaskan, saya langsung sujud syukur di tempat. Setelah itu saya bergegas menuju tempat telepon umum yang terletak di sudut gerbang kampus.

            Karena di rumah orang tua saya tidak ada telepon, saya kabari orang tua melalui nomor telepon rumah bibi saya. Kebetulan rumah bibi tak jauh dari rumah orang tua. Saya minta tolong bibi, agar menyampaikan berita gembira ini kepada orang tua saya.

             Rupanya, bibi saya mengabari, ayah saya sedang sakit, tapi di rumah, tidak dirawat di rumah sakit. Memang, kondisi ayah saya sejak lama lemah dan sering sakit-sakitan.

            Kembali saya berharap, semoga berita baik ini bisa menghibur ayah yang sedang sakit. Enam tahun yang lalu, ketika saya lulus tes, ayah sedang terbaring di rumah sakit. Ketika saya lulus, ayah sedang terbaring sakit juga.

            Tiga bulan kemudian acara wisuda dilaksanakan. Sebenarnya saya sendiri tidak terlalu antusias ikut acara wisuda. Alasannya, pertama, menurut saya itu hanya acara ceremonial saja dan kedua, agar tidak mengeluarkan biaya lagi. Bagi saya, lulus sidang skripsi adalah puncak segalanya. Ia akhir dari proses perjuangan selama menjadi mahasiswa.

           

 


kabarkampus.com

news. okezone.com.              

            Namun, tentunya berbeda dengan orang tua. Bagi orang tua wisuda adalah simbol kebanggaan, apalagi waktu itu dikeluarga saya, belum ada yang kuliah S1. Jadi, atas dasar itu saya ikut wisuda.

            Alhamdulillah, pada hari wisuda, kondisi ayah sudah lebih baik. Jadi beliau bisa ikut menghadiri acara wisuda. Pancaran kebanggaan ayah tak dapat disembunyikan ketika melihat saya memakai baju toga.  Begitu juga dengan ibu dan adikku yang saat itu turut mengantar.

            Jelas, orang tua saya merasa bangga, terutama ayah, karena perjuangan mereka tidak mudah dan tidak ringan membiayai saya. Ditambah lagi keempat adik saya yang semuanya masih sekolah.

            Ayah saya seorang guru PNS. Tapi, selama hidupnya sering sakit-sakitan. Jadi tidak bisa berbuat banyak untuk menutupi segala kebutuhan hidup keluarga. Untugnya, saya punya ibu yang super sabar.

            Sambil merawat ayah yang sering sakit, setiap hari ibu membuat kue-kue untuk dititip ke warung-warung. Saya dan kelima adik saya ketika masih SD membantu ibu menitip kue di warung-warung.

            Selain itu, di rumah ibu membuka warung kecil-kecilan. Dari situlah sedikit uang berputar untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Tambahannya, kalau ayah lagi sedikit sehat, sesekali menerima jasa menjahi pakaian. Begitu juga dengan ibu saya. Kebetualan keduanya pandai menjahit pakaian.

            Hanya baru itulah yang dapat kepersembahkan buat ayah. Memberi rasa kebanggaan. Lulus mendapat gelar sarjana. September 1997 saya diwisuda, ayah pergi untuk selama-lamanya November 1999.

            Jadi, secara finasial, saya belum banyak berbuat untuk ayah. Ketika ayah meninggal, saya baru jadi guru tenaga honorer, tentu saja belum berpenghasilan layak.

            Waktu ayah masih ada, setahun menjelang saya selesai kuliah, ayah pernah bilang: “ Bapak tidak menuntut kamu yang muluk-muluk, bapak ingin kamu selesai kuliah dan melihat kamu diwisuda, kemudian kamu bisa mengamalkan ilmu agar bermanfaat untuk orang banyak serta bisa membimbing adik-adikmu.” Itulah keinginan dan pesan beliau yang masih terngiang-ngiang di telinga saya.

            Saya sendiri memang bangga meraih gelar ini, karena tidak mudah bagi saya mendapatkannya. Perlu pengorbanan dan perjuangan untuk sampai di titik finish.

            Saya tidak tahu,  bagaimana rasanya orang-orang yang mendapat gelar sarjana dengan cara ‘mudah’. Terlebih, kalau membaca berita atau menonton TV, saya pernah beberapa kali menyaksikan orang-orang ‘terhormat’ yang terjun di dunia politik  terlibat kasus ijazah palsu. Demi sebuah ambisi, dengan mudah orang mendapatkan gelar sarjana, magister dan lain sebagainya. Semoga kita terhindar dari semua itu. Amin.          

(Memoar adalah sepenggal perjalanan hidup seseorang/tokoh. Demikian juga tulisan ini merupakan sepenggal atau satu episode perjalanan hidup penulis. Harapan penulis, semoga memoar sederhana ini dapat bermanfaat dan memberi inspirasi buat sahabat "KItabisa")

 

Nantikan Memoar: Tangisan itu Berujung Senyuman Part 5 dengan judul :

 

Manisnya Mangga Indramayu (Edisi Kuliah Kerja Nyata/KKN)

 

Kontak Penulis/Blogger : 0822 8379 0651

 

The Real Tolerance of SD YPPI

Free kinds of fhotos snd videos...

https://www.pexels.com/id-id/@ahmad-khoibar-115812776/